31. Anakku
Karena yg vote dan komen di bab sebelumnya sudah lumayan rame, jadi hari ini double update deh.
Semoga Kakak2 suka dan makin rame mendukung cerita ini.
Makasih banyak juga buat Kakak2 yg dukung di karyakarsa ya :*
* * *
Farah membuka matanya perlahan, lalu mengerjap, mencoba beradaptasi dengan sinar yang masuk ke matanya. Pandangannya samar, namun lama kelamaan menjadi jelas.
"Alhamdulillah, Mbak udah bangun."
Samar, Farah mendengar suara seseorang. Lalu merasakan tangannya digenggam seseorang.
Mbak? Siapa yang manggil Mbak?
Farah memaksakan diri menarik semua kesadarannya dengan cepat hanya untuk mendapati pemandangan menakutkan di hadapannya.
"Faris? Kenapa lo disini?" tanya Farah, masih lemah. Meskipun lemah, ekspresi wajahnya terlihat bingung dan takut.
Pemuda yang duduk di samping ranjangnya dan menggenggam tangannya itu menoleh pada seseorang lain yang berdiri di sisinya. Pandangan Farah ikut beralih kepada orang tersebut.
"Karena saya bukan keluarga Farah, saya tidak bisa tanda tangan persetujuan operasi. Jadi saya terpaksa menghubungi ibu Farah," kata lelaki itu menjelaskan.
Saat itu juga pandangan mata Farah berubah, dari tatapan takut menjadi kengerian yang amat sangat.
Jadi Mama sudah tahu?
"Maaf, Farah," kata lelaki itu, menyentuh lututnya yang tertutup selimut, dengan wajah menyesal.
Tapi Farah tidak menjawabnya.
"Mama mana?" tanya Farah pada adiknya.
"Mama minta gue jaga Mbak," jawab Faris, setelah sesaat sempat terdiam.
Itu bukan jawaban yang diharapkan Farah. Tapi Farah tahu mengapa Faris menjawab begitu. Jadi tanpa bisa dicegah, air mata Farah mulai mengalir.
"Mbak.... " Faris mengetatkan genggamannya pada tangan kakaknya, berusaha membuat kakaknya merasa lebih nyaman agar berhenti menangis. Tapi dia tahu bahwa dirinya tidak akan berhasil.
Refleks tangan Farah terulur menyentuh perutnya ketika ia mulai merasakan nyeri saat dirinya mulai menangis. Entah karena efek anastesinya yang sudah hilang, atau karena ia menangis dan membuat otot perutnya kaku, sehingga perutnya terasa nyeri.
Dia sudah nggak ada, pikir Farah sedih.
"Apa sakit? Saya panggil perawat ya," kata Attar cekatan, ketika melihat gesture kesakitan Farah. Ia segera keluar ruang rawat dan memanggil perawat.
Tapi bagi Farah, dibanding nyeri di perutnya, dadanya terasa lebih nyeri dan sesak. Ia baru saja kehilangan bayinya sekaligus mengecewakan ibunya. Apalagi kegagalan yang lebih menyakitkan dibanding menjadi anak durhaka dan ibu yang gagal sekaligus?
* * *
Memasak selalu menjadi pelarian efektif bagi Erlang tiap kali ia sedang merasa suntuk atau stres. Tidak jarang, justru ia tidak sengaja menemukan ide masakan baru atau membuat modifikasi baru untuk menunya di restoran, saat sedang stres.
Belakangan ini pikirannya sedang penuh. Padahal ketiga restoran dan satu kafe yang dikelolanya sedang dalam kondisi penjualan yang amat baik. Berkat varian menu baru kekinian yang baru saja diperkenalkan oleh Chef di restorannya, serta promosi yang gencar di media sosial, omzet sebulan terakhir juga meningkat. Rencananya beberapa bulan terakhir untuk melebarkan usaha ke ranah catering untuk acara kantor dan catering pernikahan juga berjalan baik. Ia berhasil menjalin kerjasama dengan sejumlah gedung pernikahan, vendor dekorasi dan salon.
Catering pernikahan....
Pernikahan....
