Bab 15
Bab 15Sendiri
Raya meletakkan ponsel di atas meja setelah menghubungi Abhi dan memandang jalanan Surabaya yang masih terlihat ramai, meski malam semakin larut. Apartemen dengan jendela mengarah ke pusat kota Surabaya menjadi pilihannya sejak beberapa hari lalu selepas keluar dari rumah Mayang. Semua telepon dan juga pesan Pram tidak ada satu pun yang ia pedulikan, meski keduanya selalu bertemu di kantor.
Raya datang ke kantor setiap hari, mengerjakan desain dua rumah tinggal dan vila Abhi yang sedang berjalan. Sesekali meninjau lokasi di beberapa tempat dan rapat bersama tim pelaksana yang di kepalai Pram. Semuanya berjalan seperti sedia kala, kecuali di antara mereka berdua. Pembicaraan antara dirinya dan Pram hanya sebatas urusan pekerjaan. Setiap kali pria bertubuh tinggi itu memasuki ruang kerjanya dan berkata, "Kita harus bicara, Hon!" Raya melotot ke arah pria tersebut.
"Pertama, kamu sudah tidak berhak memanggilku dengan kata itu. Kedua, ini kantor. Tempat kita bekerja bukan membicarakan masalah rumah tangga, perselingkuhan kamu, atau kehamilan pacar kamu. Silakan keluar sebelum kamu mengundang perhatian staf-staf kita semua."
Lamunannya buyar ketika terdengar bunyi dari ponselnya. Raya mengembuskan napas yang menyesakkan dada setiap ia teringat tentang suaminya. Rasa pedih masih terasa setiap kali teringat tentang Pram, bahkan pertanyaan-pertanyaan yang ia tekan agar tidak menyeruak di kepalanya, membuat hatinya semakin pedih.
Raya memutuskan untuk mengenyahkan pikirannya tentang Pram dan membaca sebaris pesan yang hanya berisi waktu dan tempat. Ia membuka foto profil yang tidak terlihat jelas wajah sang empunya, tapi Raya bisa melihat senyum yang ada di bibir Abhi. Senyum yang membuatnya sejenak melupakan carut marut masalah rumah tangganya. Senyum yang menawarkan kenyamanan dan kedamaian.
"Jika suatu saat kamu merasa enggak bahagia bersamaku—"
Pram menariknya ke dalam pelukannya, "Kamu adalah satu-satunya perempuan yang bisa membuat Mas bahagia. Jangan punya pemikiran seperti itu, Hon. Perkataan kita adalah doa," kata Pram yang tak henti-hentinya meyakinkan Raya. Keduanya masih memakai baju yang sewarna setelah seharian menerima ucapan selamat menempuh hidup baru.
Raya mendongak ketika Pram menangkup kedua pipinya, matanya terpejam ketika merasakan ciuman lembut di keningnya. "Mas bukan ayah kamu, Hon."
Raya terbangun dengan dada yang terasa terimpit dengan air mata mengalir di pipi. Jam di dinding menunjukkan angka tiga menandakan ia hanya terpejam kurang lebih tiga jam. Napasnya memburu mengingat mimpi yang berisi ingatan hari pertama ia sah menjadi istri seorang Pramana Aryatasta. Namun, saat ini kenangan itu membuat dadanya bergemuruh dengan kemarahan. Ia mengembuskan napas kasar lalu menyibak selimut, karena Raya tahu ia tak akan bisa kembali tertidur.
Dengan segelas cokelat panas di tangan, Raya membuka pekerjaannya dan kembali meneruskan desain yang harus ia ajukan beberapa jam lagi. Raya terenyum puas ketika ia melihat hasil kerjanya beberapa jam kemudian. Ada dorongan untuk melakukan yang terbaik untuk pekerjaan kali ini, entah kenapa Raya merasa tak ingin mengecewakan Abhi.
"Kira-kira kamu bakalan suka enggak, ya, Mas?" tanyanya dalam keheningan apartemen satu kamar tidur. "Kalau enggak suka, ya enggak apa-apa, sih. Lumayan bisa ketemuan lagi." Semangat dan bahagia yang dirasakannya ketika pemikiran untuk bertemu Abhi kembali membuatnya terkejut. Raya tak pernah memiliki perasaan seperti ini sejak dua belas tahun yang lalu saat seorang pria yang berusia setahun di atasnya membuat perutnya bergejolak setiap kali ia menatap senyum di bibirnya.
Raya menjerit tertahan ketika tiba-tiba kembali teringat Pram, "Ya Tuhan ... jangan biarkan pikiranku mengingat dia terus. Izinkan aku ikhlas untuk melepasnya, aku capek," katanya dengan kepala tertelungkup di atas meja. Pukul enam pagi setelah menyelesaikan pekerjaannya, Raya memutuskan untuk kembali tidur sebelum bertemu Abhi nanti siang. Ia tak ingin terlihat kuyu dengan lingkaran hitam sebagai penghias wajah.
