Bab 2

Bab 2
Naraya Mahardika

Perempuan berambut panjang dengan senyum paling manis yang pernah Abhi lihat keluar dari mobil berwarna hitam tak jauh dari tempatnya menunggu. Kacamata hitam yang terlihat terlalu besar untuk wajah mungilnya seolah menyembunyikan sesuatu. Namun, hal tersebut tak menyurutkan keinginan Abhi untuk terus memandangnya.

“Siang Pak Abhimana, saya Naraya. Maaf, terlambat.” Abhi menyentuh dada kirinya yang berdetak kencang ketika senyum manis itu tertuju hanya untuknya.

“Maaf, Ibu Ayu kasih kabar dadakan tadi, untung jalanan belum terlalu padat, jadi bisa ngebut-ngebut dikit tadi.” Kekehan perempuan itu membuat Abhi semakin terpana, suara serak yang beberapa saat lalu terasa jauh, kini terasa dekat.

Abhi menerima uluran tangan yang terasa mungil dalam genggamannya lalu melepaskan setelah ia menyebutkan namanya.

“Abhimana Pramudya,” jawab Abhi. “Saya perintahkan Ayu juga dadakan. Ibu enggak terlambat kok, saya juga baru datang.”

“Raya saja, Pak Abhimana,” pinta Raya sambil mengulurkan kartu nama ke arah Abhi. “Kali aja Bapak butuh tenaga saya ke depannya.” Kekehan itu terdengar kembali dan kali ini Abhi tak bisa menahan diri untuk menertawakan kelakuan sendiri.

Abhi membaca kartu nama bertuliskan Naraya Mahardika yang terlihat simpel dan elegan sebelum memasukkan ke saku belakang celana jin warna gelapnya. “Abhi saja,” pintanya. “Abhimana terlalu panjang.”

Keduanya berdiri berhadapan dengan kikuk hingga Abhi melihat Raya mengelurkan ponsel dari saku celananya.

“Maaf Pak Abhi,” kata Raya sambil mengeluarkan ponsel dan terlihat marah. Selama itu, Abhi sibuk mengamati ekspresi wajah Raya yang terlihat tak ingin mendengar suara pria siapa pun yang berusaha menghubunginya saat ini. Ia melihat perempuan itu menggeser tanda merah sebelum kembali memasukkan ke saku celana.

“Bisa kita mulai, Pak Abhi,” pinta Raya yang terlihat ingin menyibukkan diri dengan pekerjaan.

“Di jawab saja dulu, Ay,” jawab Abhi membuat gerakan tangan Raya berhenti dan menoleh dengan cepat ke arahnya. Dua orang dengan kacamata hitam saling memandang tanpa bisa melihat mata di balik lensa yang memiliki sorot berbeda. Abhi mengusap kumis dan jambang tipisnya sebelum membenarkan letak topinya.

“Jawab saja dulu,” kata Abhi kembali saat ponsel di tangan Raya kembali berbunyi.

“Pak Abhi panggil saya apa barusan?” tanya Raya pelan tanpa mengalihkan arah pandangnya.

“Ay, dari Naraya, kan?” tanya Abhi. “Jawab saja dulu, saya bisa nunggu.” Raya menggeleng dan mendongak hingga pandangan mereka bertemu kembali meski dari balik kacamata.

“Enggak apa-apa Pak Abhi, saya jawab nan—” ponsel di tangan Raya kembali meraung-raung. Sebelum Abhi sempat memaksanya untuk menjawab, Raya mematikan ponsel dengan jengkel dan kembali memandangnya. “Kita mulai sekarang saja?”

Setelah keduanya terdiam beberapa saat, Abhi mengangguk mengerti dan mengajak Raya untuk berjalan melihat tanah seluas kurang lebih 800 meter persegi yang rencananya akan dibangun vila lengkap dengan guest house dan juga kolam renang. Raya terlihat serius mendengarkan Abhi menyebutkan satu per satu yang diinginkannya. Dimulai dari tata letak ruangan, warna, hingga arah rumah yang pria itu inginkan. Abhi melirik Raya yang menulis sesuatu di buku catatannya, setiap hal yang dikatakannya, Raya tulis. Abhi menebak Raya mengumpulkan detail yang perempuan itu perlukan untuk medesain vila sesuai keinginannya.

Hal pertama yang Abhi perhatikan ketika  melihat lokasi itu adalah kontur tanah yang miring. Ia tahu itu akan membuat Raya harus memikirkan tentang desain dengan cermat tanpa terlalu banyak menghilangkan karakter tanah seperti yang diinginkannya. Abhi bahkan yakin arsitek di sampingnya itu bisa menyesuaikan apa pun kondisi tanah yang akan di bangun sesuai dengan keinginannya.

