Bab 17
Bab 17Selebar daun kelor
Raya mengamati perempuan berpakaian terbuka yang semenjak tadi mengunci bibir, sesekali tersenyum saat Hadyan meliriknya. "Kamu siapanya Ayah?" tanya Raya meninggalkan sopan santunnya. "Sepertinya saya belum pernah lihat?"
"Siang Bu Raya, saya Cinta, asisten Bapak," jawab perempuan berbibir merah itu dengan sopan. Raya ngeri melihat kuku jari perempuan itu ketika ia menerima jabatan tangan Cinta. Raya tersenyum sinis ketika melihat senyum tak lepas dari bibir Cinta seolah mendapat pengakuan yang selama ini pasti perempuan itu butuhkan. Raya bersedekap mengamati Cinta dari ujung kaki hingga ujung kepala. Sepatu harga lebih dari tujuh juta, tas berwarna cokelat yang sepertinya lebih mahal menggantung di pundak Cinta. Pakaian yang bisa ia perkirakan berharga jutaan melengkapi pakaian perempuan yang mengakui asisten ayahnya.
"Sudah berapa lama jadi asisten Ayah?" tanyanya tajam.
Cinta terlihat gugup, sesekali melirik Hadyan yang memandang Raya dengan tajam. "Abhimana, kita harus ketemu minggu depan. Ada beberapa yang ingin saya tanyakan ke kamu." Hadyan menyela interogasi Raya. Pria yang selalu terlihat menawan tersebut menjabat tangan Abhi dan menoleh ke arah Raya yang bersiap mendapat kritikan atau lirikan khas ayahnya. "Ayah harap pikiran kamu sudah kembali lurus. Ayah tunggu kabarnya!" perintah pelan itu terdengar jelas di telinga Raya.
Ia mencium punggung tangan Hadyan. Mencium pipi kiri dan kanan lalu berbisik, "Raya sudah mulai proses perceraian dengan menantu terbaik Ayah itu. Silakan kalau mau nampar Raya lagi!" katanya. Raya menatap senyum kaku ayahnya ketika ia memundurkan kepala, lalu melirik Cinta yang terlihat salah tingkah. "Hati-hati, Yah."
Raya menjatuhkan badan di kursi tak lama setelah Hadyan berlalu dengan tangan memeluk pinggang asistennya erat. Ia harus menarik dan mengembuskan napas beratnya beberapa kali sebelum memiliki keberanian untuk mengangkat kepala dan mendapati Adhis dan Abhi menantapnya dengan sorot kuatir.
"Yang, kasih waktu Papa sama Tante Raya untuk bicara." Raya melirik Adhis dan mengucapkan terima kasih tanpa bersuara. Pikirannya terlalu kalut saat ini hingga tidak bisa melihat sorot kuatir yang Abhi tujukan padanya. Raya menopang dagu dengan kedua tangan, matanya terpaku pada makan siang yang masih tersisa separuh.
"Ay," panggil Abhi lembut.
"Aku enggak tahu Mas Abhi yang handle portofolio Ayah. Setahuku orang dari Jakarta," kata Raya yang masih enggan memandang Abhi. Ia tak ingin melihat sorot kasihan yang pasti ada di wajah Abhi. Ia tak ingin melihat kecurigaan yang pasti ada di wajah Abhi ketika melihat ayahnya bersama perempuan muda. Raya merasa tidak punya wajah untuk ditunjukkan pada Abhi atau Adhis saat ini.
"Dunia ternyata beneran hanya sebesar daun kelor, ya, Mas."
"Ay, bisa lihat saya sebentar," pinta Abhi yang meletakkan tangan di atas sandaran kursinya. "Saya enggak akan komentar apa-apa, hanya ingin ngelihat wajah kamu, Ay."
Raya berusaha untuk menahan air matanya. Menangis di tempat umum bukan sesuatu yang ingin ia lakukan saat ini. Ia mengatur napas selama beberapa saat sebelum mengangkat kepala dan memandang Abhi yang tersenyum ke arahnya.
"Hai," sapa Abhi.
"Dua bulan, hampir tiga bulan yang lalu, Pram, suamiku, mengatakan sudah berselingkuh selama setahun dan gadis itu sekarang hamil empat bulan. Sejak beberapa hari lalu, aku memutuskan untuk keluar dari rumah dan menempati apartemen si Tukang Batu," kata Raya sambil melirik Abhi yang mengulum senyum mendengarnya. "Beberapa hari lalu Ayah yang sudah meniduri semua perempuan cantik yang ada di sekitarnya menampar pipiku karena anak perempuan satu-satu yang dia miliki memutuskan untuk meninggalkan suami peselingkuhnya." Reya berhenti untuk menariknapas. "Dan ... ternyata klien baruku adalah Fund Manager yang handle portofolio kekayaan kedua orang tuaku."
