19. Sandwich, Sosis dan Telur

Tidak ada waktu bersedih bagi Farah. Begitu tersadar dari pingsannya di ruang UGD, dia harus segera menghadapi kenyataan bahwa ayahnya telah meninggal, ibunya tidak sadarkan diri saking terpukulnya, dan adiknya belum bisa keluar dari rumah sakit.

Ketika dirinya pingsan, ternyata Erlang sudah menghubungi Tante Mira, adik ayah Farah yang tinggal di Bogor, dan mengabarkan berita duka tersebut. Sehingga ketika Farah siuman, ia sudah menemukan Tante Mira dan Om Rudi (suaminya) berada bersamanya di rumah sakit.

Dibantu oleh Om Rudi, Erlang dan para tetangga, Farah segera menyiapkan pemakaman ayahnya. Tante Mira masih menunggui ibu Farah di rumah sakit hingga beliau sadar. Tante Mira juga yang mengantar pulang ibunya Farah agar dapat melihat jasad suaminya sebelum dimakamkan.

Ibu Farah dan Tante Mira tiba di rumah menjelang tengah hari. Saat itu ayah Farah sudah dimandikan dan dishalatkan. Setelahnya, barulah jenasah ayah Farah dimakamkan.

Farah sendiri tidak sempat bersedih karena dirinya sibuk mengurus ibunya yang terus menangis, dan bahkan tiga kali pingsan sejak pertama kali melihat jenasah suaminya di ruang tamu rumahnya sendiri hingga selesai pemakaman.

Ketika malam tiba, ketika semua tamu (termasuk Om Rudi dan Tante Mira) sudah pulang, dan ibunya akhirnya tertidur karena kelelahan menangis... saat dirinya merebahkan tubuh di tempat tidur ibunya, saat itulah Farah baru benar-benar bisa menangis.

Tragedi yang terjadi berturut-turut dalam seminggu ini, terutama dalam 24 jam terakhir hidupnya ini, benar-benar menjungkir-balik dan memporak-porandakan hidupnya. Ia ingin berkata bahwa dirinya tidak tahu bagaimana melanjutkan hidup setelah ini. Tapi ketika melihat ibunya yang terbaring di sisinya dengan pipi basah sisa tangisan, setelah melihat betapa rapuh ibunya setelah kepergian sang ayah, Farah seperti tidak punya pilihan lain selain menjadi kuat dengan segera.

* * *

Farah terbangun di pagi keesokan harinya karena dua hal: mimpi buruk tentang rasa sakit saat seorang lelaki memasukinya, dan suara tangisan ibunya. Ketika ia berguling, ia menemukan ibunya sedang menangis di atas sajadah.

Setelah ia membersihkan diri di kamar mandi, sholat dan kembali ke kamar ibunya, Farah melihat ibunya sudah kembali meringkuk di tempat tidur.

"Mama mau sarapan apa?" tanya Farah sambil duduk di sisi ibunya.

Biasanya di pagi hari seperti ini sang ibu sudah berada di dapur untuk menyiapkan sarapan. Meski sang ibu tidak memasak di pagi hari, biasanya ibunya hanya memasak di malam hari lalu memanaskan sisa masakannya untuk sarapan di keesokan paginya, supaya tidak butuh waltu lama untuk menyiapkan sarapan.

Tapi kali ini sang ibu tidak memasak pada malam sebelumnya. Tidak ada masakan yang tersedia untuk dipanaskan pagi hari ini. Dan melihat bahwa pagi ini sepertinya ibunya tidak berminat memasak, maka Farah harus memasak atau membeli sarapan di luar.

"Mama ga laper," jawab ibunya, lemah. "Kita masih punya roti dan mi instan, kalau Farah mau sarapan."

"Farah mah gampang. Yang penting Mama mau sarapan. Mama belum makan dari kemarin siang."

"Mama nggak lapar."