Celana jin dengan kemeja kerja. Rok terusan tanpa lengan sepanjang mata kaki dengan belahan hingga lutut. Rok jin pendek dipadu dengan kaus polos lengan pendek. Lima belas menit Raya melihat ketiga pakaian yang ia pilih ada di atas ranjang. Ia tak tahu apa yang terjadi dengannya, karena sejak ia memulai karir bersama Pram tak pernah mengalami dilema tentang pakaian seperti saat ini.
"Aku bingung mau pakai apa?" tanya Raya setelah memastikan ia menekan nama Tukang Batu bukan Klien batu.
Mayang yang menjawab teleponnya di dering ketiga terdengar terkejut. "Pakaian apa maksud kamu?"
Raya meminta Mayang untuk video call karena ia ingin menunjukkan ketika pakaian yang sudah ia persiapkan semenjak ia membuka mata pukul sepuluh tadi. "Menurut kamu bagus mana?" tanya Raya yang masih belum mendapat jawaban dari Mayang. "Yang!" bentak Raya.
"Tunggu, ini ada acara apa, sih? Kamu mau ke mana emangnya?" tanya Mayang yang masih belum membantu Raya memilih pakaian untuk hari ini.
Ia merosot di kaki ranjang dan menyandarkan kepala dengan teriakan frustasi yang membuat Mayang semakin bingung. "Aku mau ketemu Mas Abhi, Yang," jawab Raya. "Menurut kamu aku harus berpenampilan seperti apa? Pakai celana kain atau jin seperti mau ke kantor, pakai terusan tanpa lengan, atau rok pendek seperti mau main ke rumah kamu? Bantuin dong?!" pinta Raya dengan putus asa.
Matanya melotot mendapati Mayang yang tertawa tebahak-bahak hingga gambar di ponselnya bergoyang-goyang dan wajah sahabatnya menghilang sebelum kembali dengan mata yang basah. "Tunggu ... aku selesaikan ketawa dulu," pinta Mayang membuat Raya semakin bingung. "Gini ya Naraya Mahardika ... sejak kapan kamu bingung mau pakai apa kalau ketemu klien meski itu di jam makan malam? Tolong jawab pertanyaanku dulu itu!" Raya terdiam meresapi pertanyaan Mayang lalu menggeleng. "Enggak pernah, kan?" tanya Mayang.
"Ya enggak, sih," jawabnya dengan kepala tertunduk sebelum membuang wajah memandang keluar jendela dan mendapati cuaca Surabaya yang terlihat silau di mata. "Kenapa aku jadi bingung ya, Yang?"
"Kamu suka sama klien kamu?" tanya Mayang.
"Edan kamu! Aku punya suam ...." Raya menghentikan bibirnya. "Aku enggak punya suami, ya, Yang?" tanyanya dengan nada pelan.
"Punya, dong," jawab Mayang. "Mantan suami maksudnya. Gini deh, di antara ketiga pakaian itu, mana yang paling bikin kamu merasa bahagia siang ini, pakai itu."
Raya berdiri dan kembali mengamati ketiga pakaiannya. Ia bukan perempuan modis dengan pakaian bermerek memenuhi lemari bajunya. Ia bukan perempuan yang suka belanja, dan memakai baju puluhan bahkan ratusan juta. Gaya berpakaiannya selama ini adalah kasual yang nyaman dipakai. Ia menunjuk terusan tanpa lengan dengan belahan di atas lutut.
"Aku pengen pakai ini," katanya.
"Pakai sneaker warna putih, Ya," kata Mayang yang mengetahui sebanyak apa isi lemarinya. Ia belum kembali ke rumah untuk mengambil sisa pakaiannya, sehingga terkadang ia kesulitan karena pilihan baju yang terbatas. "Jangan kelihatan seperti calon janda yang merana karena lakinya selingkuh sampai hamilin anak orang." Ejekan Mayang membuatnya tertawa terbahak-bahak.
Raya memutuskan untuk tidak memikirkan masalah rumah tangganya kembali setelah ia bertemu pengacara teman Mayang kemarin pagi. Ia menyerahkan pada pengacara untuk mengurus semuanya.
Karena Mas Aga dan Mas Arka lagi proses cetak.
Mas Aga juga udah di unpub sebagian, kalau Mas Arka ... mungkin bakalan sesekali aku publish, tapi nanti. nanti buangeeeet.
Untuk sementara, teman-teman bisa baca Mas Ninu atau Mas Abhi. Enggak kalah serunya kok mereka berdua, nih.
happy reading
Thank you sudah membersamaiku selama ini
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top