3. Someone From The Past (1)
Farah melirik si tampan kecil di hadapannya, dan melihat mata yang berbinar, sebelum menarik benang di kedua tangannya hingga merenggang. Di bagian tengah dari kedua ujung benang itu terdapat sebuah kertas berbentuk lingkaran yang telah diwarnai berwarna-warni.
Ketika benang itu direnggangkan, kertas berbentuk lingkaran itu berputar dengan cepat. Mata si tampan kecil di hadapan Farah membulat ketika melihat warna-warni yang tadi dilukisnya di kertas tersebut berpendar dan hilang, berubah menjadi warna putih, ketika kertas berbentuk lingkaran itu berputar dengan cepat.
Ketika lilitan benang yang dipegang Farah telah renggang semua dan kertas bundar itu berhenti berputar, si tampan kecil itu bertepuk tangan.
"How do you do it, Kak?" tanya anak itu antusias. "Tadi ada 7 warna. Tapi pas diputar kok jadi putih gitu Kak?"
"Ahsan mau tahu aja, atau mau tahu banget?" tanya Farah menggoda.
"Mau tahu banget, Kak!"
Farah tertawa. Senang karena berhasil menarik minat Ahsan.
Untung Ahsan masih kecil, jadi masih mempan digoda seperti itu. Kalau Farah bercanda seperti itu di depan teman-temannya, pasti dirinya langsung ditinggal.
"Cahaya yang kita lihat nih kelihatannya warnanya bening aja, transparan. Padahal sebenarnya tersusun dari banyak warna," kata Farah menjelaskan. "Kayak lingkaran ini nih, kalau diputar sangat cepat, 7 warna yang tadi Ahsan gambar berubah jadi putih kan? Kalau sudah nggak berputar lagi, kita bisa lihat 7 warna lagi kan?"
Ahsan asik mendengarkan penjelasan Farah sambil mencoba sendiri untuk memutar kertas bundar warna-warni itu. Tapi karena putarannya tidak secepat yang dilakukan Farah tadi, ia tidak bisa melihat warna putih.
"Pelangi juga gitu lho, San."
"Maksudnya?"
"When do you see rainbow?"
"After the rain?" jawab Ahsan, agak ragu.
"Why?"
"Because.... "
Ahsan menatap Farah, bertanya-tanya.
Dengan tatapan nakal, Farah mengeluarkan sebuah buku bergambar, lalu menunjukkannya pada Ahsan.
"Do you want to read this book? Kakak pinjemin, mau?"
Ahsan nampak ragu sesaat ketika menilai sampul buku itu.
"Itu buku komik?" tanya Ahsan.
"Who knows?" jawab Farah, sengaja berahasia. Ia menyerahkan buku itu pada Ahsan sambil mengatakan syaratnya. "Kak Farah pinjemin buat Ahsan, mau? Tapi hari Rabu nanti Ahsan yang cerita ke Kak Farah tentang pelangi yang berwarna-warni dan langit yang berwarna biru. Mau?"
Buku itu berisi banyak gambar dan berwarna-warni, sehingga Ahsan tertipu. Ia pikir itu seperti buku komik, sehingga langsung tertarik ketika melihat gambar di sampulnya. Maka ia segera mengangguk dan menerima tawaran Farah untuk membaca buku itu.
"Thank youuuu Kak Farah!" kata Ahsan, senang menerima buku itu. Saking senangnya, ia langsung memeluk lengan Farah.
"Sudah selesai belajar hari ini?"
Ketika mendengar suara ayahnya datang, Ahsan dengan cepat menghambur memeluk ayahnya sambil menunjukkan buku yang dipinjamkan Farah.
Sambil balas memeluk anaknya, Attar, ayah Ahsan, melirik mahasiswanya. Gadis itu mengangguk sambil menjawab, "Sudah selesai, Pak."