"Farah bikinin roti bakar? Atau mi? Atau Farah beliin bubur ayam ya?" bujuk Farah.

Tapi sang ibu tetap menggeleng.

Akhirnya, meski sang Ibu berkeras tidak ingin sarapan, Farah memutuskan untuk membeli bubur ayam yang mangkal di depan komplek perumahannya. Setiap dirinya sakit, ibunya pasti membelikan bubur ayam itu. Farah berharap bubur ayam itu bisa membangkitkan selera makan ibunya, sehingga ibunya mau sarapan.

Karena bubur ayam di depan komplek selalu ramai pembeli, Farah baru kembali ke rumah 30 menit kemudian. Dan jantungnya mencelos ketika melihat mobil yang terparkir di depan rumahnya. Mobil yang sudah amat dikenalinya.

Menguatkan hati, Farah terpaksa masuk ke rumahnya sendiri. Tidak mungkin dia berdiam di luar rumah hanya karena ada orang itu di dalam rumahnya kan. Lagipula, ibunya harus segera sarapan.

Tapi ketika Farah sudah masuk hingga ke ruang makan, dia mendapati bahwa ibunya sudah duduk di kursi di depan meja makan, dengan sandwich tersaji di hadapannya. Farah juga melihat sebagian sandwich tersebut sudah dimakan. Itu artinya ibunya akhirnya mau sarapan. Syukurlah demikian. Akhirnya ada yang berhasil membujuk beliau untuk makan.

"Kamu beli bubur ayam?" tanya ibunya ketika melihat Farah datang dengan sebuah bungkusan yang dikenalnya.

Farah mengangguk dalam diam. Berusaha untuk tidak bersitatap dengan lelaki yang duduk di hadapan ibunya.

"Om Erlang bikinin sandwich, sosis dan telur... " kata ibu Farah, dengan wajah meminta maaf karena sudah terlanjur memakan sandwich buatan Erlang, alih-alih bubur ayam yang dibelikan Farah.

"Nggak apa-apa, Ma. Bubur ayamnya nanti Farah yang makan," jawab Farah sambil meletakkan bungkusan berisi bubur ayam di meja dapur.

Tapi alih-alih mengambil mangkok untuk makan, Farah justru pergi ke kamarnya.

"Farah nggak ikut sarapan?" tanya ibunya. "Ikut sarapan sini, bareng Mama dan Om Erlang."

"Nanti aja Ma," jawab Farah cepat. "Farah siap-siap ke rumah sakit, mau jaga Faris. Dia udah sendirian sejak kemarin. Nanti Farah bawa buburnya ke rumah sakit."

Kondisi ibunya sejak kemarin memang mengkhawatirkan sehingga Farah sempat ragu apakah dirinya terpaksa meninggalkan Faris sendirian lagi hari ini demi menjaga ibunya. Tapi melihat beliau pagi ini sudah mau makan lagi, barangkali sudah aman bagi Farah untuk meninggalkan beliau dan menjaga Faris. Toh sudah ada lelaki itu yang akan selalu siap sedia menjaga di sisi ibunya, menghibur dan bisa membujuknya makan.

* * *

Dua hari setelah ayahnya meninggal, Faris akhirnya diperbolehkan pulang oleh dokter. Meski belum sembuh 100% dan masih harus memakai kruk, Faris sudah mulai bisa beraktivitas, meski terbatas. Kebetulan saat itu bukan Farah yang menemani Faris. Erlang yang berada bersama Faris ketika dokter menyatakan bahwa Faris sudah bisa pulang. Akhirnya Erlang yang mengurus administrasi dan pembayaran biaya rumah sakit sebelum pemuda itu keluar dari rumah sakit. Meski sebagian biaya pengobatan dan perawatan Faris ditanggung oleh asuransi kesehatan negara, tapi ada beberapa biaya tambahan yang tidak tercover asuransi tersebut dan harus dibayar pribadi.