Kekehan lembut keluar dari bibir Raya. "Mas tahu yang paling buruk?" tanyanya. Abhi menggeleng tanpa memutus pandangannya. "Rasanya garis hidupku sering bersinggungan dengan klien baruku."
"Seburuk itu?"
Raya menggeleng. "Sebenarnya, sih, enggak," jawabnya menatap jemarinya. "Mas Abhi pernah merasakan bertemu dengan orang asing yang tak terasa asing. Rasanya segala sesuatu tentang orang asing itu terasa pas bagimu. Senyumnya, sikapnya, sorot matanya, bahkan perhatiannya."
Menyadari kekonyolannya, Raya meraih tablet di atas meja untuk di masukkan ke tas, begitu juga ponselnya. Ia bersiap untuk berdiri ketika lengannya ditahan Abhi yang sejak tadi berusaha untuk tidak menarik Raya masuk dalam pelukannya. "Stay, please."
Tak lama kemudian Adhis muncul. "Pap, aku bisa pinjem mobilnya. Masih inget Chika teman SMA-ku? Dia semalam sampai di Surabaya, dia diterima kerja di sini." Adhis mengulurkan tangan ke arah Abhi yang tanpa ragu meletakkan kunci mobil di telapak tangan anak perempuannya.
Raya melirik Adhis mencium punggung tangan Abhi sebelum mencium pipi dan memeluk papanya sebelum berjalan ke arahnya dan melakukan hal yang sama. "Kapan-kapan aku boleh chat Tante? Kita bisa makan siang bareng, kan? Aku ada ide untuk vila itu." Raya mengangguk ketika mereka bedua mengendurkan pelukan.
"Mana kunci mobil kamu?" pinta Abhi setelah Adhis meninggalkan mereka berdua. "Ay, mana kunci mobil kamu," pinta Abhi untuk kedua kalinya.
Ia meletakkan kunci mobil di telapak Abhi dan berdiri meninggalkan pria yang masih menyelesaikan pembayaran di meja kasir. Raya menyandar di mobil menatap ujung sepatu sneaker putihnya. Ia tak pernah membayangkan akan bertemu dengan ayahnya di tempat yang sama saat ia bertemu dengan kliennya. Rasa malu yang dirasakannya saat ini membuatnya tak berani untuk mengangkat kepala di depan Abhi.
Namun, yang membuat Raya semakin malu bukan hanya karena Abhi adalah kliennya. Karena ia merasa sosok pria yang saat ini berjalan menuju ke arahnya terasa lebih dari sekedar klien baginya. Raya segera menundukkan kepala ketika Abhi berhenti tepat di depannya. Beberapa saat ia menanti, tetapi pria yang memakai sepatu sneaker di depannya tak kunjung mengatakan sesuatu.
"Umur Mas Abhi berapa, sih?" Hanya itu yang melintas di kepalanya saat ini.
"Lima puluh," jawab Abhi dan ia tidak terkejut mendengarnya. Entah kenapa Raya menginginkan Abhi menjawab angka bulat tersebut. "Kamu?" tanya Abhi padanya.
"Bulan depan tepat tiga puluh lima," jawab Raya sambil mendongak menatap Abhi yang beberapa centi lebih tinggi darinya. "Kenapa?" Alarm mobilnya berbunyi, Abhi mengulurkan tangan seolah ingin memeluk pinggangnya. Namun, Raya tahu pria itu hendak membuka pintu untuknya.
"Kita mau ke mana?" tanya Raya ketika mobil sudah meninggalkan pelataran parkir kafe yang berada di jalan Dharmahusada. "Mas ... kita mau ke mana?" tanya Raya kembali.
Abhi meliriknya sekilas sebelum mengambil jalan menuju ke arah Surabaya Barat. Melihat jawaban yang dinginkannya tidak kunjung datang, Raya menyandarkan punggung dengan nyaman dan memandang jalanan hingga tak disadari matanya terpejam tanpa sempat melihat Abhi yang bernapas lega ketika mendapati mata Raya terpejam.
Dering telepon membuatnya terbangun, ia tahu Abhi berhenti dan memasang earbud sebelum kembali suara yang membuatnya merasa nyaman. "Udah di rumah Yang?" tanyanya.
Raya terdiam menikmati pembicaraan Abhi dan Adhis yang sepertinya menguatirkan dirinya. Rasa hangat menelisik dalam hatinya, mengetahui masih ada orang yang menanyakan tentang kondisinya saat ini.
Pelan-pelan, kita repub Mas Abhi yaaaak
Semua cerita yang aku publish, udah ada di KK.
Kalau mau baca lebih cepat, bisa dolan ke KK
Love, ya!
Happy reading guys
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top