"Kak Farah lend me this book, Pah!" Ahsan bercerita dengan semangat, membuat tatapan Attar pada Farah teralih.
Melihat antusiasme Ahsan, Farah berusaha menahan diri agar tidak terkikik sendirian, karena telah berhasil menjebak Ahsan untuk belajar sains melalui buku bergambar itu.
"Buku apa itu?" tanya Attar. Ia mengambil buku itu dari tangan anaknya, dan ingin mengecek sampulnya. Tapi buku itu langsung direbut lagi oleh Ahsan.
"Rainbow book!" jawab Ahsan dengan ekspresi posesif, seolah tidak ingin buku itu dipinjam ayahnya. Suka-suka dia lah menyebutkan nama buku itu, meski judul sebenarnya bukan Rainbow Book.
Ekspresi lucu itu membuat Attar tertawa.
"Sudah say thank you ke Kak Farah?" tanya Attar sambil mengajak Ahsan duduk kembali. Lelaki itu duduk di sisi lain dari sofa yang diduduki Farah. Dan Ahsan segera ndusel-ndusel diantara mereka.
"Udah dong Pah," jawab Ahsan.
"Anak sholeh," puji Attar sambil memeluk leher anaknya. Membuat anak itu terkekeh.
Attar kemudian menatap Farah dan tersenyum. "Thank you."
"Sama-sama, Pak," jawab Farah. Ia membalas senyum dosennya itu, sambil ikut mengacak rambut Ahsan dengan gemas.
Kombinasi lengan sang ayah yang melingkar di lehernya, dan jemari sang guru yang membelai rambutnya, membuat Ahsan terkekeh makin senang. Attar dan Farah ikut tertawa melihat tawa di wajah anak itu.
Tapi tawa mereka bertiga tidak bertahan lama. Suara seseorang yang baru saja memasuki ruang keluarga membuat ketiga orang yang sedang bercengkerama di sofa itu menghentikan tawanya dan menoleh pada asal suara itu.
"Seingatku, hari Sabtu adalah waktuku sama Ahsan?" kata suara itu.
Farah melihat seorang perempuan dengan wajah Timur Tengah, berdiri di depan ruang keluarga. Farah menduga usianya sekitar 30 tahunan. Wajahnya cantik, dan terlihat cerdas. Tapi tidak terlihat terlalu ramah meski perempuan itu sedang tersenyum pada mereka.
"Sania," sapa Attar. Dengan tetap duduk di tempatnya, dan tidak bersopan-santun berdiri untuk menyambutnya, Attar mempersilakan perempuan itu duduk dengan tangan dan ekspresi wajahnya.
"Makasih, Bang," jawab perempuan itu. Ia segera duduk di sofa di dekat Attar. "Ahsan hari ini jadi jalan-jalan sama Mama kan?" kata perempuan itu kemudian, sambil menyejajarkan wajahnya dengan wajah Ahsan yang berada di pelukan Attar.
Farah tiba-tiba menyadari bahwa perempuan yang dipanggil Sania itu adalah ibu kandung Ahsan. Pantas saja ia memanggil Attar dengan "Bang". Pasti panggilan mereka saat masih menikah dulu. Tapi Farah merasa aneh juga karena melihat Ahsan masih anteng di pelukan ayahnya. Bukankah seorang anak biasanya antusias ketika bertemu ibunya, bahkan meski ibunya tidak lagi tinggal serumah dengannya akibat perceraian?
Kecurigaan Farah bertambah, karena alih-alih menjawab pertanyaan ibunya, Ahsan malah bertanya pada ayahnya, "Papa ikut jalan-jalan juga kan?"
Hal ini tentu menarik perhatian Farah. Ahsan nampaknya kurang dekat dengan ibu kandungnya, dan terlihat seperti sedang mencari perlindungan ayahnya.
Attar dan Sania nampak saling melirik, sebelum Attar kembali menatap anaknya. "Ikut dong!"
Wajah Ahsan langsung sumringah.
