26. Tanggung jawab

Menemui Farah bukanlah sesuatu yang sulit bagi Erlang. Dia cukup datang ke rumah itu, pada jam makan malam, lalu ia pasti bisa bertemu dengan gadis itu. Masalahnya, sekarang ia perlu bertemu Farah tanpa diketahui orang lain. Ia perlu bicara dengan gadis itu, dan jelas itu bukan pembicaraan yang dia ingin didengar oleh Fariha atau Faris. Itu mengapa keadaan jadi sulit sekarang.

Sudah beberapa hari ia menunggu kesempatan, tidak jauh dari rumah Farah. Tapi kesempatan itu tidak pernah datang. Farah selalu terlihat bersama Faris atau ibunya. Bahkan saat Erlang mendatanginya ke kampus, Erlang tidak berhasil menemukan gadis itu di fakultas sebesar itu.

Cerita Faris yang terakhir didengarnya saat terakhir kali ia ikut makan malam bersama keluarga mereka membuat Erlang resah. Melihat wajah Farahpun, Erlang makin curiga. Wajah gadis itu terlihat lebih pucat dan lelah, tidak seperti wajah ceria yang diingatnya. Apalagi saat melihat gadis itu hampir muntah saat ibunya menghidangkan grilled tuna, padahal itu adalah salah satu makanan kesukaan Farah. Semua itu membuat Erlang makin yakin bahwa gadis itu hamil.

Dan siapa lagi yang menghamili gadis itu selain dirinya?

Berkali-kali Erlang mengutuki kebodohannya malam itu. Mengapa dia bisa terperdaya dengan wajah itu, dan lupa diri. Mengapa ia tidak bisa menahan diri, padahal selama bertahun-tahun ia berhasil bertahan di sisi keluarga itu dengan menutupi perasaannya. Dan lebih bodoh lagi, mengapa ia tidak memakai pengaman saat melakukannya!

Dia bukan laki-laki yang selalu menyimpan pengaman. Dia tidak membutuhkannya. Tapi dia bukan anak kemarin sore, jadi meski tidak memakai pengaman, harusnya dia bisa menarik diri tepat waktu. Nyatanya, malam itu dirinya benar-benar terbuai oleh kecantikan gadis di pelukannya itu. Lembut kulitnya, deru nafasnya, seluruh tubuhnya yang terasa pas di genggamannya, semua itu membuat Erlang hilang kendali diri.

Erlang menggelengkan kepalanya dengan kasar. Tidak seharusnya dia membayangkan tubuh gadis itu lagi. Berkali-kali dia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia hanya melihat Farah sebagai keponakan, tapi nyatanya sekarang ia tidak bisa lagi memandang gadis itu dengan cara yang sama.

"Farah harus gimana supaya Om nggak melihat Farah sebagai anak-anak lagi? Nggak menganggap Farah sebagai keponakan lagi?"

Setelah semua yang dilihat dan dilakukannya pada tubuh gadis itu, jelas bahwa dirinya tidak bisa lagi melihat Farah sebagai anak-anak atau keponakan. Gadis itu sudah menjadi perempuan dewasa... yang bisa hamil.

Erlang belum tahu apa yang harus dilakukan atau dikatakan kepada Fariha, jika kecurigaannya tentang kehamilan Farah terbukti. Perempuan itu pasti akan membunuhnya karena sudah merusak anak gadisnya. Perempuan itu pasti akan membencinya karena ia sudah merusak kepercayaan perempuan itu padanya. Tapi bagaimanapun, ia harus menerima konsekuensi itu. Bahkan jika ia harus kehilangan perempuan yang selama bertahun-tahun diidamkannya.

Setelah bertahun-tahun memendam perasaan yang bertepuk sebelah tangan, akhirnya kini Erlang memiliki kesempatan untuk berada lebih dekat dengan perempuan itu. Tapi ironisnya, semua kesempatan itu kini hancur akibat kebodohannya sendiri.

* * *

Siang hari itu, setelah memantau salah satu restoran miliknya, Erlang kembali menunggu di jalanan dekat rumah Farah, seperti yang beberapa hari ini dilakukannya. Ia berharap kali ini gadis itu pulang lebih dahulu daripada ibu dan adiknya, sehingga Erlang bisa menemui dan bicara dengannya, tanpa kehadiran kedua orang itu. Ia sengaja tidak menunggu di depan rumah Farah, karena tahu bahwa gadis itu akan melarikan diri darinya jika tahu bahwa ia menunggunya.

