24. Nanas

Astaghfirullah, saya kaget.
Masa pagi ini saya ga bisa akses wattpad. Huhuhuhu. Deg2an dan sedih. Takut akun ini ilang. Alhamdulillah skrg bisa akses lagi.

Seneng deh msh bisa menyapa Kakak2.

* * *

Di bab sebelumnya, banyak Kakak2 pembaca yg ngasih saran ke Farah bbrp alternatif solusi utk memecahkan masalah Farah. Makasih byk ya Kakak2 yg tetep sayang sm Farah.

Pd kasus Farah kali ini, murni dia yg salah, karena terlalu mudah tergoda. Tapi di luar sana, ada perempuan2 yg hamil di luar nikah krn terpaksa keadaan (misal, korban perkosaan). Ini bukan justifikasi bahwa hamil di luar nikah adalah sesuatu yg wajar. Tapi kasih sayang yg Kakak2 tunjukkan kpd Farah memberikan secercah harapan buat perempuan2 lain yang bernasib lebih sedih daripada Farah. Setidaknya, masih banyak orang2 spt Kakak2 yg mau mencoba memahami dan tidak cepat menghakimi. Ini sgt berarti buat mereka.

Bagi Farah, tanpa dituding berdosapun, dia sudah merasa berdosa. Bagi Farah, tanpa dituding "sisa" atau "bekas"pun, ia sudah merasa begitu. Bagi perempuan lain korban perkosaan, misalnya, tanpa ditudingpun, dia sudah merasa jijik pada dirinya sendiri. Tanpa kita pojokkan n kita hakimipun, hidup mereka sudah berat. Jangan lagi menjadi bagian dari komunitas yang menambah beban hidup mereka.

Meski ini cuma fiksi dan cerita ringan, semoga ada hal2 yg bisa kita kita pelajari/manfaatkan.

Btw, seperti cerita saya yg lain, ending cerita ini sudah direncanakan dan nggak akan berubah meski byk godaan dr para pembaca. Tapi alur cerita bisa saja berubah. Dengan makin seru komentar, saran, kritik dari Kakak2, semoga alur cerita ini bisa makin seru.

Makasih tetap setia dg cerita ini, dan tetap setia di rumah aja, Kakak2 😘😘

* * *

Malam itu adalah pertama kalinya sejak sang kepala keluarga meninggal, keluarga Farah berkumpul saat makan malam dan serius berdiskusi tentang rencana masa depan keluarga mereka. Farah merasa tertantang dan lega di saat yang sama. Baru kali ini ibunya melibatkan Farah dan Faris dalam pembicaraan tentang kondisi finansial keluarga. Di sisi lain, Farah juga merasa lega karena melihat semangat hidup ibunya sudah kembali, setelah berminggu-minggu depresi dan berada pada fase denial, menolak kenyataan bahwa suaminya sudah meninggal. Kini akhirnya ibu Farah mau menghadapi kenyataan itu, sepaket dengan konsekuensinya.

Keluarga mereka bukan keluarga miskin. Mereka tidak pernah kekurangan. Tapi juga bukan keluarga yang berlebih. Tapi karena saat ini salah satu sumber pencari nafkah dalam keluarga sudah tiada, mereka tentu harus memikirkan rencana masa depan dengan lebih baik.

Ayah Farah tidak meninggalkan banyak warisan, karena dengan gaji standar guru SMA, bisa hidup layak dan melunasi cicilan rumah di kota besar saja sudah beruntung. Tapi masih ada sejumlah tabungan yang tersisa, dan itu direncanakan untuk uang masuk kuliah Faris tahun depan.

"Faris nggak perlu khawatir mikirin biaya kuliah. Pokoknya Faris belajar yang bener ya," kata sang ibu. "Tapi kalau Faris bisa masuk PTN, apalagi kalau bisa dapet beasiswa kayak mbak Farah, itu udah sangat membantu."

