27. Folat

Memendam perasaannya pada Erlang selama bertahun-tahun memang membuat Farah akhirnya nekat. Malam itu ia mengungkapkan perasaannya, juga secara sadar mendekati Erlang secara impulsif. Saat itu ia bertekad membuat Erlang menyadari dan menerima perasaannya. Saat itu, setidaknya sekali saja dalam hidupnya, ia ingin memperjuangkan perasaannya dan membuat Erlang menyadari bahwa dirinya bukan anak kecil lagi dan pantas dicintai.

Tapi yang diluar dugaannya adalah respon Erlang dan kejadian setelahnya. Farah tidak menduga bahwa Erlang menyambutnya dengan cara yang lebih impulsif, juga tidak menduga bahwa pesona Erlang berdampak sangat besar padanya sehingga bahkan dirinya tidak bisa menolak ketika tangan Erlang mulai menjelajahi tubuhnya. Entah karena dirinya yang sama sekali tidak punya pengalaman, atau Erlang yang sudah terlalu banyak pengalaman, sehingga lelaki itu tahu titik-titik sensitifnya yang membuat logika dan tubuhnya lumpuh.

Jadi meski sakit hati karena setelahnya dirinya dicampakkan, Farah tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Erlang. Dan meski belakangan ia tahu bahwa bukan dirinya yang ada di kepala lelaki itu saat dia melakukannya, Farah juga tidak bisa menyalahkannya. Jadi ketika sekarang Erlang datang ingin bertanggung jawab, Farah tidak bisa menerimanya.

Dulu dia pernah bertekad untuk memenangkan hati Erlang, berapa lamapun waktu yang diperlukan. Tapi itu dulu, saat ia masih yakin bahwa dirinya bisa membuat Erlang melupakan cinta masa lalunya. Sekarang, setelah dirinya tahu siapa wanita yang selalu ada di hati Erlang, Farah menyerah. Kalau Lidya saja sudah berusaha selama dua tahun dan tidak berhasil, apalagi dirinya.

Sekarang, karena janin di kandungannya, Farah akhirnya punya kesempatan untuk memenangkan diri Erlang. Bukan sekali dua kali terlintas di pikirannya untuk menerima tanggung jawab yang ditawarkan Erlang dan menikah dengannya. Kata orang, dengan adanya anak, lama kelamaan hubungan kedua orang akan makin dekat. Tapi kemudian Farah sadar, dia tidak akan pernah memenangkan hati lelaki itu. Meskipun lelaki itu menikahinya, lelaki itu tetap tidak akan mencintainya. Kalaupun pada akhirnya lelaki itu tampak menyayanginya dan anaknya, itu pasti karena Erlang melihat sosok perempuan lain di dalam diri Farah. Jadi bagaimanapun ia hanya akan memiliki raga Erlang, tapi bukan hatinya. Apakah itu yang diinginkannya dari Erlang?

Jangan idealis, Farah!

Farah tahu, kondisinya yang hamil di luar nikah bukanlah kondisi yang tepat untuk bersikap idealis, dan hanya ingin menikah dengan orang yang mencintainya. Tapi Farah sungguh-sungguh tidak dapat membayangkan betapa menyedihkannya hidupnya jika ia memaksakan diri menikah dengan Erlang dan setiap hari dihantui ketakutan kapan lelaki itu akan menceraikannya. Setelah bayi itu lahir? Setahun? Dua tahun? Lima tahun? Atau seumur hidup ia akan hidup bersama lelaki yang selalu menatap wajahnya penuh cinta sambil membayangkan perempuan lain yang wajahnya serupa dirinya?

Karena alasan itulah akhirnya Farah memutuskan untuk berbohong pada Erlang. Laki-laki itu tidak perlu tahu tentang anak itu. Laki-laki itu tidak perlu bertanggung jawab. Farah akan bertanggung jawab pada dirinya sendiri.

Farah tidur meringkuk di ranjangnya, memeluk perutnya sendiri sambil menangis.

Bahkan setelah memutuskan hal tersebut, hatinya tidak juga menjadi lega. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Apa yang harus dilakukannya pada bayi itu? Apapun yang akan dilakukannya, dia harus melakukannya segera. Bayi ini akan makin besar. Perutnya akan membesar dan tidak bisa ditutupi lagi. Ibunya akan segera menyadari perubahan tubuhnya. Jadi dia harus memutuskan segera.

Apakah dia harus menggugurkan bayi itu?

"Jangan digugurkan. Ya?"

Farah meringkuk makin dalam, membenamkan wajahnya ke bantal. Berusaha menahan suara tangisnya. Dan mungkin akan lebih baik jika dia sekalian kehabisan nafas. Supaya semua kebingungan ini berakhir.

