Bab 16
Bab 16Smile
Abhi tak bisa mengalihkan pandangan dari perempuan yang melewati ambang pintu dengan senyum di bibir ketika mengucapkan terima kasih pada pegawai yang membukakan pintu untuknya. Seperti anak remaja yang terpaku melihat pujaan hatinya, hingga ia tak menyadari Raya berhenti tepat di depan mejanya.
"Mas!"
"Eh, Ay ... maaf ngelamun," jawab Abhi berdiri dan membantu Raya duduk tepat di depannya. "Ada bidadari surga masuk kafe barusan," goda Abhi setelah duduk nyaman memandang Raya yang terlihat menawan siang hari itu. Rambut panjangnya terurai membentuk wajah bulat yang terlihat bebas dari make up meski Abhi bisa melihat sapuan tipis lipstik di bibir merah Raya.
"Gombal banget, Mas. Enggak malu sama umur," kata Raya meski saat ini Abhi bisa melihat pipi Raya bersemu merah mendengar pujian yang jelas-jelas ditujukan padanya. "Sendiri? Katanya sama anak Mas Abhi?" tanya Raya ke arahnya.
Suasana makan siang di kafe yang Abhi pilih terasa sedikit lebih ramai, keduanya harus sedikit mendekatkan kepala untuk berbicara. Hingga Abhi memutuskan untuk berdiri dan berpindah di sebelah kiri Raya.
"Kalau gini kita enggak kesulitan kalau mau bisik-bisik," kata Abhi mendekat ke arah Raya yang terlihat masih terkejut dengan sikapnya. Karena mata perempuan itu tertuju padanya dengan bibir tertutup rapat.
"Pap, aku parkirnya agak jauh. Enggak apa-apa, ya." Suara lembut Adhis memutus momen di antara ia dan Raya. "Halo Tante, aku Adhisti Putri Pramudya. Panggil saja Adhis." Abhi tersenyum melihat kelakuan anaknya yang selalu menyebutkan nama lengkap setiap kali berkenalan dengan siapa pun.
Abhi melirik Raya yang sepertinya menganggap perkenalan Adhis menarik. "Halo Adhis. Naraya Mahardika, panggil saya Raya. Please jangan seperti Papa kamu manggil Ay."
Abhi meletakkan kembali buku menu di tangannya, lalu bertopang dagu memandang ke arah Raya yang meliriknya terlihat salah tingkat.
"Lho, emang kenapa?" tanya Abhi yang masih merasa panggilan Ay pantas untuk Raya. "Padahal saya suka manggil Ay."
"Ya ampun Papa, kayak anak muda aja manggil Ay," kata Adhis yang memanggil pegawai kafe untuk memesan makan siang mereka. "Papa tahu kan Ay itu kependekan dari Sayang?" Abhi mengerutkan kening mendengar penjelasan Adhis, sebelum memutuskan pandangan dan meminta Raya untuk memesan terlebih dahulu.
"Sebelum makan siang kita datang, lebih baik aku kasih lihat apa yang sudah kukerjakan untuk vila Mas Abhi," kata Raya mengeluarkan tablet dari dalam tasnya. "Fasad seperti yang Mas Abhi minta, dibuat sederhana. Bagian belakang sudah aku ubah beberapa hingga tidak terlalu banyak kaca." Raya meletakkan tablet di depannya ketika ia meminta untuk menunjuk satu per satu perubahan yang dibuatnya.
"Ini ruang kamar tamu yang Mas Abhi minta. Ada lemari buku dan ...." Raya menggulir layar lagi. "Bagian tengah yang terlihat seperti lemari tanam ini adalah murphy bed yang bisa diturunkan jika diperlukan." Abhi meletakkan tablet di tengah meja dan meminta Adhis untuk melihat setiap bagian vila yang sudah Raya kerjakan. Tiga kepala saling berdekatan berpusat di atas tablet yang menampakkan pekerjaan Raya.
Raya menjawab setiap pertanyaan yang Abhi dan Adhis tanyakan secara bergantian. Beberapa kali lengannya bersentuhan dengan Raya yang berada dekat dengannya saat ini, menimbulkan getaran yang lama tak pernah Abhi rasakan. Sesuatu yang datang berselimut harapan semu.
"Ini kamar tidur utama yang Mas Abhi minta. Kamar mandi dengan double vanity, bathtub sederhana, tapi dalam dan juga shower yang bisa untuk berdua—"
"Emang Papa mau mandi sama siapa?" tanya Adhis yang membuat Raya terbatuk-batuk di sebelahnya dan tangannya otomatis terulur dan menepuk-nepuk pelan hingga perempuan yang wajahnya memerah memintanya berhenti.
"Udah enggak apa-apa, Mas. Hanya kaget enggak nyangka pertanyaan itu bakalan muncul dari bibir Adhis."
Abhi memandangnya Raya dan Adhis berganti dengan keheranan. Karena merasa tidak ada salahnya dengan ruang shower yang diinginkannya, tapi melihat reaksi Raya dan Adhis membuatnya memikirkan pilihannya.
"Emang kenapa, sih?!" tanya Abhi ke arah Adhis dan Raya yang terlihat mengulum senyum.