Saat itu Farah melihat wajah Faris yang biasanya santai dan main-main, jadi serius. Adiknya itu mengangguk kaku, antara penuh tekad dan stres. Wajar saja kalau dia stres, sebab meski dirinya tidak bodoh tapi karena sikapnya yang santai, pemuda itu tidak pernah mendapatkan peringkat 10 besar di kelas. Itu berarti perjuangannya untuk masuk PTN tahun depan akan lebih berat.

"Tapi Mbak kan sekarang udah lulus," kata Faris. "Berarti bisa bantu-bantu keuangan keluarga dong?"

"Alhamdulillah Mbak sekarang udah lulus," kata ibu sambil menggenggam tangan Farah dan tersenyum. "Setidaknya kewajiban Mama dalam hal finansial sudah terpenuhi. Semoga setelah ini Mbak segera dapat pekerjaan yang baik dan bisa mandiri."

Farah mengangguk dan meneguk ludah berat. Meski sudah terlintas di benaknya bahwa dengan kondisi keluarganya sekarang, setelah dirinya lulus, ia tentu harus bekerja untuk membantu pendidikan Faris juga. Tapi kini setelah dia tahu bahwa dirinya hamil, segala sesuatu menjadi rumit.

"Tapi pendidikan Faris, tetap kewajiban Mama. Mbak Farah nggak punya kewajiban untuk menyekolahkan Faris," kata sang ibu. "Mama masih kerja. Dan ada sisa tabungan Papa. Kalau kita hidup tidak bermewah-mewah, Faris nggak perlu terlalu khawatir soal biaya kuliah."

Farah merasa terharu mendengarnya. Padahal, karena melihat sikap ibunya yang lemah lembut dan banyak bergantung pada sang ayah, Farah sempat menduga ibunya juga akan menumpukan tanggung jawab finansial keluarga kepada Farah setelah ayahnya meninggal dan Farah lulus kuliah. Tapi ternyata dirinya telah salah sangka pada ibunya.

Meski demikian, Farah tetap merasa bahwa dirinya kini memiliki tanggung jawab terhadap kondisi finansial keluarga, termasuk biaya kuliah Faris.

"Farah akan berusaha kerja di perusahaan yang baik, Ma. Semoga gajinya cukup besar, jadi bisa bantu Mama dan Faris," kata Farah, mencoba optimis. Meski ia tidak yakin akan ada perusahaan yang mau menerimanya jika mereka tahu bahwa dirinya sedang hamil di luar nikah.

Ibu Farah kembali tersenyum. "Makasih ya Mbak. Mama bangga sama Farah."

Dan respon itu membut Farah mengkerut. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana kecewanya ibunya nanti kalau tahu bahwa anak perempuan yang dibanggakannya hamil di luar nikah.

"Waktu Faris masih di rumah sakit, Om Erlang juga pernah bilang ke Faris, bahwa kalau kita butuh bantuan apapun, termasuk finansial, om Erlang bisa bantu," kata Faris menambahkan.

"Om Erlang juga bilang hal yang sama ke Mama," kata ibunya Farah, sambil mengangguk sedih. "Tapi Om Erlang bukan keluarga kita, meski sangat dekat dengan kita. Sebisa mungkin kita nggak boleh merepotkan dia. Selama ini kita sudah banyak dibantu Om Erlang. Terutama setelah Papa meninggal ini, kita sudah banyak merepotkan dia. Mama nggak kebayang sulitnya hari-hari kemarin tanpa Om Erlang."

Farah menunduk. Ternyata sebesar itu perhatian lelaki itu kepada keluarga mereka. Pasti ia sangat peduli pada ibunya Farah sehingga ingin membantu sebesar yang ia bisa.

"Om Erlang naksir Mama ga sih?" celetuk Faris tiba-tiba. Membuat Farah dan ibunya sama-sama menoleh kaget kepada pemuda itu. "Soalnya dia baik banget sama keluarga kita. Faris juga pernah dengar dulu Papa bercanda, katanya pas jadi murid Mama-Papa pas SMA dulu Om Erlang sempet naksir Mama."

Ibunya tertawa."Itu cuma cinta monyet."

