Bab 3
Cerita baru
Raya mengikuti mobil sedan keluaran Eropa berwarna hitam menuju salah satu rumah makan yang tidak terlalu jauh dari lokasi proyek mereka. Dari sudut mata, ia bisa melihat kotak bekalnya yang masih utuh tak tersentuh, dan memutuskan untuk membawanya ketika mendengar perutnya melayangkan protes karena hingga hampir tengah hari belum terisi makanan, kecuali teh hangat yang Siti siapkan untuknya.
"Mau pesan apa, Ay?" tanya Abhi saat keduanya duduk berhadapan dengan buku menu di hadapan mereka masing-masing. "Belum sarapan, kan?"
"Hah?!" Raya yang terkejut mendapat pertanyaan yang terdengar santai untuk dua orang yang baru bertemu hari ini. Terlebih lagi panggilan Ay yang selalu Abhi tujukan padanya. "Mas Abhi kok tahu kalau saya belum sarapan?" tanyanya gugup.
Raya mengikuti arah pandang Abhi dan menyadari kotak bekal yang ia bawa turun. Tawa kikuk terlontar dari bibir Raya menyadari kekonyolannya karena tidak menyadari dengan keadaan sekitar.
"Tadi buru-buru keluar rumah enggak sempat sarapan. Adik Mas Abhi minta saya untuk ke sini, jadinya belum sempat makan."
Raya memandang Abhi yang mengulum senyum. "Maaf, ya."
Kedatangan pelayan kafe mencatat pesanan mereka, menyela apa pun yang ada di ujung lidah keduanya. Memberinya kesempatan untuk menunjukkan sesuatu. Ia membuka tablet dan mencari file desain yang pernah ia kerjakan selama ini. Satu per satu ia menggulir gambar hingga menemukan apa yang ada di kepalanya saat melihat tanah yang akan di kerjakan nanti.
"Mas Abhi suka yang seperti ini?"
Abhi menunduk melihat rancangan yang ia tunjukkan dan Raya menikmati gerak-gerik pria di depannya. Keningnya mengernyit dan sesekali Abhi mengusap-usap pelan dagunya. Raya memaku pandangannya pada Abhi yang sibuk mengamati rancangannya dengan senyum terkulum.
Rumah dua lantai yang memiliki banyak bukaan baik di lantai satu ataupun dua, telihat luas dan lapang. "Kita bisa memakai pintu sliding yang bisa terbuka sepenuhnya hingga bagian dalam rumah bisa terasa menyatu dengan bagian luar." Raya menyadari Abhi mengikuti gerakan jarinya menunjukkan pintu di lantai satu.
Raya menunjukkan denah lantai satu saat ponsel di atas meja kembali bergetar dan ia bisa melihat nama Pram di sana. Ia menggeser tanda merah sebelum kembali mencoba untuk membuka menggeser layar tablet di tangan Abhi.
"Terima saja dulu, Ay," kata Abhi ketika ponselnya kembali bergetar.
"Biarin saja, Mas. Saya lagi enggak butuh masalah baru," katanya tegas sebelum menarik tablet dari tangan Abhi dengan sedikit kasar. "Maaf," katanya ketika menyadari kelakuannya. Raya mengutuk Pram yang merusak suasana hatinya sejak ia mendengar suara mertuanya tadi pagi karena ia merasa dijebak dan disudutkan.
"Makan dulu." Suara Abhi memecahkan lamunannya. Jarinya masih lincah mencari denah lantai rumah yang ingin ia tunjukkan. "Kamu bakalan marah-marah terus karena perut kamu kosong!" Suara tegas Abhi membuat jarinya berhenti, ia bahkan menatap pria yang tersenyum ke arahnya dengan mata membulat. Raya merasa aneh dengan sikap Abhi yang terlalu santai, tapi di saat yang bersamaan, membuatnya merasa nyaman.
Selama dua bulan ia merasa harus membatasi diri, semua senyum yang selalu ada di bibirnya seolah menghilang. Keceriaan yang ada dalam kesehariannya pun seakan tak mampu menghadapi cerita dalam hidupnya. Ia membentengi dan membatasi diri dari berinteraksi dengan Pram, kecuali urusan pekerjaan. Setiap saat ia harus mengontrol diri untuk tidak berlaku santai di dekat pria yang sejak dua bulan lalu masih sering mendapatkan pelukan atau ciuman darinya. Raya mengembuskan napas yang terasa mengganjal di dadanya, memandang keluar jendela kafe.
"Silakan," kata pelayan meninggalkan keduanya setelah ucapan terima kasih terlontar dari bibir Abhi dan Raya secara bersamaan.