Attar kemudian menolehkan kepalanya ke arah dapur, lalu berteriak memanggil pengasuh Ahsan. Tidak lama kemudian Wati telah tiba di ruang keluarga, dan menyapa Sania sekilas. Attar kemudian meminta Wati membantu Ahsan berganti baju dan bersiap pergi.
Sebelum mengikuti Wati untuk berganti baju dan bersiap pergi, Ahsan sengaja memeluk Farah sekali dan mengucapkan sampai jumpa hari Rabu mendatang.
Selepas Ahsan menghilang dari ruang keluarga, Farah segera membereskan alat tulisnya, serta kertas, benang, crayon, gunting dan perlengkapan untuk membuat lingkaran pelangi tadi bersama Ahsan.
"Saya pamit pulang ya Pak," kata Farah pada Attar, setelah semua alat tulis dan perlengkapan prakarya Ahsan masuk ke tasnya.
"Sudah pesan ojek online?"
"Nanti saya pesan di teras aja Pak." Sedikit-banyak Farah tidak merasa nyaman berada di ruangan itu, terutama karena ia merasa mantan istri Attar memperhatikannya.
"Saya antar keluar, kalau gitu."
"Nggak usah, Pak," jawab Farah cepat. "Kan ada Ibu disini," lanjutnya lirih, merujuk pada keberadaan Sania.
Gadis itu kemudian mengulurkan tangannya dan Attar menyambutnya. Gadis itu menempelkan punggung tangan Attar ke dahinya, sebelum mengucap salam dan berdiri. Ia juga menganggukkan kepala kepada Sania, sebagai tanda pamit.
Farah merasa keputusannya untuk segera pergi adalah keputusan yang tepat. Karena ketika ia belum lagi keluar dari ruang tamu, ia sudah mendengar Sania bertanya tentang dirinya dengan nada tidak suka.
"Dia guru les Ahsan," Farah mendengar suara Attar lamat-lamat.
"Dan kenapa dia manis sekali, cium tangan sama kamu?"
"Karena dia juga mahasiswaku di kampus."
"Guru les Ahsan sekaligus mahasiswa Abang? Apa sekaligus ada hubungan pribadi juga sama Abang?"
Dari percakapan singkat itu, Farah jelas tahu bahwa mantan istri dosennya itu tidak menyukainya, dan barangkali cemburu padanya. Dan jika memang wanita itu cemburu padanya, artinya ibu kandung Ahsan itu masih menyukai mantan suaminya.
Farah tidak ingin tahu urusan rumah tangga orang. Itu jelas bukan urusannya. Jadi dia melenggang pergi keluar dari rumah itu sebelum ia mendengar jawaban Attar selanjutnya atas pertanyaan mantan istrinya itu.
* * *
Cerita ini ditulis di masa pandemi COVID-19 sedang parah-parahnya. Semua kegiatan di luar rumah dihentikan. Termasuk kegiatan belajar mengajar.
Para orangtua yang waktu itu membersamai anaknya belajar dari rumah mungkin masih ingat betapa stresnya mengajari anaknya. Sebagian mungkin berpikir "gurunya enak bener nih, cuma ngasih tugas doang, yang repot orangtua murid". Padahal, ternyata eh ternyata, di masa itu para guru juga stres lho.
Saat re-post kembali bab ini dan membaca after-note nya, saya jadi ingat bahwa di masa itu saya juga stres menyusun modul praktikum online.
Merancang materi praktikum IPA untuk anak SD scr online barangkali masih do-able. Tapi gimana caranya nyusun praktikum online proses produksi tablet?
Alhamdulillah sekarang COVID sudah terkendali (meski bukan berakhir sepenuhnya sih). Semoga pengalaman COVID yang lalu memberi pengalaman, pelajaran dan hikmah berharga bagi kita semua yang Kak.
Sehat2 selalu ya Kakak2 readers ku sayang 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top