23. Grilled Tuna
Setelah siuman, Farah diijinkan pulang dari klinik, setelah Attar menebus resep beberapa vitamin untuk ibu hamil. Namun setelah itu, Farah tidak benar-benar ingat bagaimana dirinya bisa sampai di rumahnya.
Sejak mendengar informasi dari dokter, pikiran Farah penuh sekaligus kosong. Ia duduk di dalam mobil Attar bagai orang linglung.
Pertama, ia bingung kenapa bisa hamil. Mereka hanya melakukannya satu kali. Sementara banyak wanita lain yang berjuang bertahun-tahun agar testpacknya positif, kenapa justru dirinya yang hanya sekali melakukannya langsung bisa hamil? Farah tahu itu adalah pertanyaan bodoh, mengira bahwa satu kali hubungan sex tidak akan menyebabkan kehamilan. Tapi bagaimanapun ia tetap mempertanyakan keadilan Tuhan. Mengapa bayi itu diberikan kepadanya, bukan kepada pasangan suami istri sah yang sudah menunggu bertahun-tahun saja?
Selanjutnya, ia juga tidak tahu bagaimana harus bersikap di hadapan Attar setelah dosennya itu justru menjadi orang yang pertama kali mengetahui bahwa dirinya hamil...sebelum menikah. Apa ia harus berterima kasih karena dosennya itu sudah membawanya ke klinik, membiayai biaya konsultasi dokter dan periksa lab serta membelikannya vitamin? Atau ia harus minta maaf karena sudah merepotkan? Atau ia harus minta maaf karena setelah ini ia tidak lagi berniat makan bersama dengan Ahsan.
Farah makin salah tingkah karena sepanjang perjalanan dosennya itu hanya diam saja. Di satu sisi, hal itu melegakan karena dirinya tidak harus menjelaskan apapun. Tapi di sisi lain, ekspresi kaku Attar juga membuatnya tegang. Apakah dosennya itu marah atau kecewa padanya? Semua guru pasti kecewa kalau ada muridnya yang hamil diluar nikah kan?
Tapi lebih besar daripada rasa takutnya menghadapi Attar, Farah lebih takut menghadapi dunia. Apa yang harus dilakukannya setelah ini? Apakah ia akan mempertahankan atau menggugurkan bayi itu? Apakah ia akhirnya harus menyerah dan memohon tanggung jawab pada ayah dari bayi ini, laki-laki yang justru mencintai ibunya? Atau apakah ia kuat menjalani hidup sebagai orangtua tunggal?
Bagaimana terpukulnya ibunya? Apalagi hal ini terjadi tidak lama setelah ayahnya pergi. Apakah ibunya tidak akan kembali depresi? Apakah ibunya akan marah dan mengusirnya dari rumah? Bagaimana dirinya akan menjalani hidup setelah ini? Ia harus segera mencari pekerjaan. Tapi adakah perusahaan yang mau menerimanya jika mereka tahu bahwa si pegawai baru ini hamil di luar nikah?
Semua pertanyaan itu bergema di pikirannya. Tidak ada satupun yang dapat dijawabnya. Membuat kepalanya sakit dan dadanya sesak. Ia ingin menangis dan berteriak, tapi tidak bisa, karena sedang berada di mobil dosennya. Akibatnya ia hanya bisa menahan tangis, meski sesekali ia terpaksa menghapus air mata yang meluncur keluar tanpa bisa ditahan.
* * *
"Lho? Katanya mau makan-makan sama muridmu?" tanya ibunya ketika melihat Farah sudah tiba di rumah tidak lama setelah tengah hari. Kalau memang gadis itu makan siang bersama keluarga muridnya, harusnya ia kembali jauh lebih siang kan.
"Nggak jadi. Farah nggak enak badan."
"Jadi kamu belum makan siang? Sini makan dulu!"
"Farah nggak laper, Ma. Farah tidur dulu di kamar ya Ma. Nggak usah dibangunin."
Setelahnya Farah langsung ngeloyor masuk ke kamarnya. Meninggalkan ibunya dan Faris yang saling bertatapan bingung.