Bukankah ironis jika ia mengurusi pernikahan orang lain, padahal kisah cintanya sendiri berantakan.
Sampai saat ini pikiran Erlang masih terus terusik oleh Farah. Awalnya ia sempat frustasi kalau gadis itu benar hamil karena perbuatannya dan ia harus menikahi gadis itu padahal dirinya mencintai perempuan lain. Jadi saat gadis itu mengatakan bahwa dirinya tidak hamil, Erlang harusnya merasa lega karena tidak perlu bertanggung jawab menikahi gadis itu. Tapi entah kenapa Erlang justru sama sekali tidak bisa merasa lega. Ia justru merasa kehilangan kesempatan untuk menikahi gadis itu.
Erlang tidak memahami perasaannya sendiri. Kenapa setelah dirinya terbebas dari tanggung jawab harus menikahi Farah, dia justru ingin terus bertemu gadis itu? Bukankah selama ini dia dekat dengan Farah hanya karena gadis itu adalah anak dari perempuan yang dicintainya sejak lama?
Cinta?
Sekarang bahkan Erlang meragukan perasaannya sendiri. Apakah itu benar rasa cinta? Atau kagum? Atau obsesi?
Fariha adalah cinta pertamanya. Setelah bertahun-tahun hidup penuh ekspektasi dari ayah dan ibunya, juga tuntutan dari lingkungan sekitarnya, Fariha adalah perempuan pertama yang mau memahami dan menerimanya bahkan pada saat dirinya berada pada versi paling buruk. Saat dirinya menjadi remaja pemberontak untuk menunjukkan ketidak-setujuannya pada tuntutan orang tuanya, Fariha hadir. Alih-alih menghakimi, seperti yang dilakukan orang tua dan guru-gurunya yang lain, Fariha justru meladeni kenakalan Erlang dengan sikap yang lebih menyebalkan. Barangkali karena saat itu Fariha adalah guru baru, masih muda dan hanya lima tahun lebih tua daripada Erlang, membuat Fariha menjadi lawan yang seimbang bagi kenakalan Erlang. Melawan Fariha membuat Erlang merasa bercermin dan menyadari betapa menyebalkan sikapnya, hingga akhirnya ia menyerah sendiri.
Perempuan itu yang berhasil membuatnya berdamai dengan tuntutan orang tuanya untuk mendaftar kuliah di salah satu jurusan favorit di PTN idaman orangtuanya. Di sisi lain, perempuan itu juga berhasil membujuk orang tua Erlang untuk membiarkan Erlang melakukan hal-hal yang disukainya, sejauh hobinya itu positif dan tidak melanggar hukum.
Terbiasa menjadi anak tunggal yang menjadi tumpuan harapan orang tuanya, membuat apa yang dilakukan Fariha untuknya terasa sangat spesial. Erlang bagai menemukan sosok ibu yang menerimanya apa adanya, sekaligus sosok kakak yang selalu membelanya di depan orang tuanya. Hal itu yang membuatnya bergantung pada perempuan itu.
Bahkan hingga ia lulus SMA dan mulai kuliah, Erlang terus menghubungi Fariha dari waktu ke waktu. Tiap ia merasa lelah dan menyesal melanjutkan kuliah di jurusan bergengsi pilihan orangtuanya itu, Fariha selalu bisa membuatnya menemukan optimisme akan masa depannya. Bahwa suatu saat, ilmu yang dipelajarinya atau pengalaman yang diperolehnya saat berorganisasi di kampus, akan bermanfaat untuknya merintis bisnisnya sendiri kelak. Semua nasehat dan sikap Fariha yang menenangkan membuat Erlang ketergantungan pada perempuan itu.
Patah hati menghantamnya ketika beberapa bulan setelah masa perkuliahan, Fariha mengabarkan bahwa ia akan menikah dengan Farhan, salah seorang guru di SMAnya dulu. Farhan adalah guru dan lelaki yang baik. Tidak sekali dua kali Farhan dan Fariha digosipkan bersama, tapi Fariha selalu mengelak. Jadi ketika tiba-tiba Erlang mendengar bahwa Fariha akan menikah dengan Farhan, ia patah hati tanpa persiapan.
