29. Senyuman Cantik

Sore itu Farah datang ke rumah Attar untuk mengajar Ahsan, dengan kondisi mood yang tidak terlalu baik. Pertama, karena perutnya terasa nyeri sejak beberapa hari terakhir. Bukan nyeri yang berat, sehingga Farah masih bisa menahannya tanpa harus mengkonsumsi obat. Rasanya hanya tidak nyaman, seperti jika dirinya akan datang bulan, tapi perasaan tidak nyaman itu cukup mengganggu. Farah bingung juga dengan rasa nyeri itu, apa memang gejala hamil muda dan gejala datang bulan mirip?

Kedua, karena dia baru saja ditolak. Pagi tadi dia baru mendengar kabar dari teman-temannya yang ikut melamar kerja ke perusahan minyak dan gas bahwa beberapa temannya dipanggil kembali untuk ke tahap rekrutmen berikutnya, yaitu wawancara dengan user. Tapi sampai sore ini Farah belum juga menerima panggilan telepon yang memintanya untuk lanjut ke proses wawancara dengan user. Tidak ada info apapun juga di emailnya.

Meski pada awalnya Farah hanya ikut-ikutan teman-temannya melamar ke perusahaan tersebut, tapi akhirnya Farah sempat berharap ia bisa diterima di perusahaan tersebut. Di satu sisi, ia ragu bahwa dirinya bisa diterima jika perusahaan tersebut tahu kondisinya, tapi di sisi lain ia juga berharap. Dengan bekerja di tempat yang jauh dari Jakarta, setidaknya ia bisa melarikan diri atau menyembunyikan kondisinya... minimal sampai ia siap memberitahu ibu dan adiknya.

Dan lagi-lagi harapan hanya menumbuhkan kekecewaan.

Dengan fakta bahwa ia tidak menerima info pemanggilan untuk tahap rekrutmen selanjutnya, Farah berasumsi bahwa dirinya tidak diterima di perusahaan tersebut. Dengan demikian, ia harus cepat memutar otak, kemana ia harus melarikan diri.

Melarikan diri sih gampang. Tapi hidup di pelarian tanpa persiapan, itu tidak semudah cerita-cerita wattpad. Bagaimanapun, keadaan ini membuat kepalanya pusing.

Ia pikir dengan bertemu Ahsan, mood-nya akan membaik. Karena anak itu selalu berhasil membuat perasaannya bahagia. Tapi ternyata yang ditemuinya di rumah itu bukan hanya Ahsan. Tapi juga ibunya Ahsan.

Pertemuannya yang pertama dengan mantan istri dosennya itu beberapa bulan sebelumnya tidak berkesan baik bagi Farah. Sehingga ketika mereka bertemu lagi kali itu, Farah merasa canggung. Apalagi karena selama les, wanita itu duduk di sofa ruang tengah, tidak jauh dari tempat Farah dan Ahsan belajar bersama. Farah merasa seperti sedang diawasi. Dan hal itu tentu menambah buruk moodnya.

"Makasih ya Farah, selama ini sudah bantu Ahsan belajar. Maaf kalau merepotkan," kata wanita itu sambil merangkul Ahsan yang baru saja selesai les. Bibirnya tersenyum. Dan Farah mengakui wanita itu sangat cantik jika wajahnya ramah seperti itu.

"Sama-sama, Bu Sania. Saya senang menemani Ahsan kok. Ahsan anak yang cerdas," Farah menjawab sambil tersenyum sopan. Ia membereskan alat-alat tulisnya.

"Meski kadang suka iseng dan menantang juga ya?"

Farah terkekeh. "Dulu pas awal-awal, Bu. Sekarang sih kita udah sohib. Ya kan, Ahsan?"

"Iya dong. Kak Farah and I are best friends, Ma," jawab anak itu sambil tertawa juga.

Dari gesture dan ekspresi Ahsan, Farah melihat bahwa kini anak itu makin dekat dengan ibunya. Memang sudah seharusnya seperti itu sih. Barangkali waktu itu Ahsan sedang bad mood saja sehingga tampak canggung dengan ibu kandungnya sendiri. Tapi kini anak itu sudah nampak akrab dengan Sania.

"Saya sengaja ambil cuti beberapa hari karena pekan ini Ahsan ulangan semester. Pengen nemenin Ahsan belajar," kata Sania bercerita.

Farah mengangguk sambil tersenyum. Ia kemudian bicara pada Ahsan, "Ahsan pasti seneng banget ditemenin Mama ya, San?"

"Iya Kak. Aku seneng Mama mau nginep disini. Aku jadi bisa bobo bareng Mama."

Agak kaget dengan info Ahsan barusan, tapi Farah segera berusaha mengendalikan ekspresinya.

"Papa mana ya, Ma? Katanya kita mau makan malam bareng bertiga?" gumam Ahsan kemudian pada ibunya.

"Mungkin Papa ada kelas sore. Tapi kalau Papa janji kita makan malam bertiga, pasti Papa pulang sebelum Ahsan lapar. Tenang aja," jawab Sania kalem.

Ahsan manggut-manggut, lalu kembali pada mainan di tangannya.

Farah sudah memasukkan alat tulisnya ke dalam tas dan bersiap pamit pulang. Sebentar lagi waktunya Attar pulang, dan jika mereka sudah punya rencana makan malam keluarga, tentu Farah harus segera pergi dari situ. Tapi ternyata Sania masih mengajaknya ngobrol.

