Bab 14


Sendiri



Abhi memandang ponsel yang bergetar di atas meja kerjanya, Naraya Mahardika. Bibirnya tersenyum mengingat dua kali perempuan bersenyum manis itu menghubunginya karena salah sambung. "Aku harus memastikan kamu menghubungi klien batu atau kuli batu?" tanya Abhi setelah menggeser tanda hijau di ponselnya.

Kekehan Raya terdengar merdu di telinganya, "Aku sengaja telepon Mas Abhi kok, enggak salah sambung. Selamat malam Bapak Abhimana." Kekehan itu berganti menjadi tawa lepas yang membuat Abhi membayangkan wajah perempuan berambut panjang tersebut.

"Selamat malam, Ibu Naraya. Kamu enggak tahu kalau hati ini lega banget dengarnya," kata Abhi.

"Hah! Lega kenapa emangnya, Mas?" tanya Raya.

Abhi tertawa mendengar pertanyaan Raya, ia bahkan bisa membayangkan wajah perempuan yang baru ia temui satu kali saat ini. "Lega karena kali ini bukan salah sambung, jadi beda rasanya."

"Mas Abhi lebay banget. Aku mau tanya, besok jadi jam berapa? Karena Mas Abhi belum kasih kabar waktu dan tempatnya."

Abhi terkejut menyadari belum mengirim pesan pada Raya, meski semenjak telepon itu ia sudah bersemangat menanti hari Sabtu datang. "Tunggu, Ay," jawab Abhi sebelum berjalan menuju kamar Adhis dan membuka pintu kamar anak gadisnya setelah mengetuknya tiga kali. "Sayang, besok jadinya di mana?"

"Hah! Maksudnya apa?!" Abhi terkejut mendengar teriakan Raya hingga ia harus menjauhkan ponsel dari telinganya. Keningnya mengernyit bingung dengan reaksi Raya. Ia terdiam memandang ponsel di tangannya, panggilan anak perempuannya pun tidak ia indahkahkan karena pikirannya tersita teriakan Raya yang membuatnya terkejut

"Halo, Ay! Kamu kenapa?" tanya Abhi dengan suara kuatir yang membuat Adhis menatapnya curiga. "Ay ... Naraya! Kamu kenapa?"

"Kenapa Pa?" Abhi menggeleng menjawab pertanyaan Adhis dan ia semakin bingung ketika mendengar tawa Raya selama beberapa menit. "Papa kenapa, sih?"

Tanpa menjawab pertanyaan Adhis, ia keluar kembali menuju ruang kerjanya dengan perasaan bingung dan campur aduk. Sepanjang usia dewasanya, ia tak pernah mengalami kebingungan seperti saat ini. Baik saat ia menikah atau setelah menyandang status duda.

"Naraya kamu kenapa?"

"Ya ampun, Mas ... maaf. Aku tadi kaget dengar Mas Abhi bilang Sayang," jawab Raya di sela-sela tawanya. Namun, itu tidak membuatnya mengerti kenapa perempuan di ujung sambungan tertawa terbahak-bahak beberapa saat lalu. "Ini akan terdengar memalukan, tapi ...." Raya berdehem. "Aku tertawa tadi karena aku kira panggilan Sayang itu untukku. Setelah mendengar suara anak Mas Abhi, barulah aku sadar itu bukan untukku."

Saat ini Abhi bingung harus berkata apa. Bibirnya melengkung ke atas mendengar pengakuan Raya, ada yang tiba-tiba muncul. Membuatnya merasa semangat, meski ia tak tahu apa itu. "Mau saya panggil Sayang juga?" tanya Abhi.

"Enggak! Aku enggak mau nambah-nambahin masalah, Mas. Masalah di hidupku sudah terlalu banyak, capek angkatnya ntar?" Hingga saat ini, Abhi tidak tahu apa yang sebenarnya dihadapi perempuan itu, kecuali Raya bermasalah di rumah tangganya dan berniat untuk bercerai. Dari dua kali salah sambung perempuan yang membuatnya penasaran, semuanya terdengar lelah.

"Capek banget rasanya, Mas,"

"Saya tahu kalau kamu belum kenal saya, tapi kamu bisa cerita dan dengan senang hati saya dengarkan cerita kamu." Dengan sadar ia menawarkan untuk menjadi teman cerita Raya, sesuatu yang tak pernah ia lakukan selama ini. Bahkan Nada—mantan istrinya—pernah protes karena ia jarang memiliki waktu untuk mendengarkan ceritanya. "Kalau saya melewati batas, maaf, ya, Ay."

