Bab 4


Kamu dan aku


"Kamu enggak biasa minum kopi," tebak Abhi tak lama setelah Raya menyesap kopi di depannya dengan kening mengernyit. "Kenapa pesan kopi?" tanya Abhi sebelum meminta untuk dibawakan satu teh panas untuk perempuan yang tersenyum malu ke arahnya.

"Sebenarnya ... enggak suka kopi," jawab Raya terdengar gugup meski perempuan dengan mata terlihat sedikit membengkak tersebut tampak lebih santai dibanding beberapa saat lalu. Tanpa Abhi sadari, ia menikmati perubahan antara dirinya dan Raya ketika ia mendengar kata aku meluncur dari bibir yang menarik perhatiannya saat ini.

"Mas Abhi ingat waktu kita masuk tadi?" Abhi mengangguk menjawabnya. "Aroma kopi menguar dan membuatku penasaran rasa kopi hitam seperti yang di agung-agungkan semua orang seperti apa." Abhi yang tersenyum mendengar pengakuan Raya, lalu mengangkat cangkir, dan menyesap kopi, menikmati rasa pahit dengan sentuhan manis di bagian akhir.

"Mas Abhi belum jawab pertanyaanku tentang pekerjaan." Raya menatapnya dengan alis terangkat menunggu jawaban darinya. Perempuan yang menatapnya saat ini membuat Abhi tak bisa memalingkan pandangan, seperti ada yang membuatnya enggan untuk berpaling.

"Mas!" Abhi terkejut, lalu mengeluarkan kartu nama dari dompet dan mendorong pelan ke arah Raya yang tidak terlihat terkejut.

"Kenapa?" tanya penasaran ketika melihat senyum terbit di bibir Raya.

Abhi mamandang Raya yang mengangkat kartu nama berwarna putih sejajar dengan matanya, lalu berkata, "Aku punya kebiasaan menebak profesi klien baruku. Saat melihat Mas Abhi aku menebak pekerjaannya enggak jauh-jauh dari uang. Aku kira kerja di salah satu bank."

Tawa tak bisa Abhi tahan melihat wajah Raya yang terlihat cerah karena tebakan tentang pekerjaannya tidak terlalu meleset jauh. "Tapi pasti bisa nebak dari penampilan saya, kan?" tanya Abhi.

Ia mengulum senyum melihat satu alis Raya terangkat ketika mendengar pertanyaannya. Perempuan itu sengaja terlihat menilai Abhi dari ujung kepala hingga kaki. "Kalau dilihat dari outfit, jam, dan sepatu ... semuanya terlihat bermerek. Menandakan kesuksesan Mas Abhi, aku enggak mau membuatmu tersinggung dengan mengatakan penampilannya mahal." Abhi tertawa mendengar pujian terselubung dari seorang perempuan, sesuatu yang sudah lama tidak ia dengar.

Keduanya terdiam dengan pikiran masing-masing setelah pembahasan tentang penampilam Abhi, hingga panggilan Raya memecah keheningan di antara keduanya.

"Mas," panggil Raya. "Kedepannya nanti saya akan terus berhubungan sama Mas Abhi atau sama istrinya?"

Abhi tahu beberapa kali Raya melirik ke arah jari manisnya sebelum menanyakan hal itu. Bahkan, ia bisa melihat sorot mata Raya sedikit berubah untuk beberapa waktu, ketika mata perempuan itu terpaku pada jari manisnya sendiri. Ditambah penolakan telepon yang dilakukan Raya beberapa saat lalu dan sorot mata itu, Abhi merasa ada sesuatu yang terjadi dengan arsitek yang ada di depannya saat ini.

"Enggak ada Nyonya Abhimana, jadi kamu berhubungan denganku dan hanya denganku." Raya mengangguk paham sebelum kembali membuka tablet dan menunjukkan denah lantai satu dan dua kepadanya.

"Aku harus jujur sama Mas Abhi. Itu adalah desain vila impian untuk keluargaku." Abhi membelalakkan mata tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Tapi ... saat melihat tanah yang Mas Abhi punya, aku tahu desain itu cocok untuk vila Mas Abhi," kata Raya dengan senyum yang kembali membuat jantungnya berdetak kencang.

"Aku percaya setiap tanah memiliki jodoh desain masing-masing." Abhi meliat Raya terlihat menerawang memandang desain yang ada di tangannya. "Saat aku memejamkan mata, mendengarkan gemericik air sungai, dan merasakan embusan angin yang membuat rambutku berantakan beberapa saat lalu." Abhi tersenyum mengikuti kekehan Raya yang terdengar lembut di telinganya. "Aku bisa melihat vila impianku berdiri di atas tanah Mas Abhi."

Abhi semakin tak bisa menutupi ketertarikannya ketika melihat wajah Raya yang berbinar saat menjelaskan tentang desain yang ditawarkan padanya. Ia tak pernah melihat seseorang secerah Raya saat menjelaskan tentang pekerjaannya. Abhi bisa melihat pekerjaan ini bukan hanya sekedar cara perempuan itu untuk mencari uang, seakan-akan ini bagian dari dirinya. Bagian dari identitas dirinya, dan ia menikmati melihat hal itu.

