11. Yang Bersama Bukan Karena Ingin. Yang Ingin Tapi Tak Bisa Bersama
"Cantik ya," puji Rully sambil mengerling seorang perempuan yang baru saja meletakkan nampan makan siangnya, empat meja dari meja kantin tempat mereka makan siang bersama.
Selama dua minggu mereka magang di Gezonde Pharma, ini pertama kalinya Rully, Wisnu dan Farah makan siang bersama kembali. Karena mereka bertiga magang di tiga departemen yang berbeda, meski masih sama-sama di divisi Factory, jadi sehari-hari masing-masing mereka akan makan bersama staf dari departemen tempat mereka magang. Tapi hari itu mereka baru saja selesai mempresentasikan progress report mereka kepada Manajer PPIC yang menjadi pembimbing lapangan mereka di tempat magang, sehingga setelah presentasi itu berakhir mereka bisa makan siang bersama di kantin.
"Beruntung lo, Nu, dapet magang di QA. Sering ketemu mbak Lidya dong ya," kata Rully. Ia yang magang di departemen Produksi tentu hanya sesekali bertemu Lidya, dibandingkan Wisnu yang magang di QA dan bertemu setiap hari dengan perempuan itu.
Usia Lidya yang masih awal 30 tahunan membuat semua orang di Departemen QA memanggilnya "mbak Lidya" alih-alih "ibu", termasuk para mahasiswa magang.
Ngomong-ngomong, Rully memang naksir Lidya sejak berjumpa saat training GMP di hari pertama.
"Naksir lo?" tanya Wisnu menggoda. Meski tanpa ditanyapun, terlihat jelas Rully naksir pada Lidya. "Inget umur, Rul! Bagi dia, lo cuma anak kemarin sore."
"Dih! Serius amat lo! Gue ngecengin doang, masa ga boleh."
"Bagus deh kalo cuma ngecengin doang. Lo udah tahu kan mbak Lidya itu janda?"
Farah mengernyit mendengar informasi dari Wisnu. "Ya terus kenapa kalo dia janda?" tanya Farah. Tanpa disadari, suaranya terdengar sewot. Mungkin karena dia tidak suka mendengar orang yang melakukan stereotyping.
"Ya artinya dia pernah gagal," kata Wisnu kalem. Tidak terpengaruh oleh nada sewot Farah. "Akan susah mendekati dia. Jadi kalo lo cuma main-main aja, Rul, mending lo berhenti sekarang. Dan kalo lo serius, mending lo mikir lagi."
"Lha gimana sih. Gue main-main, salah. Gue serius, juga salah?" protes Rully.
Farah hanya menggelengkan kepala menyaksikan kelemotan Rully. Dan kini dia menatap Wisnu dengan kagum. Ternyata temannya itu bukan sedang melakukan stereotyping terhadap Lidya karena status jandanya, tapi justru menghormati Lidya.
"Cuma gara-gara gue jauh lebih muda, jadi gue nggak punya kesempatan?" tanya Rully pada Wisnu, masih nekat membicarakan Lidya. "Apa cuma yang dewasa kayak om-om itu, yang berhak mendekati mbak Lidya?"
Saat itu Farah baru sadar bahwa Lidya tidak makan siang sendirian. Lidya terlihat sedang makan siang dengan seorang laki-laki yang tidak dikenal Farah.
"Nah, yang kayak gitu baru pantes sama mbak Lidya," kata Wisnu, sambil tersenyum mengejek Rully.
"Ngomong-ngomong, siapa sih om-om itu?" tanya Rully penasaran. "Kok gue baru lihat ya? Dari divisi lain?"
"Namanya Pak Haris," kata Wisnu, membagi informasi. "Plant Manager Medika Farma, perusahaan tempat kita toll-out beberapa produk kita. Hari ini ada meeting sama Manajer QA dan Direktur Gezonde. Tapi karena Bu Yuni, Manajer QA cuti mendadak karena anaknya sakit, mbak Lidya yang menggantikan. Jadi kelihatannya abis rapat, mereka makan bareng."
Rully dan Farah mengangguk-angguk.
"Gosipnya lumayan santer bahwa mereka dekat," lanjut Wisnu membagi informasi.
Rully mendesah kalah. Sementara Farah kembali melirik lelaki yang sedang makan bersama Lidya.
Menurut pengamatan Farah, lelaki bernama Haris itu barangkali seusia dengan Erlang. Dan kalau ada gosip tentang kedekatan mereka berdua, itu sangat wajar. Mereka memang terlihat serasi. Keserasian yang patut bersaing dengan keserasian Lidya-Erlang.