"Farah sudah semester berapa?" tanya Sania.

"Semester 8, Bu. Saya baru aja lulus sidang."

"Wah, selamat ya!" Wanita itu memberi selamat dengan senyum lebarnya yang cantik.

"Makasih, Bu," jawab Farah sopan.

"Syukurlah Farah udah lulus...."

Farah diam. Dahinya tampak mengernyit ringan, tidak mengerti.

"Kalau masih berstatus mahasiswa dan punya hubungan sedekat itu dengan Bapak, kan nggak enak dilihat orang," kata Sania, seperti menjawab kebingungan Farah. Bapak yang dimaksud tentu saja adalah Attar.

Farah tidak mengerti maksud kata-kata Sania. Tapi dia merasa ada yang salah dengan kalimat hubungan sedekat itu. Apa maksudnya mantan istri dosennya itu bicara begitu?

"Apalagi saya dengar Bapak sedang mengajukan profesorship. Skandal sekecil apapun pasti berpotensi menghambat pengajuan kenaikan jabatan itu."

Skandal? pikir Farah makin bingung.

"Saya yang hanya beberapa kali ketemu kalian aja bisa melihat kedekatan kalian. Apalagi orang-orang di kampus kan. Khawatirnya jadi masalah buat Bapak nanti." Sania mengatakan hal itu masih sambil tersenyum. Tapi Farah mulai merasa senyuman itu tidak cantik lagi. Tapi menakutkan.

"Tapi saya dan Bapak nggak ada hubungan apa-apa," kata Farah defensif.

"Oh ya?" suara Sania tetap tenang tapi menantang. "Syukurlah kalau begitu,"  lalu wanita itu tersenyum. "Papanya Ahsan itu orangnya baik. Ramah sama banyak orang. Sering nggak enakan juga sama orang. Kadang kebaikannya itu bikin perempuan-perempuan salah paham. Tapi syukurlah kalau Farah nggak salah paham sama kebaikan papanya Ahsan dan nggak ada hubungan apa-apa."

Farah hanya mengangguk dan tersenyum kecil. Malas menanggapi.

"Meski kami bukan lagi suami-istri, tapi kami masih saling peduli. Saya tentu concern juga dengan karirnya Bapak. Kalau aja nggak ada hukum agama bahwa kalau dua orang yang sudah bercerai dan ingin kembali bersama lagi, maka harus menikah dulu dengan orang lain, barangkali.... "

"Yeayy!!! Papa pulang!" pekik Ahsan girang.

Pekikan itu sontak membuat Farah dan Sania menoleh ke arah yang sama, tempat Ahsan langsung berlari dan memeluk lelaki berkemeja abu-abu itu.

"Kirain Papa pulang telat. Padahal kan kita udah janji makan malam bertiga. Mumpung Mama nginep disini," kata Ahsan semangat.

Mengambil kesempatan itu, Farah segera menggendong ranselnya dan pamit kepada Sania, Attar dan Ahsan.

"Farah sekalian ikut makan malam disini aja," ajak Sania ramah.

Tapi Farah tentu tahu bahwa itu hanya basa-basi. Dirinya tidak diharapkan kehadirannya pada makan malam keluarga itu. Terutama oleh sang nyonya rumah. Jadi Farah menolak dengan sopan dan memilih bergegas pergi.

Dengan cepat Farah memesan ojek online sambil melangkah keluar ke teras rumah Attar. Beberapa detik setelah ia mengkonfirmasi posisinya pada driver ojek tersebut, sebuah pop-up message dari Wanda muncul di layar ponselnya. Saking fokusnya membaca pesan dari Wanda, Farah jadi tidak sadar bahwa Attar mengikutinya keluar rumah. Dia baru sadar dengan keberadaan Attar ketika lelaki itu berkata dengan suara beratnya, "Hati-hati di jalan."

"Eh, Bapak? Iya Pak. Makasih. Nggak apa-apa, nggak usah nganter saya ke teras. Bapak makan malem aja sama Ahsan dan Ibu," jawab Farah cepat. Dia tidak ingin mantan istri dosennya ini salah paham lagi padanya.

"Kamu baik-baik aja? Nggak merasa sakit? Wajah kamu keliatan kesakitan atau tegang?" tanya Attar sambil mengamati wajah gadis di hadapannya.

Papanya Ahsan itu orangnya baik. Kadang kebaikannya itu bikin perempuan-perempuan salah paham.

"Saya baik-baik aja Pak. Bapak nggak perlu terlalu baik sama saya," jawab Farah dingin.

Attar tentu kaget dengan sikap Farah yang tiba-tiba dingin dan jauh seperti itu. Tapi sebelum ia sempat bertanya, driver ojek sudah tiba. Dengan cepat Farah mengulurkan tangannya untuk cium tangan dan berpamitan, lalu pergi.

Sebelum naik ke atas motor, Farah mengetikkan jawaban terhadap pesan Wanda.

Gue terima! Thanks Wan!

Ia lalu memasukkan ponselnya ke tas dan langsung naik ke atas motor.

Ia tidak memperhatikan bahwa Attar masih terus memperhatikannya bahkan setelah motor itu tidak lagi terlihat.

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top