Abhi menunduk kembali mengamati denah lantai satu dan dua yang anehnya terlihat seperti yang diinginkannya. Ia bisa melihat kamar utama terletak di lantai satu dan tiga kamar lainnya ada di lantai dua. Vila terasa lapang dengan banyaknya bukaan, memberi aliran udara cahaya matahari untuk memasuki rumah.

"Secara garis besar, aku suka desain kamu ini," kata Abhi mengangkat kepala memandang Raya tepat di kedua bola matanya.

"Tapi ...." Raya memandangnya lekat, seolah menunggu jawaban keluar dari bibinya. "Itu hanya usulan, Mas. Aku akan buat yang baru sesuai yang Mas Abhi mau."

Abhi meletakkan tablet, melipat tangan di atas meja, dan memandang balik Raya. "Saya suka semuanya. Pintu sliding, open floor plan yang membuat terasa lapang. Bahkan bukaan dari kamar utama ini terasa pas karena saya bisa bayangin terbangun di pagi hari dan membuka pintu lebar dan mendapat udara sebersih itu. Cuma rasanya desain kamu terlalu banyak bahan yang memantulkan cahaya, ngerti maksudku, kan?"

Raya terlihat mengangguk mengerti dan membuka ponselnya. Selama perempuan itu mencari sesuatu, Abhi tak melepas pandangannya. Seakan tak ingin melewatkan kesempatan untuk mengamati Raya.

"Kita bisa mengganti bahannya dengan yang sesuai keinginan Mas Abhi. Ini ada beberapa—" Kalimat itu terpotong ketika nama muncul di layar ponsel Raya di tangannya, dan Abhi bisa melihat perubahan di wajah cerah Raya.

"Maaf, Mas." Raya meraih ponsel di tangannya dan kembali menggeser tanda merah yang membuat kening Abhi semakin mengernyit. Semua sinar dan semangat yang beberapa saat lalu bisa ia rasakan—ketika perempuan di depannya menjelaskan tentang desain dan pilihan bahan—seketika menghilang ketika ponselnya bergetar.

Sekuat tenaga Abhi menahan diri untuk tidak menanyakan hal itu, tapi ketika ia kembali melihat Raya menolak panggilan dari nama yang sama, rasa penasaran itu tak bisa ditahannya lebih lama lagi.

"Bos kamu?" tanya Abhi yang melihat perubahan wajah Raya.

Raya menggeleng menjawab pertanyaan Abhi. "Suamiku, Mas."

Abhi bisa melihat cincin di jari manis Raya, ia mengetahui perempuan yang membuatnya merasakan sesuatu itu sudah memiliki suami. Namun, ia juga bisa merasakan ada sesuatu yang terjadi di antara mereka berdua karena selama beberapa jam mereka bersama, Raya telah menolak berkali-kali setiap getaran ponsel perempuan itu rasakan.

Abhi pernah melewati masa-masa bermasalah yang sepertinya sedang Raya hadapi saat ini. Ia juga tahu betapa mudahnya seseorang tergelincir disaat emosi sedang bermasalah seperti yang mungkin Raya hadapi saat ini.

"Kamu harus jawab panggilannya jika enggak mau suami kamu kuatir." Raya mengangkat kepala dan memandangnya dengan sorot mata yang tidak bisa Abhi jelaskan. "Maaf, enggak seharusnya aku ikut campur urusan rumah tangga kalian."

Perasaan tidak enak menyelimuti hatinya ketika melihat Raya membuang muka dan menopang dagu ke arah jendela. Gerakan kecil seperti jari kelingking yang sesekali menepuk hidung mungilnya membuat Abhi tersenyum sendiri. Abhi bisa mendengar helaan napas berat Raya seakan melonggarkan sesak di dadanya.

"Mas Abhi pernah nyerah akan sesuatu, enggak?" tanya Raya tanpa mengalihkan pandangan dari jendela di sebelah kanannya. "Apakah jika menyerah menandakan kita lemah, ya?"

"Kenapa?" tanya Abhi berhati-hati memandang Raya yang terlihat kalut. Ia tak mampu mengalihkan pandangan saat ini, ketika melihat Raya tiba-tiba memejamkan mata dan kembali mengembuskan napas beratnya.

"Enggak apa-apa, hanya lelah," jawab Raya setelah menoleh dan memandang Abhi tepat di kedua bola matanya.

Ia mendorong teh yang sudah tidak terasa panas ke arah Raya. "Jika lelah, berhenti. Saat sudah merasa kuat, lanjutkan. Namun, jika lelah itu menghancurkan dirimu. Letakkan dan tinggalkan." Abhi bisa merasakan sedih terpancar dari Raya yang menunduk memutar-mutar cincin di jari manisnya.


Selamat pagi teman-teman yang pulang dari TPS.
Jari telunjuk atau kelingking yang ditintain hari ini? Atau  jangan-jangan celupin ibu jari.
Heheheh

anyway ... selamat membaca Mas Abhi dan Raya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top