Bab 9
Sabar
Rumah di daerah Ketintang terlihat sepi, hanya terdengar suara burung piaraan ayahnya bersahut-sahutan dari arah samping rumah. Raya mematikan mesin mobil tepat di belakang mobil sedan sang ayah. Ia bersyukur sebelum menuju rumah tempatnya dibesarkan, Raya sudah memastikan kehadiran kedua orang tuanya. Karena yang ingin ia sampaikan hari ini terlalu penting hanya untuk di dengarkan oleh salah satu dari dua orang yang bertanggung jawab padanya sebelum Pram mengambil alih tugas sang ayah.
"Tumben, sore-sore ke rumah. Pram mana?" tanya Hayu—ibunya—yang meletakkan dua cangkir teh panas di depannya dan sang ayah yang memalingkan wajah dari ponsel di tangannya.
Pria berusia tujuh puluh dua tahun yang masih terlihat gagah tersebut masih aktif di salah satu partai politik. Keterlibatan Hadyan—ayahnya—dalam urusan pemerintahan selama ini terkadang menjadi beban tersendiri baginya. Semenjak sekolah, ia terbiasa mendapat perlakuan khusus hanya karena menjadi anak salah satu anggota dewan. Saat di bangku kuliah, ia terkadang mendapat cibiran, juga karena menjadi anak salah satu anggota dewan.
"Ibu dan Ayah harus tahu, aku akan segera mengajukan gugatan cerai," katanya tanpa ada kalimat pembuka. Raya mengenal kedua orang tuanya, mereka berdua tidak suka sesuatu yang bertele-tele. Meski pada akhirnya semua masalah menjadi panjang jika ada sangkut pautnya dengan mereka berdua.
"Kenapa?!" tanya Hadyan yang sudah meletakkan ponsel di atas meja. "Kenapa tiba-tiba kamu mau cerai? Selingkuh kamu?"
Ia terbelalak mendengar tuduhan ayahnya, darahnya mendidih mendapat tudingan seperti itu, Raya menggeratkan kepalan tangan di pangkuannya menahan diri untuk tidak terpancing emosi. Meski ia yakin kedua orang tuanya bisa melihat kemarahan di matanya saat ini.
"Ayah tega nuduh aku selingkuh?" tanyanya pelan. Sakit yang ada di hatinya karena di khianati oleh satu-satunya pria yang ia cintai menjadi semakin besar karena tudingan ayahnya sendiri.
"Kalau kamu enggak selingkuh, terus siapa, Pram?! Enggak mungkin, kan? Suami kamu itu lebih sering ketemu tukang dan mandor selama kerjanya, enggak seperti kamu yang ke sana kemari alasannya ketemu klien!"
Raya beranjak dari kursi dan membelakangi kedua orang yang memandangnya dengan marah. Ia menahan diri, menarik dan mengembuskan napas, hingga Raya merasakan ketenangan yang dia butuhkan untuk menyampaikan semua yang dirasakannya.
"Ayah, Ibu ... Mas Pram selingkuh sejak setahun yang lalu, dan perempuan selingkuhannya itu sekarang hamil empat bulan."
Ia bisa melihat mata sang ibu terbelalak tidak percaya dengan apa yang dikatakannya, tapi itu hanya terlihat sekilas. Karena saat ini, mata ibunya terlihat kembali mengeras tertuju padanya. Berbeda dengan Hadyan yang menatapnya tajam seakan ia telah melakukan kesalahan fatal.
"Terus, apa hubungannya Pram selingkuh sama kamu minta cerai?"
Raya terhuyung ke belakang tidak percaya dengan pertanyaan ayahnya. Meski ia bisa memperkirakan penolakan dari kedua orang tuanya, tapi Raya tak menyangka akan mendapat reaksi yang menyakitkan seperti itu.
"Ayah tanya apa hubungannya? Menantu Ayah mengkhianati anak kandung Ayah. Menghamili perempuan di luar nikah, dan Ayah bertanya apa hubungannya denganku meminta cerai?!" Ia menggelengkan kepala tidak percaya dengan ketidakpekaan ayahnya sendiri.
Ayahnya terlihat marah, tapi Raya tahu itu bukan tertuju pada Pram, melainkan padanya. Pria yang selalu berpenampilan rapi itu pasti memikirkan apa kata koleganya tentang kerusakan rumah tangga anak satu-satunya. "Kenapa harus bercerai. Biarkan Pram membiayai perempuan itu dan anaknya, kamu enggak harus bercerai dengannya!"
