Bab 12
Dia
Semenjak ia masuk ke ruang kerjanya hingga lewat tengah hari, Raya berkutat dengan desain yang harus diajukannya untuk Abhi di hari Sabtu. Dinding ruangan yang penuh dengan foto hasil desainnya selama ini seolah menjadi pengingat ia harus bekerja meski hatinya tidak dalam keadaan baik-baik saja. Ia melirik fotonya bersama Pram yang hingga saat ini masih ada di atas mejanya, menjadi pengingat bahwa ia pernah merasa bahagia dalam hidupnya.
"Gimana dengan kantor?" tanya Pram. Pria yang sudah berhasil menguasai diri tersebut duduk di hadapan Raya dengan wajah mengeras. Sedih dan hancur yang beberapa menit lalu terlihat jelas di wajah Pram, saat ini terlah terganti dengan wajah serius yang setiap kali mereka bekerja.
Raya mengeratkan kimono satinnya dan bersedekap menghadap Pram yang menanti jawabannya. "Suasana kantor pasti berubah saat akhirnya semua orang tahu tentang perceraian kit—" Ia berhenti ketika Pram mengangkat tangan kanannya. "Kenapa?"
Rumah terasa sepi, tidak terdengar suara di antara mereka. hanya helaan napas Pram yang mengisi kekosongan itu. Pria yang masih berstatus sebagai suaminya itu menyandarkan punggung dan memejamkan mata.
"Kasih aku waktu untuk memproses kata cerai yang berkali-kali kamu ucapkan. Mas masih berharap ada jalan selain perceraian, Hon."
Raya memijit puncak hidungnya mendengar lirihan Pram yang tidak masuk akal baginya saat ini. "Kita harus membicarakan masalah kantor, Mas!" pinta Raya. Namun, hingga beberapa menit, jawaban tak kunjung ia dapatkan. Tepat pukul sebelas malam Raya berdiri menepuk pundak Pram ketika tidak ada jawaban keluar dari suaminya. "Aku capek."
Raya mengusap kasar wajahnya mengingat kejadian beberapa hari lalu, ia menepuk pelan pipinya, lalu kembali menghadap layar yang menunjukkan denah lantai vila Abhi.
Raya mencoba untuk mengubah tata letak kamar di lantai dua. Membuat perubahan yang ia harap bisa membuat Abhi puas dengan hasil rancangannya. Ia juga mengganti beberapa material yang akan mengubah eksterior vila tersebut. Raya berusaha untuk menjadikan lebih ke selera Abhi karena desain awal menggunakan selera pribadinya.
Getaran ponsel di atas meja memecah konsentrasinya, jarinya hendak menggeser tanda merah ketika terlihat nama Klien Batu di sana. "Iya, Mas. Ada yang bisa aku bantu?" jawabnya dengan gugup.
"Siang, Ay. Maaf ganggu di jam kerja, tapi ada sesuatu yang harus saya sampaikan," kata Abhi terdengar ragu. "Saya mau salah satu kamar di lantai dua dibuat seperti perpustakaan, tapi juga bisa berfungsi jadi kamar jika diperlukan. Bisa?"
Seketika terlintas murphy bed di pikirannya, "Bisa Mas. Ini mumpung lagi buka rancangan untuk vila Mas Abhi, nih. Untuk kamar yang menghadap ke belakang atau depan?" jarinya dengan lincah menambahkan garis di salah satu kamar yang menghadap ke halaman belakang. "Atau Mas Abhi mau aku buatin beberapa alternatif, nanti tinggal dipilih mau yang mana."
"Gitu juga boleh, nanti biar Adhis yang memilih." Raya kembali mendengar suara teredam, sepertinya pria di ujung sana juga dalam keadaan sibuk. "Ay, nanti saya telepon kamu lagi kalau ada perubahan. Makasih, Ay."