Kedua orang itu tampak terus membicarakan CPOB selama mereka makan bersama, meski dengan gaya yang santai, seolah-olah topik CPOB hanya topik receh.
"Udah pada tahu belum, katanya mantan suami mbak Lidya dulu juga kerja disini," kata Wisnu kemudian.
"Wah, baru tahu gue!" sambar Rully cepat. "Kok lo tahu aja, Nu?"
"Di dunia kerja, lo perlu tahu lo harus menjalin relasi dengan siapa saja untuk mendapat informasi yang diperlukan," jawab Wisnu sok bijak.
"Cih!"
Farah tidak ikut berkomentar. Tapi dia tidak kaget lagi dengan informasi dari Wisnu barusan. Beberapa hari lalu, saat membantu staf PPIC untuk memperbarui beberapa SOP (Standard Operating Procedures), Farah sempat melihat terdapat nama dan tanda tangan Airlangga Kamanjaya (atau yang dipanggilnya sebagai Om Erlang) di SOP lama tersebut, sebagai Manager PPIC sebelum digantikan oleh Pak Yudha, Manager PPIC saat ini. Saat itu Farah baru mengingat bahwa sebelum serius mengelola dan memperluas restorannya, Erlang memang bekerja di sebuah perusahaan farmasi.
Erlang memang sudah memulai bisnis kafe untuk kalangan mahasiswa sejak ia lulus kuliah. Tapi Farah pikir itu hanya hobi sambilan. Toh Erlang tetap bekerja kantoran hingga tiga tahun lalu ketika ibunya meninggal dunia. Sejak saat itu Erlang memutuskan untuk resign dari pekerjaan kantoran, dan mulai serius dengan kafenya. Dalam tiga tahun ia bahkan sudah memiliki beberapa restoran di beberapa lokasi.
"Berarti mbak Lidya itu tipe-tipe yang gampang cinlok kayaknya ya?" komentar Rully, memecah lamunan Farah. "Dulu ketemu mantan suaminya disini. Sekarang dia juga dekat sama Plant Manager yang sering meeting disini. Nggak menutup kemungkinan gue yang magang disini bisa menarik perhatiannya dong?"
Wisnu mendengus jijik. Sementara Farah spontan menjawab, "Ngaca!" sambil tertawa tertahan.
* * *
Farah belum menghabiskan makan siangnya ketika para staf PPIC dan Plant Logistic yang tadi makan semeja bersamanya pamit duluan karena mereka ada rapat setelah jam makan siang. Farah memang datang terlambat ke kantin karena menyelesaikan pekerjaannya terlebih dahulu. Setelah mengantri makanan, ia membawa nampannya dan bergabung bersama staf PPIC dan PL. Tapi baru 10 menit ia bergabung, dan belum habis makanan di piringnya, mereka semua sudah harus kembali ke ruangannya untuk rapat.
Meski demikian, Farah tidak lantas makan dengan terburu-buru. Masih ada beberapa orang yang makan siang di kantin tersebut sehingga dia tidak benar-benar sendirian. Jadi dia memutuskan untuk menikmati makan siangnya. Bahkan meski dia bukan anak kos, makanan catering di kantin Gezonde Pharma selalu sangat enak baginya. Makan siang bergizi dan snack saat tea-time memang salah satu fasilitas yang disediakan Gezonde Pharma untuk karyawannya, dan bisa dinikmati mahasiswa magang sepertinya. Rully dan Wisnu yang anak kos sangat menikmati fasilitas makan siang gratis-bergizi-enak ini, dan sudah naik berat badannya sebanyak 2 kg selama 2 pekan magang di Gezonde.
"Sendirian? Aku ikutan, boleh?" tanya seseorang di hadapan Farah, tiba-tiba. Ia melihat sebuah nampan diletakkan di hadapannya, membuat Farah mengangkat kepalanya. Dia mendapati seorang perempuan cantik berdiri di hadapannya.
"Mbak.... eh, Tante Lidya..." sapa Farah kikuk.
Perempuan itu adalah mantan istri om Erlang sehingga dia sudah biasa memanggilnya "Tante". Jadi ketika mereka bertemu lagi di perusahaan tersebut sebagai karyawan dan mahasiswa magang, Farah jadi salah tingkah.
Perempuan itu tertawa lalu duduk di hadapan Farah.
"Panggil mbak aja, kayak yang lain," kata Lidya sambil tersenyum lebar. "Lagian aku bukan istrinya om kamu lagi. Dan sebenarnya umur kita nggak jauh-jauh amat bedanya."