Itu bukan cinta monyet, pikir Farah miris. Dia masih cinta sama Mama sampai sekarang.

"Siapa tahu Om Erlang masih naksir Mama sampai sekarang kan," lanjut Faris. "Kalau emang bener Om Erlang masih naksir Mama, apa ada kemungkinan nanti Om Erlang jadi papa tiri Faris?"

"Kamu mikirnya kejauhan!" kata sang ibu sambil menoyor kepala anak lelakinya. "Dua puluh tahun lebih Mama hidup sama Papa. Nggak mudah menerima laki-laki lain. Jadi kamu belum perlu mengkhawatirkan punya papa tiri."

"Tapi kalaupun aku harus punya papa tiri, Faris lebih setuju kalau itu adalah Om Erlang."

Ibu Farah tertawa ringan. Dan Farah masih menunduk. Adiknya menyukai lelaki itu sebagai calon papa tiri. Dan tanpa sadar ibunya juga banyak bergantung pada lelaki itu. Kalau sudah begini, bagaimana dirinya bisa minta pertanggungjawaban Erlang untuk dinikahi?

* * *

Sejak masa-masa penyusunan skripsi, meski belum benar-benar tahu ingin kerja dimana, Farah dan beberapa teman sudah mengikuti open recruitment beberapa perusahaan yang diadakan di kampus mereka. Fakultas Teknik memang memiliki ikatan alumni yang lumayan solid, sehingga tidak jarang ketika para alumni tersebut sudah lulus, bekerja dan menjadi petinggi di perusahaan tempatnya bekerja masing-masing, mereka mendahulukan fresh graduates dari kampus mereka terlebih dahulu saat mencari karyawan baru. Dan sebagai calon pengangguran (calon wisudawan adalah calon pengangguran yang tertunda kan) saat itu, Farah iseng saja ikut-ikutan teman-temannya untuk melamar di sejumlah perusahaan yang membuat open recruitment di kampus mereka.

Meski hanya iseng-iseng, ternyata berkat IPKnya yang di atas 3.5 dan beberapa pengalaman di BEM yang dicantumkannya di CV, Farah lolos seleksi administrasi ke tahap berikutnya. Jadi hari itu Farah dan beberapa teman kembali mengikuti tahap seleksi berikutnya.

Siang itu Farah dan beberapa temannya berkumpul di kantin setelah menjalani wawancara dan psikotes. Perusahaan yang kali itu mengadakan open recruitment adalah perusahaan minyak dan gas. Mereka mencari beberapa karyawan, yang sebagiannya akan ditugaskan ke sejumlah lokasi kilang, yang tentunya di luar Jakarta. Itu mengapa kebanyakan yang mendaftar adalah para mahasiswa lelaki dari Departemen Mesin dan Elektro. Hanya beberapa teman sekelas Farah dari Departemen Teknik Industri yang ikut mendaftar untuk posisi Controller dan Plant Logistic, dan dari yang sedikit itu, hanya 3 orang perempuan yang ikut.

"Lo emang nggak apa-apa kalo kerja di luar Jakarta? Mama lo setuju?" tanya Rully ketika mereka makan bersama di kantin, setelah proses wawancara dan psikotes tersebut.

Farah mengangkat bahunya. Dia belum tahu apakah ibunya setuju atau tidak. Dia bahkan tidak yakin pada akhirnya perusahaan akan menerimanya jika tahu kondisi kehamilannya. Ini semua hanya iseng belaka, karena toh Farah belum tahu apa yang harus dilakukannya dengan kondisinya sekarang.

"Nggak banyak cewek yang bersedia kerja di luar Jakarta sih. Entah karena nggak mau, atau nggak dibolehin keluarga," kata Wisnu mendukung.

"Padahal banyak juga job yang prospektif di luar Jakarta lho," sahut Wanda. "Kemarin gue ditawarin sama Ci Stefi, kakak kelas kita dulu, pada inget kan lo? Controlling & Logistic Manager hotel di Bali. Itu hotel punya keluarganya. Seru banget tuh padahal, bisa kerja sambil berasa liburan kan. Tapi gue cuma dibolehin kerja di Jakarta sama keluarga gue."