“Berapa kamar tidur yang Bapak inginkan?” tanya Raya dengan kepala tertunduk membuat coretan di buku yang selalu dibawanya hingga tidak melihat wajah masamnya ketika mendengar kata Bapak ditujukan padanya. “Pak Abhi?” tanya Raya mendongak saat tidak mendapatkan jawaban.

“Jangan panggil Pak,” pinta Abhi. “Hanya staf di kantor yang memanggilnya saya Pak.” Abhi mengarahkan langkah keduanya hingga ke bagian terjauh tanah yang berada tepat di sisi sebuah sungai kecil. Mereka berhenti di bawah pohon Mangga yang terlihat berusia puluhan tahun dengan daun rimbun menawarkan perlindungan dari teriknya panas matahari.

“Usahakan untuk tidak terlalu banyak menebang pohon yang ada di sini, ya, Ay,” pinta Abhi. “Saya suka suasana sejuk dan tenang ini.” Dari sudut matanya, Abhi melihat Raya yang berdiri di samping memandang ke arah jajaran pohon dan mengangguk mengiyakan permintaannya.

Abhi tak bisa mengalihkan padangan dari Raya. Dengan kedua tangan berada di dalam saku belakang celananya, ia memandang perempuan yang ditebaknya sedang menutup mata saat ini. Ia teringat saat melakukan hal yang sama beberapa bulan lalu.

Dalam pikirannya, Abhi membayangkan Raya merasakan embusan angin menyapu rambut yang menggelitik pipinya. Udara yang terasa dingin dan kering terasa di kulit kuning langsatnya, membuatnya merasa bebas dan lepas. Gemericik suara air yang terdengar melengkapi bayangan suasana vila dengan perempuan itu di sana.

“Apa yang kamu bayangkan saat ini?” tanya Abhi pelan memutuskan untuk menghapus bayangan di kepalanya.

Abhi bisa melihat napas Raya tercekat, tapi perempuan itu seolah menolak untuk memandang ke arahnya. Ia mengulum senyum karena Abhi tahu saat ini Raya berpikir ia tak akan mengetahui apa yang dilakukannya.

“Raya, saya tahu kamu lagi merem membayangkan suasana siang hari di sini, kan?”

Raya segera menoleh cepat dan menarik kacamatanya ke atas kepala dan membiarkan bertengger di sana. “Bapak, eh, Mas kok tahu kalau saya merem?” Abhi hampir bersorak mendengar perubahan panggilan tersebut. Namun, ia lebih tertarik melihat Raya yang terlihat terkejut dengan gesture tubuhnya saat ini. Abhi menatap Raya, mencurahkan semua perhatiannya tepat di kedua bola mata perempuan yang terlihat sedikit membengkak. Abhi segera mundur seteleh melihat sikapnya membuat Raya merasa kikuk dan gugup.

Ia memandang ke kejauhan, ke arah jajaran pohon. “Karena saya juga melakukan hal yang sama saat pertama kali melihat lokasi ini.” Abhi tak bisa menutupi reaksinya ketika mendapati perhatian Raya hanya tertuju padanya. Senyum yang ia lihat, menghangatkan hatinya, membuat bibirnya pun tertarik ke atas melihatnya. Perhatian yang dia dapatkan saat ini membuat hatinya nyaman

“Pertama kali melihat lokasi ini, saya membayangkan bangunan yang menghadap ke arah sungai dengan fasad depan yang terlihat sederhana. Semua kamar tidur menghadap kemari, dengan kolam renang berada di sisi terjauh. Di situ.” Ia menunjuk titik di sebelah kiri mereka. “Pavilun yang saya minta ada di ujung sana.” Raya kembali melihat arah yang ia tunjuk.

Raya menambahkan di buku catatannya sebelum kembali mendongak ke arahnya dengan mata bulatnya. “Berapa kamar tidur jadinya, Pak?” tanya Raya kembali. “Eh, Mas.”

Abhi menunjukkan empat jari dengan tangan kanannya sebelum kembali mengalihkan pandangan ke tanah kosong di depan mereka. Cuaca yang semakin lama semakin panas mulai menyengat membuat tenggorokannya terasa kering. Ia mellirik perempuan yang masih setia sibuk menuliskan sesuatu di buku catatannya.

“Cari minum, yuk, Ay!” ajaknya sambil melangkah meninggalkan Raya yang terlihat kaget dengan ajakannya.

Yang belum tahu, versi cetak, eBook dan KaryaKarsa udah tersedia.
😘😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top