Erlang sempat memutuskan untuk menjauh dari Fariha, demi agar hatinya tidak lebih patah hati lagi. Tapi nyatanya dia tidak bisa. Tiap ia berkonflik dengan orang tuanya, Fariha selalu ada di sana, membelanya dan di saat yang sama menjadi penengah bagi dirinya dan orang tuanya. Fariha selalu bisa mengambil hati ibunya. Ibunya pun terlihat sangat percaya pada Fariha dan luluh pada bujukan perempuan itu. Hal itu yang membuat Erlang selalu bergantung pada perempuan itu, bahkan hingga perempuan itu menikah, berkeluarga dan memiliki anak-anak.
Jadi apakah itu cinta? Kagum? Atau ketergantungan?
Entahlah. Erlang tidak tahu. Yang jelas, ia selalu menikmati waktunya bersama keluarga Fariha. Tidak ada tuntutan. Tidak ada ekspektasi. Hanya ada penerimaan yang tulus. Bahkan suami dan anak-anaknyapun menerimanya sebagai bagian dari keluarga mereka. Rasa nyaman yang dirasakannya bertahun-tahun itu yang membuatnya selalu ingin menghabiskan waktu bersama keluarga itu dibanding bersama keluarganya sendiri.
Erlang menatap piring-piring dan pinggan yang berderet di meja dapurnya. Apakah dirinya terlalu stres sehingga ia memasak sebanyak itu tanpa disadarinya?
Ia memanggil asisten rumah tangganya, memintanya mencuci dan membersihkan peralatan masak yang digunakannya, juga mempersilakan sang asisten rumah tangga mengambil sejumlah makanan yang baru saja selesai dimasaknya. Ia tentu tidak bisa menghabiskannya seorang diri.
Tapi bahkan setelah sebagian makanan itu dibungkus oleh asisten rumah tangganya untuk dibawa pulang, masih ada banyak makanan yang tersisa. Jadi seperti biasa, Erlang akan otomatis membawanya ke rumah Fariha.
Diantara anggota keluarga itu, Faris yang biasanya pulang lebih awal jika sedang tidak ada kegiatan ekstrakurikuler. Jadi Erlang menghubungi pemuda itu untuk menanyakan kapan ia sampai di rumah sehingga dirinya bisa mengantarkan makanan yang baru saja dimasaknya.
"Aku cuma pulang sebentar, Om," kata Faris ketika menjawab teleponnya di sela jam istirahat siang. "Palingan mandi sebentar trus pergi lagi. Kalo Om mau ke rumah, nunggu Mama pulang aja."
"Sibuk amat. Mau pacaran, kamu?" ledek Erlang.
"Mau nungguin mbak Farah di rumah sakit, Om."
"Lho? Farah sakit?!" tanya Erlang, terkejut.
"Emmm...."
"Ris!"
"Kata Mama, aku ga boleh cerita ke orang lain___"
"Om bukan orang lain!" potong Erlang tidak sabaran.
"Iya sih," kata Faris. Ia bergumam beberapa detik sambil berpikir, sebelum kemudian memutuskan untuk bercerita. "Mungkin Om justru bisa bujuk Mama buat maafin Mbak Farah."
"Lho? Maafin kenapa? Mama kamu marah sama Farah? Katanya Farah sakit? Kok malah dimarahin?"
"Mbak Farah nggak sakit, Om."
"Tadi kata kamu, Farah di rumah sakit?"
"Mbak Farah dirawat karena harus operasi, Om."
"Operasi apa?"
"Mbak Farah pendarahan karena hamil di luar kandungan. Makanya harus digugurkan dan dioperasi."
"Hamil?!"
"Makanya Mama marah pas tahu itu. Jadi Mama nggak mau ketemu Mbak Farah. Aku yang disuruh jaga Mbak di rumah sakit."
Jadi Farah benar hamil? Dan dia menyembunyikan dari gue? Tapi kenapa dia malah menolak dinikahi kalau dia benar hamil? Dan sekarang bayinya gugur?
Bayinya....
Bayi gue....
Anak gue....
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top