Sampai saat ini Erlang tidak bisa memahami gadis itu. Gadis itu yang terlebih dahulu menyatakan cinta padanya. Tapi kenapa sekarang ia menghindar? Erlang paham jika gadis itu membencinya setelah dirinya meninggalkan gadis itu tanpa penjelasan setelah kejadian itu. Tapi bagaimanapun, jika gadis itu hamil karena dirinya, bukankah harus ada yang bertanggung jawab? Jadi kenapa di saat dirinya bersedia bertanggung jawab, gadis itu malah melarikan diri?

Setelah menunggu hampir dua jam di dalam mobilnya, akhirnya menjelang sore Erlang melihat Farah turun dari ojek online di depan rumahnya. Saat itu belum waktunya Fariha dan Faris pulang, sehingga inilah kesempatan Erlang untuk menemui dan bicara dengan Farah berdua saja. Sebelum ia kehilangan kesempatan, baru-buru Erlang keluar dari mobilnya dan berlari menemui gadis yang sedang membuka pintu pagar rumahnya.

Gadis itu sudah membuka pagarnya, masuk, dan bersiap menutupnya kembali, ketika tepat saat itu Erlang tiba disana dan menahan pagarnya.

"Far..." panggil Erlang.

Ekspresi gadis itu tampak terkejut. Tapi dia terlihat mencoba menguasai diri agar tetap tenang.

"Akhirnya kita bisa ketemu. Ada yang perlu kita bicarakan."

Farah tampak enggan. Tapi toh ia melepaskan tangannya dari pagar, lalu langsung melangkah melewati halaman rumahnya, membiarkan Erlang membuka pagar dan mengikutinya masuk.

Farah membuka pintu rumahnya dan duduk di sofa ruang tamu. Ia sengaja duduk di sofa tunggal, agar Erlang duduk di sofa panjang, terpisah darinya. Ia membiarkan lelaki itu masuk dan duduk di hadapannya, lalu diam menunggu.

Bertahun-tahun mengenal Farah, hati Erlang merasa sakit melihat ekspresi Farah yang seperti ini. Sebelum kejadian itu, Farah selalu ceria dan bahkan tidak sungkan menggelayut di lengannya tiap mereka bersama. Tapi sejak kejadian itu, jangankan tersenyum, gadis itu malah terlihat selalu menghindari tatapan matanya. Erlang tidak menyalahkan Farah atas sikapnya. Dia hanya menyesali perubahan hubungan mereka.

"Kamu apa kabar?" tanya Erlang, memulai dengan canggung.

"Baik," jawab Farah singkat. Wajahnya menunduk, sok sibuk dengan ponselnya.

"Masih mual dan muntah?" tanya Erlang lagi. Tidak mengulur waktu, ia ingin segera sampai ke tujuan pembicaraan.

Meski terlihat sedikit tidak nyaman, Farah menjawab pertanyaan itu dengan lancar. "Nggak."

"Kapan terakhir kali kamu datang bulan?"

Akhirnya Farah mengangkat wajahnya, dan menatap Erlang dengan dingin. "Itu bukan urusan Om."

"Itu jelas urusan Om," jawab Erlang tidak kalah berkeras. "Kapan terakhir kali kamu datang bulan?"

"Apa yang mau Om tahu?"

"Apa kamu hamil?"

"Itu bukan urusan Om."

"Itu jelas urusanku! Kalau kamu hamil, itu anakku!"

"Kalaupun saya hamil, dia bukan anak Om." Anak yang terjadi di luar pernikahan bukan bernasab pada ayahnya, tapi pada ibunya.

"Jadi benar, kamu hamil?!" tanya Erlang, terkesiap. Jadi akhirnya kecurigaannya terbukti. Matanya refleks menatap perut Farah.

"Om nggak perlu khawatir soal anak," jawab Farah, masih dingin. Refleks pula, ia memeluk perutnya, berusaha menyembunyikannya dari tatapan Erlang.