* * *

Erlang bukan anak kemarin sore yang mudah saja dibohongi. Memangnya Farah pikir, setelah dia bilang bahwa dirinya tidak hamil, Erlang akan percaya begitu saja? Tidak semudah itu, Esmeralda!

Tapi Erlang bisa apa? Bahkan setelah Erlang memaksa Farah untuk ikut dengannya ke dokter, gadis itu menolak dan malah mengusirnya. Jadi sementara ini dia memutuskan untuk menunggu dan mengamati. Barangkali dia bisa memanfaatkan Faris untuk mendapatkan informasi tentang kakaknya. Setelah dia memastikan bahwa gadis itu hamil, ia akan kembali mengajak gadis itu menikah. Jika tidak berhasil juga, dia akan mengatakan hal yang sebenarnya pada Fariha. Barangkali dengan cara itu, Farah akhirnya mau dinikahi.

Erlang membenturkan kepalanya ke setir. Frustasi. Fariha pasti akan membunuhnya kalau tahu apa yang sudah dilakukannya pada puterinya.

"Kalau menikahi saya, Om nggak akan punya kesempatan lagi di masa depan untuk menikahi Mama. Bukannya Om sudah menunggu kesempatan ini sejak lebih dari dua puluh tahun lalu?"

Kebodohannya sudah menjamin dirinya tidak akan bisa memiliki Fariha lagi. Padahal setelah dua puluh tahun memendam perasaan sendiri, akhirnya sekarang dirinya memiliki kesempatan itu. Bahkan jika Farah tidak hamil, Erlang sudah tidak punya wajah lagi untuk tetap berada di sisi Fariha.

"Om bukan khawatir sama saya kan? Om cuma khawatir sama Mama kan?"

Apa benar begitu? Apa benar dirinya berkeras menikahi Farah hanya karena tanggung jawab? Hanya karena mengkhawatirkan nama baik ibunya Farah? Apa benar dirinya sama sekali tidak peduli pada Farah?

"Om akan selalu melihat saya cuma sebagai pengganti Mama? Om akan selalu memanggil nama Mama tiap kita tidur bersama?"

Bagaimana bisa gadis itu mengetahui perasaannya pada ibunya? Apakah tanpa sadar dia mengucapkan sesuatu saat mereka melakukannya malam itu?

Sialan, Angga!

* * *

Ahsan menyambut Farah dengan bersemangat ketika gadis itu mulai mengajar lagi hari Minggu itu. Dia bilang, dirinya mengkhawatirkan Farah karena pekan sebelumnya pingsan. Baru kali itu Ahsan melihat seseorang pingsan di depan matanya.  Anak itu juga mengatakan bahwa dirinya kangen pada Farah, dan berjanji akan belajar tanpa banyak protes, supaya Farah tidak stres saat mengajarnya dan tidak pingsan lagi. Farah tertawa mendengar analisa lugu anak itu.

Setelahnya, hari itu Ahsan dan Farah menghabiskan waktu untuk mereview pelajaran Ahsan semester ini, dan berlatih mengerjakan soal-soal. Pekan depan Ahsan sudah ulangan semester, sehingga kali ini tidak ada lagi agenda main-main dan eksperimen sains. Dan Ahsan menepati janjinya untuk belajar dengan baik tanpa banyak protes atau negosiasi seperti biasa. Farah merasa sangat bersyukur dengan sikap Ahsan yang manis itu. Jujur saja, kalau Ahsan bersikap menantang hari itu, Farah mungkin tidak bisa menghadapinya karena dia sedang merasa sangat lemah.

Berbeda dengan hari-hari les lainnya, kali itu setelah selesai les, Farah tidak bisa langsung pulang. Attar menahannya dan mengajaknya bicara di ruang kerjanya.

"Wajah kamu masih pucat," kata Attar setelah mempersilakan Farah duduk di kursi di seberang meja kerjanya.

"Saya baik-baik aja Pak. Tadi mbak Wati juga bikinin teh strawberry, jadi saya udah merasa lebih enak sekarang," jawab Farah sopan.

Attar menghela nafas. "Lain kali saya bilang ke Wati supaya nggak menyuguhkan teh lagi untuk kamu. Harusnya wanita hamil dengan kondisi anemia nggak minum teh."

Farah menatap Attar dengan bingung. Itu informasi baru untuk Farah.

"Apa kamu minum vitamin kehamilan yang diresepkan dokter?"

Farah diam dan menunduk.

"Kamu nggak meminumnya kan?" tanya Attar curiga.

Farah terpaksa mengangguk.

"Kamu harus minum vitamin itu. Trimester awal kehamilan adalah waktu dimulainya perkembangan otak janin. Bayi kamu butuh asupan asam folat yang cukup."

Farah saja belum memutuskan apakah akan mempertahankan bayi itu atau tidak. Jadi untuk apa dia meminum vitamin untuk bayi itu.