* * *
Attar pulang tanpa mengajak Farah kembali. Ia sudah mengantarkan gadis itu pulang ke rumahnya. Dan ketika bertemu Ahsan, dirinya harus menjelaskan kenapa dirinya pulang sendirian. Untung tadi Ahsan melihat sendiri bahwa gadis itu pingsan sehingga dibawa ke klinik, sehingga lebih mudah bagi Attar untuk menjelaskan kepada anaknya bahwa Farah sedang sakit dan acara makan siang bersama mereka harus dibatalkan. Attar menawarkan agar mereka tetap makan siang di mall tanpa Farah, atau menggantinya di hari lain. Ahsan memilih menunggu Farah sembuh dan makan siang bersama lain kali.
Melihat rasa sayang anaknya pada gadis itu, Attar kembali merasa perih.
Ketika mendengar informasi dari dokter bahwa gadis itu hamil, sontak Attar merasakan kekecewaan yang amat besar. Di matanya, gadis itu adalah mahasiswi cerdas dengan pergaulan yang wajar. Setahunya, gadis itu juga tidak punya pacar. Tapi siapa sangka, ternyata gadis itu sudah punya pacar, bahkan hubungan mereka sudah sampai melampaui batas hingga menyebabkan kehamilan. Attar tidak menyangka bahwa Farah adalah gadis seperti itu.
Attar pikir, kekecewaannya pada Farah hanya karena gadis itu tidak sesuai dengan ekspektasinya sebagai seorang dosen. Tapi ketika dirinya merenung sendiri di kamarnya, Attar baru menyadari bahwa alasan kekecewaannya terhadap Farah lebih dari itu.
Kata orang, kekecewaan hanya akan terjadi pada orang yang memiliki harapan. Ternyata hal itu benar. Barangkali Attar sudah sempat berharap "lebih" pada Farah. Apalagi melihat kedekatan gadis itu dengan Ahsan, membuat hati Attar tergerak. Tapi ternyata gadis itu sudah bersama orang lain, bahkan sampai hamil.
Attar menyesal. Seharusnya sejak awal dirinya sudah tahu diri. Andaipun gadis itu tidak punya pacar, mana mungkin gadis semuda itu tertarik pada dirinya, seorang duda dengan seorang anak. Kedekatan Farah dengan Ahsan pasti hanya karena gadis itu menyayangi anaknya sebagai seorang murid, tidak lebih. Seharusnya sejak awal, dirinya tidak pernah berharap lebih pada gadis itu.
Harapan hanya akan menyisakan kekecewaan.
* * *
Jika dirinya tidak makan hingga kelaparan, apakah ia bisa mati? Apakah bayi itu juga akan mati? Lalu semua masalah bisa selesai?
Tapi belum lagi pikiran-pikiran itu terjawab, sebuah ketukan pintu membuyarkan lamunan Farah. Ia buru-buru mengeringkan air matanya dan berusaha bersikap "normal", lalu membukakan pintu.
"Lo nangis, Mbak?" tanya Faris begitu berhadapan dengan Farah di depan pintu.
"Abis nonton drakor," jawab Farah singkat. "Kenapa?"
"Dipanggil Mama. Disuruh makan."
"Makan apa?"
"Ya makan malem lah."
Saat itulah Farah baru menyadari bahwa hari sudah gelap. Ia sudah berada di kamarnya sejak siang. Menangis dan mencari solusi atas masalahnya. Tapi tidak menemukannya. Satu-satunya solusi adalah meminta Erlang bertanggung jawab menikahinya. Lalu setelah itu ia akan hidup berumah tangga selamanya dengan laki-laki yang selalu menatap ibu mertuanya sendiri dengan penuh cinta. Solusi yang ironis.
Pantas saja dulu Lidya hanya bisa bertahan dua tahun, pikir Farah.
Farahpun mengikuti Faris berjalan ke ruang makan. Di sana ibunya sudah duduk di kursi makan, di hadapan banyak piring yang tersaji dengan makanan-makanan yang tampilannya menggugah selera. Tapi tidak bagi Farah.
Sialnya, bukan hanya ada ibunya di sana. Tapi Erlang juga sudah duduk di salah satu kursi makan di situ.