"Berapa biaya rumah sakitnya? Nanti saya bilang Mama, supaya bisa transfer," tanya Farah kepada Erlang yang mengantarkan Faris pulang, setelah membawa Faris ke kamarnya.

Mencoba agar tidak berhadapan dengan lelaki itu, Farah segera melangkah pergi menuju kamarnya. Tapi ternyata lelaki itu mengikutinya.

"Nggak usah. Om sudah bilang ke Mama kamu. Biar Om yang bantu."

Farah tidak menjawab. Kalau sudah ada kesepakatan antara ibunya dan lelaki itu, Farah merasa tidak berhak ikut campur.

"Far..." panggil lelaki itu, sebelum Farah membuka pintu kamarnya. Membuat tubuh Farah menegang dan terpaku di depan kamar.

Lelaki itu sudah biasa memanggilnya seperti itu. Tapi sejak kejadian malam itu, panggilan "Far..." selalu membuatnya teringat bahwa di rumah ini bukan hanya dirinya seorang yang dipanggil seperti itu. Ada perempuan lain yang juga memiliki panggilan "Far...." dan ironisnya, Farah hanya menjadi bayang-bayang perempuan itu.

Sejak kecil, banyak yang bilang bahwa Farah mirip dan secantik ibunya. Farah selalu bangga dengan itu, karena ibunya memang cantik, bahkan di usianya yang kini sudah 45 tahun. Tapi sejak hari itu, Farah tidak lagi senang jika dibandingkan dengan ibunya.

"Tentang malam itu...."

Tubuh Farah menegang selagi memunggungi lelaki itu. Dia sudah menyiapkan diri untuk menghindar dari percakapan itu, ketika tiba-tiba pintu kamar ibunya terbuka.

"Erlang? Farah?" panggil sang ibu dengan tatapan bingung, ketika melihat kedua orang itu berdiri di depan pintu kamar Farah.

"Om Erlang tadi jemput Faris pulang dari rumah sakit, Ma. Faris sekarang udah di kamarnya. Farah masuk kamar dulu ya Ma," kata Farah cepat. Kemudian tanpa menunggu jawaban ibunya, Farah segera membuka pintu kamarnya, masuk dan menutupnya. Meninggalkan kedua orang itu diluar pintu kamarnya.

Farah menyesali yang terjadi malam itu. Tapi ia tidak 100% menyalahkan lelaki itu atas yang terjadi padanya, karena dirinya juga andil dalam kesalahan tersebut. Tapi ketika lelaki itu tiba-tiba meninggalkannya tanpa penjelasan sedikitpun, ia merasa sakit hati. Ia mengharapkan sedikit penjelasan mengapa dirinya dicampakkan sekejam itu setelah apa yang diberikannya kepada laki-laki itu.

Tapi kini Farah tidak lagi membutuhkan penjelasan itu. Justru, ia tidak ingin mendengarkan penjelasan apapun. Karena kini dirinya sudah tahu alasan lelaki itu meninggalkannya begitu saja.

Karena saat hal itu terjadi, Farah tahu bahwa laki-laki itu bukan bermaksud melakukan hal itu kepada dirinya. Lelaki itu membayangkan perempuan lain saat memasukinya. Dan ketika lelaki itu sadar bahwa Farah bukanlah perempuan itu, lelaki itu pasti menyesal atau merasa tertipu. Pasti itu alasan mengapa lelaki itu meninggalkannya tiba-tiba.

Dan kini Farah merasa dirinya menjijikkan karena memberikan miliknya yang paling berharga kepada lelaki yang bahkan membayangkan perempuan lain saat mengambil hal itu dari dirinya.

* * *

Bab ini agak datar ya?
Tapi kalau bab ini byk disukai pembaca, bab selanjutnya sudah disiapkan utk dipublish segera.
Sampai jumpa (segera) di bab berikutnya (kalau vote n komennya banyak), Kak 😘😘

Btw, apakah ada yg udah nungguin ayahnya Ahsan muncul?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top