"Mas Abhi kerja di mana?" tanya Raya yang tak ingin kembali memikirkan kekalutan rumah tangganya. Ia meraih bakul nasi kecil dan menyendokkan nasi ke piring Abhi sebelum mengisi piringnya dengan porsi nasi yang jauh lebih sedikit.
"Dari kemarin saya komunikasinya kan sama Bu Ayu," kata Raya tanpa menyadari dengan apa yang dilakukannya saat ini.
"Ini nasi kenapa diskriminasi begini, ya?" Pertanyaan Abhi membuat gerakan tangan Raya terhenti di udara dan memandang pria yang terlihat serius di depannya. "Kenapa nasi di piring saya jauh lebih banyak?" Raya bingung bagaimana untuk menjawab pertanyaan itu, karena sebenarnya ia tidak menyadari telah melayani Abhi beberapa saat lalu.
"Maaf, Pak. Eh, maaf, Mas. Aku, saya enggak nyadar kalau sudah—"
"Bercanda, Ay, enggak apa-apa," kata pria yang membuat Raya gugup dengan jawabannya. Senyum manis yang ada di bibirnya beberapa saat lalu menghilang dan Abhi terlihat merasa bersalah dengan kelakuan konyolnya. "Ya ampun, Ay. Saya hanya bercanda, lho. Kok, sampai gugup gitu."
Raya semakin merasa tidak enak karena pria yang ada di depannya berusaha untuk membuatnya santai dan tersenyum saat ini. Namun, pikirannya terasa buntu dan tak tahu bagaimana harus bersikap saat ini. Matanya memandang ke segala arah, kecuali mata yang seperti menariknya untuk mendekat.
"Maaf, enggak seharusnya saya ambilkan nasi seperti tadi. Itu benar-benar enggak sopan."
"Boleh jujur?" pinta Abhi menarik perhatian Raya yang segera mengangguk menjawabnya. "Jangan salah sangka, tapi saya sudah lama enggak merasakan dilayani seperti tadi meski hanya nasi putih."
Pernyataan itu semakin membuat Raya serba salah. Pikirannya yang tidak dalam keadaan baik-baik saja membuatnya tidak bisa bersikap layaknya seorang perempuan yang sudah bersuami. Tiba-tiba ia menegakkan badan ketika pikiran itu berkelebat di kepalanya. Ia bersuami, tetapi makan siang bersama lelaki lain dan bahkan tangannya dengan santai mengambilkan nasi putih untuk pria lain. Perasaan bersalah yang muncul segera ia tekan dalam-dalam karena kalimat Pram kembali terngiang di telinganya.
"Saya sudah buat kamu enggak nyaman, ya?" tanya Abhi yang melihat perubahan wajah Raya. "Saya minta maaf."
Raya menggelengkan kepala sambil tersenyum, sebagai perempuan yang terbiasa meladeni suaminya, Raya tiba-tiba mendapat perasaan sedih karena ia tak akan bisa melakukan itu kembali tanpa memikirkan tentang ketidaksetiaan Pram. Ia memandang Abhi yang menatapnya dengan kening mengernyit.
"Saya yang seharusnya minta maaf, Mas. Entah tangan ini rasanya refleks aja."
"Suami kamu beruntung memiliki istri sebaik kamu." Senyum sinis terlontar dan tak bisa Raya tarik kembali karena Abhi melihatnya. "Kenapa?" tanya Abhi.
Dalam sekejap, pertemuan bisnis ini berubah seolah menjadi pertemuan dua orang teman lama yang saling bertukar kabar dan Raya tidak menginginkan itu. Ia tak ingin menceritakan masalahnya pada orang asing yang tidak di kenalnya.
"Saya semakin membuat kamu enggak nyaman, ya?" Abhi terlihat merasa bersalah karena pertanyaannya melewati batas. "Jangan dijawab. Kita makan saja."
Raya tersenyum lega mendengar ajakan Abhi. Ia dengan segera mengisi piring dan mulai menyuap nasi dan ayam bakar yang membuatnya tersadar kapan terakhir kali ia benar-benar menikmati makan, bukan hanya sekedar mengisi perut. Suapan kedua kembali ia masukkan ke mulut dan tak disadarinya ia mendesah merasakan manisnya ayam bercampur dengan sambal terasi yang terasa nikmat di dalam mulutnya.
Ia tidak menyadari sepasang mata memandangnya dengan takjub saat ini. Abhi tak bisa memulai makan ketika matanya menangkap ekspresi Raya yang terlihat menikmati apa yang terjadi di dalam mulutnya. Desahan yang beberapa saat lalu keluar dari bibirnya membuat konsentrasi Abhi semakin buyar. Abhi membatalkan gerakan tangannya, lalu bertopang dagu mengamati Raya yang terlihat benar-benar menikmati apa yang ada di atas piring makannya.
Aku repost cerita Segenggam RIndu ya guys.
Happy reading
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top