Raya berteriak sekencang yang ia bisa hingga ternggorokannya terasa pedih dan sakit ke arah sang ayah yang terhenyak mendapati anak perempuannya lepas kontrol. "Naraya Mahardika!" bentak Hadyan yang berdiri sambil berkacak pinggang. "Apa-apaan kamu?!"
"Aku ... Ayah bilang apa-apaan aku," katanya dengan senyum sinis. "Aku bukan Ibu yang hanya diam saja meski Ayah tidur sama perempuan yang enggak bisa aku sebutkan satu per satu. Aku bukan Ibu yang rela diperlakukan seperti boneka pajangan demi karir politik Ayah—"
"Raya!" bentak ibunya yang semenjak tadi tidak berkata apa-apa. "Jangan jadi anak enggak tahu sopan santun kamu!"
Raya tertawa sumbang dengan air mata bercucuran memikirkan nasib dirinya yang terasa terombang-ambing bagai layangan putus. Ia tahu kedua orang tuanya memiliki kehidupan rumah tangga yang tidak normal. Namun, Raya tak menyangka mereka akan memintanya melalui jalan seperti yang mereka berdua lalui selama ini.
"Jadi ... Ayah dan Ibu berharap aku mengikuti jejak kalian berdua, gitu?" tanyanya getir. "Punya suami, tapi dengan rela berbagi dengan semua perempuan di luar san—"
Badannya tiba-tiba terhuyung hingga punggungnya menabrak kursi rotan tempatnya duduk beberapa saat lalu. Namun, saat ini bukan punggung atau pipinya yang terasa sakit. Karena hatinya yang paling hancur merasakan tamparan dari pria yang seharusnya menjaga hatinya bukan menghancurkannya.
Raya menghapus kasar bekas air mata di pipinya, sebelum berdiri dan merapikan baju lalu rambutnya yang berantakan. "Aku enggak tahu apa yang paling membuat Ayah marah hingga menampar pipiku. Kenyataan bahwa aku tahu semua kelakuan Ayah, kesabaran dan keikhlasan Ibu yang Ayah manfaatkan, atau karena aku enggak mau menjalani rumah tangga seperti Ayah dan Ibu. Yang aku tahu, hari ini Ayah berhasil membuatku semakin bertekad untuk mengajukan cerai. Dengan atau tanpa dukungan Ayah dan Ibu, aku akan bisa melewati ini semuanya." Tangannya gemetar saat meraih tas yang ikut terjatuh dari kursi. "Raya minta maaf karena belum bisa menjadi anak yang berbakti pada Ayah dan Ibu."
Raya mendekati ibunya, mencium pungung tangannya sebelum memeluk dan mencium pipi kiri dan kanan Hayu yang basah oleh air mata. Ia menghapus lelehan air mata sang ibu. "Raya sayang Ibu, dan enggak bermaksud membuat Ibu sedih. Maafin Raya, Bu. Ini semua pilihan Ibu, dan bercerai adalah pilihan Raya. Raya sayang Ibu."
Meninggalkan sang ibu, Raya mendekati Hadyan yang terlihat enggan ketika ia menarik lembut tangan kanan yang masih terkepal di samping tubuh tinggi itu. Raya mencium punggung tangan itu dengan khidmat dan berjintit untuk mencium pipi kiri dan kanan ayahnya. "Raya sayang Ayah. Sebanyak apa pun Ayah menyakiti Ibu dan juga Raya, Ayah tetaplah ayah yang Raya sayangi dan hormati. Terima kasih, Yah."
Dengan kepala tegak, Raya keluar dari rumah yang semenjak dulu membuatnya tidak nyaman. Bukan karena ia tidak mendapatkan cinta dari kedua orang tuanya, tapi karena cinta yang tidak ada di antara kedua orang tuanya. Raya merasa hidup dalam sangkar emas dan tidak diizinkan untuk berlaku tidak semestinya menurut kacamata sang ayah. Ia tahu pilihan untuk bercerai akan menjadi buah bibir di antara kolega sang ayah, tapi ia memutuskan untuk tidak memedulikan hal itu. Karena yang diinginkannya adalah kebahagiaan dirinya sendiri.
Repost juga ya ini. Google playbook, KaryaKarsa, versi cetak, ada semua.
Bisa DM untuk yang minat buku cetak. Yang pasti , enggak ada versi PDF.
Selamat Hari Raya Idul Fitri gaes
Apa menu lebaran kalian?
Karena suami urang awak, jadi saat lebaran masakan selalu ada di rumah.
Sate Padang mewarnai hari rayaku tahun ini.
Love, ya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top