"Om Erlang bawa bahan makanan dari restoran lagi," kata ibu Farah, menjawab tatapan bingung Farah. "Mama sengaja masak banyak, sekalian syukuran kelulusan kamu. Lagian dari tadi siang kamu belum makan kan?"
Mendengar itu, Erlang langsung melirik Farah. Dan Farah sengaja menghindari tatapan Erlang, lalu duduk di salah satu kursi, yang bagaimanapun diusahakannya di meja makan kecil itu semua orang tetap bisa saling menatap.
"Mbak malah nonton drakor sampe nangis-nangis gitu Ma. Liat tuh matanya," kata Faris lapor.
Biasanya setelah itu Farah dan Faris akan terlibat perdebatan dan saling ejek. Tapi kali itu Farah sangat malas menanggapi.
"Nih, Mama masak grilled tuna, kesukaan kamu, Far. Kebetulan ada sisa tuna dari restoran om Erlang," kata ibu Farah sambil meletakkan potongan grilled tuna ke piring Farah.
Melihat potongan tuna itu, tanpa bisa dicegah, Farah merasa mual. Buru-buru ia menutup mulutnya, mencegah agar jangan sampai muntah.
"Kenapa?" tanya ibunya kaget.
"Lagi males makan ikan, Ma. Masih mual. Kayaknya masih masuk angin. Farah makan salad aja."
Farah langsung menggeser piringnya yang berisi tuna, menukarnya dengan piring Faris yang masih kosong. Lalu mengisinya dengan salad dan mashed potato.
"Lo kok masuk angin nggak sembuh-sembuh, Mbak? Kirain cuma pas begadang-begadang bikin skripsi aja. Ternyata masih berlanjut? Nggak mau dipijit aja, biar keluar semua anginnya?" tanya Faris.
"Nanti juga sembuh," jawab Farah acuh.
"Minum tolak angin gih. Kalo mual muntah kelamaan gitu, orang bisa mikir lo hamil, Mbak."
Tangan Farah yang terangkat hendak menyuap makanan langsung terhenti, mengambang sekian milimeter di atas piringnya, ketika mendengar ucapan Faris. Apa kondisinya sudah semencurigakan itu?
"Hush! Jangan ngomong sembarangan!" sergah ibu Farah pada anak lelakinya. "Mbakmu ini, pacar aja nggak punya..."
Dari sudut matanya, Farah tahu bahwa Erlang sedang mengawasinya. Tapi sekali lagi, Farah mengabaikannya dan melarikan matanya supaya tidak bertatap dengan Erlang. Setelah makan malam dan mencuci piringpun ia segera kembali ke kamarnya, berusaha menjauhi pria itu.
Tapi sepertinya pria itu tidak menyerah. Karena setelah pria itu pulang, Farah menerima pesan bertubi-tubi.
Om Erlang: Farah, apa kamu hamil?
Om Erlang: Apa kamu sudah datang bulan lagi setelah kejadian itu?
Om Erlang: Kita harus ketemu. Tolong.
Om Erlang: Far... tolong angkat telpon Om.
Untuk apa lelaki itu mengajak bicara? Apakah jika lelaki itu tahu bahwa dirinya benar hamil, lelaki itu akan memintanya menggurkan kandungan? Atau akan mengajaknya menikah, seperti ide spontannya beberapa waktu lalu, dan bersama dalam pernikahan tanpa cinta? Farah tidak tahu mana yang lebih baik atau lebih buruk diantara keduanya.
* * *
Kira2 mau ngapain Erlang ngajak ketemuan? Beneran ngajak nikah (seperti di bab lalu) atau justru kali ini berubah pikiran dan nyuruh Farah menggugurkan kandungan?
Kemarin siapa yang berharap Attar yang mau nikahin Farah? Boro-boro, Pak Dosen udah keburu ilfeel dan kecewa duluan pas tahu Farah hamil sama laki-laki lain.
Lagian, Erlang yang menabur benih, kenapa Attar yang disuruh menuai?
Fans Pak Attar yang kecewa, mana suaranya~~~? Apakah setelah ini pembaca cerita ini akan turun drastis?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top