Farah menggaruk tengkuknya, makin salah tingkah.
"Kok tumben makan sendirian?" tanya Lidya.
"Tadi makan bareng kru PPIC dan PL sih, Tan, eh, Mbak. Tapi mereka ada meeting abis ini, jadi buru-buru balik ke kantor."
Lidya mengangguk-angguk. Ia lalu mulai menyuap makanannya.
"Gimana magangnya? Lancar?" tanya Lidya lagi.
"Lancar, Tan."
"Ngambil data buat skripsi, lancar?"
"Alhamdulillah, Tan, eh, Mbak. Minggu depan tinggal wawancara sama PBF rekanan Gezonde."
"Alhamdulillah."
Mereka saling terdiam sesaat ketika Lidya menyuap makanannya kembali.
"Abis lulus, udah ada rencana?" tanya Lidya kemudian. "Mau kerja atau lanjut S2? Udah kepikiran kerja dimana?"
Farah terkekeh. "Ada beberapa rencana sih, Mbak. Tapi kayaknya mau kerja aja, nggak lanjut kuliah. Biar cepet mandiri. Syukur-syukur kalau bisa bantu-bantu biaya sekolah Faris. Keluarga saya kan bukan keluarga konglomerat yang bisa santai-santai."
Lidya ikut tertawa. "Kalau gitu nggak ada niat kerja di perusahaan farmasi kayak gini ya? Gajinya nggak sebesar perusahaan oil & gas atau perusahaan otomotif."
"Hehehe, belum tahu, Mbak. Saya mah dimana aja dulu deh, namanya juga fresh graduate, nyari pengalaman dulu."
"Dulu Om kamu kerja disini. Udah tahu?"
Farah mengangguk. Paham bahwa yang dimaksud dengan om kamu adalah Erlang.
"Padahal dia bisa kerja di perusahaan lain yang gajinya lebih besar. Tapi dia lebih pilih disini, karena waktunya agak lebih senggang dibanding di perusahaan oil&gas atau perusahaan otomotif, katanya. Jadi dia bisa nyambi ngurusin kafe dan merintis restorannya," kata Lidya bercerita, "Orang kaya mah bebas ya. Warisan keluarganya banyak, jadi dia nggak mikirin banget soal gaji. Dia cuma kerja kantoran, supaya nggak terus-terusan dikomentarin ibunya yang nggak suka dia wirausaha. Maklum, orangtua jaman dulu mikirnya kalau kerja itu ya harus kerja kantoran kan. Kalau bisa seperti almarhum ayahnya yang PNS dan bisa sampai jadi pejabat di kementerian."
Farah tertawa. Jangankan orang tua jaman dulu, orang tua jaman sekarang juga masih banyak yang menganggap bekerja itu harus bekerja kantoran. Wirausaha atau menghasilkan uang dari rumah tetap dianggap bukan bekerja.
Ibu Farah memang pernah bercerita bahwa sejak muda Erlang tidak pernah tertarik bekerja kantoran. Dia juga bukan orang yang menikmati sekolah formal. Masalahnya, Erlang adalah anak yang cerdas, sehingga orang tuanya berharap banyak Erlang bisa lulus kuliah dari PTN bergengsi, lalu bekerja di perusahaan besar, atau jadi PNS. Dan sebagai anak tunggal, Erlang jadi punya beban mental untuk mewujudkan harapan orang tuanya. Pantas saja ketika ibunya meninggal (ayahnya sudah meninggal terlebih dahulu beberapa tahun sebelumnya), Erlang langsung resign dari pekerjaan kantoran dan serius menekuni bisnis kuliner yang sudah dibangunnya sejak lama. Barangkali karena passionnya memang untuk berwirausaha.
"Mbak masih berhubungan baik sama Om Erlang kayaknya," kata Farah hati-hati. "Kadang Farah penasaran, kenapa kalian harus cerai, padahal hubungan kalian baik-baik aja."
Lidya tersenyum. Ini bukan sekali-dua kali orang-orang menanyakan keputusan mereka untuk bercerai, ketika melihat hubungan mereka sebenarnya sangat baik.
"Banyak hal yang dia lakukan hanya untuk menuruti keinginan ibunya. Jadi saat beliau meninggal, Mas Angga merasa bebas melakukan banyak hal yang sebelumnya selalu ditahannya. Menikah denganku adalah salah satunya."
Diantara sekian banyak kemungkinan jawaban, Farah tidak menduga jawaban itu yang akan didengarnya. Apa maksudnya itu?
"Mbak dan Om Erlang nikah karena dijodohin sama ibunya Om Erlang? Farah pikir karena cinta lokasi pas kerja bareng disini?"