"Panggilan Ay-nya Mas Abhi itu beresiko besar membuatku baper. Mas harus tahu itu."

"Lho, emang kenapa. Ay dari Naraya, kan?" tanyanya. Karena Abhi merasa penggalan itu sesuatu yang biasa ia dengar dari beberapa orang. Selain karena ia suka mendengar penggalan Ay.

Abhi bisa mendengar helaan napas Raya, "Karena Ay bisa penggalan dari Sayang, Mas."

"Lho, bilang kalau kamu mau saya panggil Sayang?!" Sambungan telepon tiba-tiba diputus sepihak, membuat senyumnya terkembang mendapat reaksi seperti itu. "Kalau mau saya panggil Sayang, tinggal bilang, Ay," kata Abhi ke arah ponsel di tangannya. Sebelum mengetik tempat dan jam untuk pertemuan besok.

"Papa senyum-senyum sendiri!" Abhi merasakan kehadiran anak perempuannya, bahkan sebelum terdengar suaranya. "Pacar Papa?"

Betapa lucu terdengar, pria seusianya masih pantaskah memiliki pacar. Abhi tertawa membayangkan hal itu, karena mencari pendamping setelah resmi bercerai tidak ada dalam daftar skala priositasnya. Sebagai seorang Fund Manager, ia terbiasa untuk mengukur resiko sebelum memutuskan suatu langkah selama ini. Dalam pekerjaan, Abhi memiliki insting yang membantunya untuk mengambil keputusan, selain hasil analisa. Namun, dalam urusan hati, ia tak berani untuk memgambil resiko hingga saat ini.

"Papa enggak punya pacar dan yang telepon barusan adalah arsitek yang rancang vila kita di Batu nanti," jawab Abhi sebelum kembali membuka berkas pekerjaannya. "Sebelum kamu tanya. Perempuan itu sudah punya suami, meski kayaknya mau cerai juga."

Abhi tertawa ketika Adhis menatapnya dengan mata membulat sempurna. Terlebih lagi pada bagian bagian mau cerai. Ia menyandar dan bersedekap menanti pertanyaan yang pasti akan Adhis tanyakan. Ia mengenal anak perempuannya, tidak ada sesuatu yang akan lolos dari pengamatan Adhis.

"Mau tanya apa, Sayang?" tanya Abhi dengan senyum.

"Cantik enggak? Umurnya berapa? Punya anak enggak?" cecar Adhis yang terlihat tertarik dengan teman Abhi. Karena setelah perceraiannya, Abhi tak pernah terlihat dekat dengan seseorang, berbeda dengan Nada yang memiliki kekasih tak lama setelah perceraian mereka berdua.

Abhi membuka ponsel dan menunjukkan foto profil Raya di aplikasi pesan berwarna hijau. "Nih," kata Abhi mendorong ponsel ke arah anak perempuan yang terlihat penasaran.

"Cantik, Pa. Kayaknya masih muda, ya," kata Adhis tanpa melepas pandangan dari ponsel Abhi di tangannya. "Aku enggak masalah kalau punya Mama tiri gini."

Ia menerima kembali ponselnya dan memandang wajah Raya, "Ia lagi bermasalah, Yang. Papa enggak mau berada di tengah-tengah masalah orang lain. No way!"

Adhis berjalan mendekati Abhi dan melingkarkan lengan di pundak kokoh yang tak pernah lelah menjadi sandaran anak perempuannya tersebut. "Tapi ... aku baru pertama kali lihat Papa senyum-senyum seperti tadi. Rasanya udah lama banget enggak lihat senyum Papa seperti itu."

Abhi mengusir anaknya setelah pembicaraan mereka semakin tidak jelas. Ia tak pernah berniat untuk mendekati Raya, meski perempuan itu akan bercerai. Karena ia tak ingin berada di tengah-tengah masalah yang perempuan itu hadapi, meski ia sudah dengan sadar menawarkan diri untuk menjadi pendengar Raya.

Ia menggeleng menyadari sikapnya yang bisamembuat orang berpikir lain dengan kedekatan mereka, meski hingga saat inihanya sebatas telepon membahas tentang pekerjaan. Namun, Abhi menyadari apayang bisa terjadi jika ia membuka kesempatan untuk Raya menumpahkan uneg-unegpadanya. Ia terbiasa menganalisa, baik atau buruknya. Kemungkinan untung ataurugi, bahkan tentang waktu yang dibutuhkan. Ia bisa memprediksai apa pun yangterjadi di antara dia dan Raya akan menimbulkan konflik bagi mereka berdua.


Happy reading guys
Thank you

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top