"Kamu nggak berniat mempertahankan bayimu ya?" tanya Attar makin curiga.

Farah masih diam.

"Kamu juga belum periksa ke dokter kandungan? Kamu juga belum menceritakan kehamilan kamu pada ayah bayi itu? Dia harus bertanggung jawab!"

Farah menunduk makin dalam seiring intonasi suara Attar yang makin meninggi.

Attar menghela nafas. Antara jengkel dan frustasi.

"Jadi sebenarnya apa rencana kamu?" tanya Attar, berusaha menurunkan intonasi suaranya.

Farah masih diam. Dia sendiri tidak tahu. Dia tidak berani menggugurkan bayi itu. Dia tidak ingin melibatkan ayah dari bayi itu jika hanya sebagai bentuk tanggung jawab. Tapi dia juga tidak punya rencana untuk melahirkan dan membesarkannya sendirian. Bagaimana supaya ibunya dan orang lain tidak tahu tentang kehamilannya, supaya ibunya tidak merasa malu.

Wajar saja jika Attar terlihat marah padanya. Bayi itu akan tumbuh makin besar, tapi Farah lambat sekali dalam mengambil keputusan.

Sementara itu, Attar duduk di kursinya, berusaha memahami sikap gadis di hadapannya itu. Sedikit banyak dia paham, jika Farah adalah korban pemerkosaan, wajar saja jika gadis itu tidak ingin meminta tanggung jawab dari pemerkosanya. Pasti akan menjadi trauma seumur hidup jika gadis itu dipaksa menikah dengan lelaki yang sudah memperkosanya, hanya untuk menutupi kehamilannya. Lalu apakah gadis itu berencana menggugurkan kandungannya? Attar sangat khawatir Farah akan mengambil jalan pintas itu.

"Jangan digugurkan," Attar kembali mengulang nasihatnya pada Farah beberapa hari yang lalu. Tapi di sisi lain, ia juga memahami kesulitan yang akan dihadapi Farah jika gadis itu harus membesarkan anak itu sendirian.

Farah masih diam. Dia hanya mengangguk. Attar tidak paham apakah anggukan itu berarti Farah setuju untuk tidak menggugurkan kandungan, atau hanya supaya Attar berhenti menasihati saja.

"Saya tahu ini nggak mudah. Tapi jangan menutupi dosa yang satu dengan dosa lain lagi yang lebih besar. Jadi, jangan digugurkan."

Lagi-lagi Farah hanya diam menunduk.

"Apa kamu nggak mau ayah bayi itu bertanggung jawab?"

Kali itu Farah menggeleng.

Attar berasumsi dugaannya tidak keliru. Farah pasti trauma dan tidak ingin berurusan lagi dengan lelaki yang sudah memperkosanya.

"Bagaimana kalau saya yang bertanggung jawab?"

Sontak, Farah akhirnya mengangkat kepalanya. Ia langsung menatap dosen di hadapannya dengan tatapan ngeri dan tidak mengerti.

* * *

#TimAttar senang dg bab kali ini?

Btw, Kakak2 disini pasti sudah tahu kan ya bahwa ibu hamil butuh asupan asam folat (bukan asam sulfat yhaaaa) untuk perkembangan janin?

Tapi apakah Kakak2 sudah tahu bahwa teh bisa menghambat penyerapan zat besi dari makanan? Minum es teh manis setelah makan emang enak ya. Apalagi buat yang lagi hamil dan mual2, minum teh rasanya menyegarkan. Tapi ternyata, buat yang sedang hamil dan mengalami anemia defisiensi besi, justru dianjurkan untuk tidak minum teh terlalu banyak (terutama minum teh setelah makan) karena akan menghambat penyerapan zat besi, sehingga akan memperparah kondisi anemianya.

Eh emang kenapa kalau ibu hamil mengalami anemia? Kan palingan cuma lemes2 dan pusing aja kan?

Jangan salah, Kakak2! Ibu hamil yang mengalami anemia beresiko melahirkan bayi dengan berat badan rendah. Dan bayi yang lahir dengan berat badan rendah biasanya butuh dirawat di PICU dulu sampai BB > 2.5 kg.

Saya termasuk yg mengalami kasus tsb. Saya mengalami anemia di sepanjang kehamilan, bahkan meski sudah mengkonsumsi supplemen zat besi dan tidak minum teh. Kondisi tsb plus hiperemesis gravidarum hingga 7 bulan menyebabkan bbrp pekan menjelang HPL, BB bayi saya baru 1.8 kg. Saya bahkan sempat hampir perlu mendapat transfusi darah. Tapi alhamdulillah akhirnya saat dilahirkan, BB anak saya cukup sehingga tidak perlu masuk PICU.

Semangat buat Kakak2 yg sedang hamil!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top