Wanda berada di kampus saat ini memang bukan untuk ikut rekrutmen perusahaan gas dan minyak tadi. Dia disana cuma untuk memberi semangat pada Wisnu. Setelah pedekate lama, mereka pacaran juga akhirnya.

"Njir! Asem banget!" pekik Rully tiba-tiba. Wajahnya mengernyit tajam.

Wanda, Wisnu dan Farah langsung menertawainya. Ternyata barusan Rully mencomot rujak di hadapan Farah, dan ndilalah mendapatkan buah yang asam.

"Makanya, kalau mau nyomot, minta ijin dulu," kata Farah, masih terkikik.

"Yaelah, pelit amat. Rujak doang sih," gerutu Rully.

"Lo nyomot apaan sih emangnya?"

"Nanas. Anjir asem banget! Kayak idup gue."

"Oh, lo dapet nanas muda tuh."

"Emangnya lo nggak merasa keaseman makan gituan, Far?" tanya Rully penasaran. Karena sejak tadi Farah terlihat santai saja mencomoti buah-buahan di piring satu per satu, tanpa memperlihatkan ekspresi asam atau kepedasan.

"Nggak asem kok. Lo aja yang kurang beruntung dapet yang asem."

"Njir gue dapet yang asem juga!" pekik Wisnu ikutan. Barusan dia juga mencomot satu potong buah di piring rujak tersebut. "Ini nanasnya asem semua kayaknya. Bukan nanas madu ya?"

Farah mengernyit bingung. Padahal sejak tadi dia baik-baik saja memakan rujaknya. Kenapa teman-temannya bilang asem ya?

"Lo dari tadi cuma makan rujak dan minum jus? Ga ikut pesen makan siang?" tanya Wanda kemudian.

"Duh, ngeliat Wisnu dan Rully makan dengan bar-bar aja gue langsung kehilangan selera makan," jawab Farah berseloroh. "Nanti gue makan di rumah aja deh. Abis ini gue pulang kok. Kita belum perlu ngurus apapun kan, masih nunggu info tentang persiapan wisu____?"

"What the hell do you think you are doing, Farah?!"

Belum juga Farah selesai dengan kalimatnya, seseorang sudah berdiri di sampingnya dan membentak. Farah kaget hingga tersentak berdiri. Beberapa mahasiswa di kantin tersebut, yang duduk di beberapa meja di sebelah, juga bisa mendengar suara bentakan itu. Dan bukan hanya suara bentakan itu saja yang membuat kaget. Tapi juga karena ternyata yang membentak adalah seorang dosen yang dikenal ramah dan jarang menaikkan intonasi suaranya. Jadi jika dosen tersebut sekarang membentak dengan keras, tentu itu berarti Farah sudah melakukan kesalahan fatal.

"Kamu ikut saya ke ruangan, sekarang!" kata dosen tersebut dengan tegas.

Farah mengerjap dengan bingung. Lalu melirik ketiga temannya, meminta petunjuk mengapa tiba-tiba dosen tersebut bersikap demikian padanya. Tapi teman-temannya juga menatapnya dengan sama tidak mengertinya.

"Sekarang!" bentak dosen itu sekali lagi. Sontak membuat Farah refleks menyambar tasnya dan mengikuti dosen tersebut dari belakang.

Setelah Farah dan sang dosen melangkah cukup jauh, barulah tensi di sekitar meja kantin tersebut mereda.

"Lagi kesambet apa tuh Pak Attar? Kok tumben galak gitu? Kok marah-marah ke Farah? Ada masalah apa dia sama Farah?" tanya Wanda, berbisik kepo. Yang disambut dengan gelengan kepala dan gendikan bahu oleh Wisnu dan Rully. Mereka juga tidak mengerti.

* * *

Bapak kok jadi ngomel-ngomel? Kayak suami nggak dapet jatah aja 😆😆

Ada yang tahu kenapa Pak Attar marah2 tiba2 gitu?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top