Tapi jelas jawaban itu tidak menjawab pertanyaan Erlang.

"Apa maksudnya itu? Apa kamu berniat menggugurkannya?" tanya Erlang khawatir.

Farah tidak menjawab. Dia hanya memalingkan wajah.

"Kita sudah berdosa. Jangan lagi menambah dosa dengan menggugurkan anak itu. Om mau bertanggung jawab. Om akan menikahi kamu."

"Saya yang nggak mau!" tukas Farah.

"Kenapa?" tanya Erlang.

"Kenapa Om mau menikahi saya?" Farah malah balik bertanya.

"Karena anak itu nggak bisa lahir tanpa ayahnya, Farah. Dan aku ayahnya! Aku akan bertanggung jawab."

"Saya nggak perlu tanggung jawab."

"Jadi apa yang kamu butuhkan? Cinta?"

Farah mendengus.

"Om sayang sama kamu...."

"... sebagai keponakan," Farah mencibir. Sudah sangat paham dengan itu.

"Jangan keras kepala, Farah. Ini bukan waktunya untuk menjadi idealis. Anak itu nggak boleh digugurkan. Memangnya kamu punya rencana lain?"

"Jadi apa rencana Om? Berapa tahun Om merencanakan pernikahan kali ini?"

"Apa?" Erlang menatap gadis itu dengan kebingungan.

"Berapa tahun Om berencana menikahi saya? Sampai anak ini lahir? Atau sampai dua tahun, seperti kesempatan yang Om berikan untuk Tante Lidya? Dan kalau setelah dua tahun saya nggak bisa mendapatkan hati Om juga, Om juga akan menceraikan saya, seperti yang Om lakukan pada Tante Lidya? Dengan alasan supaya saya mendapat yang lebih baik? Saya nggak mau bernasib sama seperti Tante Lidya."

Erlang kaget. Bagaimana Farah bisa tahu alasan sebenarnya perceraiannya dengan Lidya?

"Tapi Om nggak akan biarin kamu menghadapi ini sendirian. Gimana kamu bisa hamil dan melahirkan sendirian tanpa suami? Apa kata orang-orang? Gimana perasaan Mama kamu nanti? Mama kamu pasti sedih dan terpukul kalau tahu kamu hamil di luar nikah. Jadi sebaiknya kita segera menikah sebelum perut kamu membesar."

Tiba-tiba Farah menatap Erlang dengan tajam. Membuat Erlang bingung menafsirkan tatapan itu.

"Om bukan khawatir sama saya kan? Om cuma khawatir sama Mama kan?" tanya gadis itu dengan tatapan terluka. "Lalu apa yang akan terjadi nanti setelah kita menikah? Om akan selalu melihat saya cuma sebagai pengganti Mama? Om akan selalu memanggil nama Mama tiap kita tidur bersama?"

Mata Erlang sontak membesar. Kaget dan tidak mengerti.

"Kalau menikahi saya, Om nggak akan punya kesempatan lagi di masa depan untuk menikahi Mama. Bukannya Om sudah menunggu kesempatan ini sejak lebih dari dua puluh tahun lalu?" kata Farah sambil mengejek dengan wajah sinis dan wajah terluka.

Kali ini Erlang benar-benar syok dengan kata-kata Farah. Apa gadis itu tahu tentang perasaannya yang selama ini disembunyikannya?

"Saya cinta sama Om," kata Farah sedih. "Tapi kalau harus bersaing dengan ibu saya sendiri seumur hidup, saya nggak sanggup. Dan saya nggak punya harapan untuk mendapatkan hati Om kan? Karena Om cuma sayang sama saya karena wajah saya mirip Mama kan? Saya nggak mau memulai sesuatu yang cuma akan menyakiti diri saya sendiri."

"Ta___"

"Om nggak perlu khawatir soal anak," Farah dengan cepat memotong, dan mengulangi kata-katanya di awal pembicaraan mereka tadi. "Saya nggak hamil. Sekarang saya sedang datang bulan."

* * *

Gimana si Far? Hamil nggak sih? Kok lagi datang bulan?

* * *

Siapa yang kemarin nyariin Erlang, hayo? Dia udah bersedia tanggung jawab nih. Masih brengsek ga? Hehehe.

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top