"Ya aneh aja, sih, Pa," jawab Adhis. "Kecuali Papa rencana mandi berdua sama siapa gitu."
Abhi kembali menepuk-nepuk punggung Raya yang kembali berusaha meredakan batuknya. "Kamu enggak apa-apa?" tanya Abhi dengan kepala yang dekat dengannya. Ia menanti hingga Raya mengangkat kepala dan memandangnya lekat dengan sorot yang tak bisa Abhi artikan.
"Tante enggak apa-apa?" tanya Adhis kuatir melihat wajah Raya memerah setelah terbatuk-batuk. "Sorry, Te."
"Enggak apa-apa, hanya kaget aja. Karena waktu bikin denah lantai satu, pertanyaan itu juga yang terlintas di kepala," jawab Raya jujur ke arah Abhi yang menaikkan alis setelah mendengar pengakuan itu. "Biasa aja, deh! Enggak usah kaget gitu!" hardik Raya mendorong pelan pundaknya. "Lagian wajar dong pertanyaanku sama Adhis."
Abhi memandang Raya dan Adhis bergantian, kedua perempuan yang beberapa jam lalu tidak saling mengenal. Saat ini terlihat memiliki ikatan tak kasat mata yang terlihat layaknya dua orang yang memiliki pertalian darah. Ia berhenti saat menatap Adhis.
"Kamu yang ingin Papa menikah lagi. Iya, kan? Kali aja setelah ini ada perempuan yang bakalan nemeni Papa kamu ini. Siapa tahu?" tanyanya sesekali melirik Raya yang mengarahkan pandangan ke arahnya.
"Itu juga menjawab pertanyaanmu, Ay. Enggak usah penasaran lagi!" kata Abhi bertepatan dengan datangnya makan siang mereka bertiga.
Abhi membagi konsentrasi mendengarkan cerita Adhis dan memastikan Raya tidak merasa terabaikan. Karena ia dan Adhis terkadang bisa terlihat permbicaraan yang terlalu intens membuat siapa pun akan merasa tersisihkan, seperti yang pernah mantan istrinya ucapkan.
"Kamu ikutan minum?" tanya Abhi sedikit keras.
"Enggak, lah, Pa," jawab Adhis santai. Tak terlihat marah dengan pertanyaan yang bernada menyudutkan keluar dari bibirnya. "Enggak tahu kenapa, aku enggak pernah penasaran rasanya seperti apa. Meski di rumah juga ada wine Mama, kan?" jawab Adhis santai.
Raya menikmati memandang interaksi kedua Bapak dan anak yang terlihat seperti layaknya kawan lama. Ia tak bisa menahan diri untuk tidak membandingkan hubungannya dengan sang ayah yang tidak terlihat ada hubungan pertalian darah di antara mereka.
"Raya!"
Raya menghela napas berat karena saat ini ia tidak berharap akan mendengar suara itu di sini, ketika ia bertemu dengan Abhi. Suara pria yang beberapa hari lalu menampar pipinya dengan keras membuatnya gugup. Raya menggigit bibir bawahnya sebelum berdiri dan membalik badan untuk bertemu pandang dengan pria yang berdiri bersisian dengan perempuan yang terlihat berusia lebih muda darinya.
"Yah," sapanya. "Berdua saja?" tanyanya sinis.
"Siang, Pak Hadyan. Apa kabar?" sapa Abhi yang tiba-tiba berdiri di sampingnya dengan tangan terulur ke arah ayahnya yang terlihat tersenyum lebar. "Lama enggak ketemu."
Hadyan menerima uluran tangan Abhi dan menepuk pelan pundak pria di sebelahnya. "Abhimana, apa kabar? Kok, ada sama Raya?" tanya pria yang terlihat rapi ke arah Raya.
Raya bingung melihat keakraban Abhi dan juga ayahnya saat ini. Bahkan perempuan yang beberapa saat melingkarkan tangan dengan posesif ke lengan ayahnya sudah berdiri kaku setelah mundur satu langkah. "Mas Abhi kenal Ayah?" tanyanya ke arah dua orang pria yang sibuk bertukar kabar.
"Abhi yang urus portofolio Ayah selama ini, Ya. Semenjak dia di Jakarta sampai akhirnya pindah ke Surabaya." Meski ia tidak mengetahui jumlah pasti kekayaan kedua orang tuanya, tapi ia tahu keduanya memiliki harta yang jauh lebih besar daripada yang terlihat. Banyak orang beranggapan seorang Hadyan anggota dewan pasti memiliki harta hasil korupsi. Yang tidak khalayak ramai ketahui adalah, baik Hadyan ataupun istrinya memiliki insting bisnis yang tajam. Selama ini mereka mendapat keuntungan dari kemampuan mereka menanam modal di perusahaan yang mendatangkan keuntungan bagi mereka.
Raya tidak nyaman dengan kemunculan sang ayah, ditambah lagi dengan kenyataan Abhi mengenal pria yang memiliki lebih dari satu perempuan dalam hidupnya. Sesekali ia melirik Abhi yang meladeni setiap pertanyaan Hadyan dengan senyum di bibir.
Repoooost
Teman-teman bisa dolan ke KK kalau yang enggak sabar menanti
Tengkiyuuuu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top