Lidya tertawa. "Aku yang cinta lokasi sama Mas Angga. Dia mah naksirnya sama perempuan lain."
Farah mengernyit. "Kalau Om Erlang naksirnya sama perempuan lain, kenapa nikahnya sama Mbak? Kok dia jahat sih, mainin hati Mbak?"
"Aku yang menawarkan diri, kok. Aku tahu dia naksir perempuan lain. Tapi aku juga tahu, dia nggak mungkin merebut istri orang____"
Farah membekap mulutnya, terkesiap dengan hal yang baru saja diceritakan Lidya. Erlang menyukai istri orang? Perempuan yang sudah menikah?
"Mbak tahu siapa yang disukai Om Erlang?"
"Dia nggak pernah cerita. But i have a hunch."
Farah masih melongo bego menerima informasi tak terduga tentang lelaki-cinta-pertamanya ini, yang kini membuatnya patah hati, ketika Lidya melanjutkan ceritanya.
"Jadi aku ajak aja Mas Angga nikah. Waktu itu ibunya juga udah sering menuntut dia untuk berumah tangga. Jadi dia menerima tawaranku. Aku pikir, meski pernikahan kami bukan diawali dengan cinta, dan hanya seperti hubungan saling membutuhkan, lama-lama dia bisa jatuh cinta juga sama aku. Tapi aku salah. Sekarang aku belajar, bahwa kita nggak bisa menikah sambil berharap seseorang bisa berubah setelah pernikahan."
"Jadi itu semacam perjanjian atau nikah kontrak?" tanya Farah linglung.
Lidya tertawa, kemudian meneguk minumnya, sebelum menjawab. "Ini bukan novel wattpad atau sinetron Indosari. Kami nikah dan berumah tangga dengan normal. Cuma, aku merasa dia nggak pernah benar-benar cinta sama aku. Dia bertanggung jawab sebagai suami, menghormati, peduli dan menyayangi sebagai teman. Tapi aku selalu merasa dia nggak pernah bisa benar-benar cinta sama aku."
Farah termangu.
"Jadi setelah ibunya meninggal, aku bertaruh apakah dia masih ingin meneruskan kepura-puraan ini atau nggak. Saat aku menawarkan perceraian, awalnya dia menolak. Tapi kemudian dia menerimanya. Dia bilang, aku pantas bahagia bersama orang yang benar-benar mencintai aku. Saat itu aku yakin, dia nggak pernah benar-benar cinta sama aku."
Selama ini, diam-diam dalam hati ia ikut bersyukur karena Erlang bercerai dengan Lidya. Meski kesempatannya sangat kecil, tapi setidaknya dengan status Erlang yang kembali single, Farah bisa sedikit berharap. Tapi sekarang, setelah mendengar cerita Lidya, Farah bukan hanya kasihan pada Lidya, tapi juga meratapi nasibnya sendiri. Jika memang Erlang sudah menyukai perempuan lain, yang bahkan tidak bisa tergantikan oleh Lidya yang sudah mencintainya selama pernikahan dengan tulus, bagaimana mungkin di masa mendatang Farah punya kesempatan untuk mengambil hati lelaki itu?
"Mbak...."
"Nggak perlu kasihan sama aku," potong Lidya cepat, dengan senyum optimisnya.
"Mbak lebih bahagia sekarang, setelah pisah sama Om Erlang?"
"Hmmm..." Lidya tampak berpikir dan tidak segera menjawab. "Bukan bahagia sih. Lebih tepatnya, aku merasa lega aja. Nggak memaksakan diri lagi untuk mencintai orang yang nggak mencintai kita."
Farah bingung harus menanggapi bagaimana. Jadi selama beberapa saat dia mengalihkan kecanggungannya dengan menghabiskan jeruknya.
"Beberapa hari lalu, Farah lihat Mbak makan siang disini bareng laki-laki," kata Farah, kembali memulai pembicaraan, demi menuntaskan ke-kepo-annya. "Kata Wisnu, namanya Pak Haris."
Lidya tertawa kecil. "Dan pasti kamu dengar gosip-gosip tentang kami."
Farah terkekeh.
"Aku nggak akan jatuh ke lubang yang sama dua kali," Lidya menjawab. "Dulu aku masih muda. Optimis dan persisten. Aku merasa, asal aku gigih berjuang, orang yang aku perjuangkan akan membalas perasaanku. Tapi sekarang aku realistis. Perasaan manusia bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Jadi aku hanya akan bersama orang yang cinta sama aku."
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top