Raya menutup telepon dengan pikiran yang melayang ke mana-mana. Panggilan Abhi selalu membuatnya menjadi linglung, terlebih lagi panggilan Ay yang pria itu gunakan, terkesan seperti Sayang. Pikiran itu membuatnya tersenyum sendiri dan Raya segera membuangnya, karena tak ingin mengotori pikirannya dengan ide-ide tidak jelas seperti itu.
"Mbak ... aku kasih tahu dulu kalau di bawah ada ... anu ... itu ...." Sasa—asistennya di kantor—terlihat gugup dan sesekali melihat ke arah tangga mengarah ke lantai satu. Raya menaikkan alis menanti Sasa meneruskan kalimatnya yang terbata-bata. "Anu Mbak, itu ... ada ... Pak Pram."
Gerakan tangannya terhenti mendengar nama suaminya disebut. Kegugupan Sasa membuatnya semakin bertanya-tanya, karena gugup yang ia lihat saat ini menandakan sesuatu yang lain. Raya berdoa semoga saja kecurigaannya tidak terjadi, karena ia tidak akan pernah siap jika harus berhadapan dengan seseorang yang sudah membuatnya berada di dasar jurang seperti saat ini.
"Ada pacar Mas Pram?" tanya Raya tanpa menutup-nutupi kenyataan itu dari Sasa. Melihat mata yang membeliak ke arahnya, Ia tahu ternyata hampir semua orang mengetahui tentang pergolakan rumah tangga mereka.
Sasa duduk di depan meja kerjanya dengan wajah terlihat bingung. "Mbak Raya kok tahu?" tanya lulusan desain interior yang selama ini menjadi tangan kanannya. "Aku kira Mbak enggak tahu."
Raya menyandarkan punggungnya dan menghela napas berat mendengar jawaban Sasa yang semakin terdengar gugup. "Mbak enggak apa-apa?" Ia tak mampu menahan kekehan yang muncul dari bibirnya. Karena saat ini Raya tidak tahu harus bagaimana menyikapi kelakuan Pram yang kembali menabur garam di atas lukanya.
"Sudah berapa kali perempuan itu ke sini?" tanya Raya. Napasnya mulai memburu dan dorongan untuk berlari keluar kantor semakin besar, tapi ia tak ingin memberi kepuasan pada siapa pun yang ingin melihatnya jatuh saat ini. "Enggak usah takut jawab, Sa. Sesering apa dia ke sini?"
"Sekarang, sih ... enggak terlalu sering, tapi biasanya kalau pas Mbak enggak ada di kantor. Baru kali ini aja ...."
Mendengar itu seakan menjadi pemicu Raya untuk mengambil sikap. Setelah menyimpan pekerjaannya, Raya mematikan komputer dan memasukkan tablet juga buku catatannya ke dalam tas.
"Ini bukan lari, Sa. Demi kesehatan jiwa, aku harus ke luar dari kantor sebelum kepalaku pecah," kata Raya yang melihat asistennya menatapnya dengan sorot mata kasihan.
Sasa mengikuti langkahnya hingga sampai di lantai satu. Rumah yang mereka ubah menjadi kantor tidak memiliki banyak sekat di lantai satu, karena di sini tempat semua orang berkumpul membuat siapa pun bisa melihatnya saat ini. Di lantai dua terdapat kantornya dan juga bagian keuangan, sedangkan Pram memilih untuk bekerja di lantai satu karena pria itu lebih sering berada di lapangan. Kecuali hari ini.
"Hon!" Kemarahan Raya semakin memuncak mendengar panggilan Pram yang ditujukan untukknya. Ia menghentikan langkahnya menuju pintu dan memutar badan hingga berhadapan dengan pria yang masih berstatus sebagai suaminya. "Kamu mau ke mana?"
"Kamu bawa perempuan itu ke sini, dan masih memanggilku Hon! Mau kamu apa, Mas? Menunjukkan pada semua orang bahwa calon istri muda kamu akrab dengan istri tua kamu? Atau kamu mau nunjukkan sama semua pegawai kita, kalau pada akhirnya bahagia bakalan memiliki anak dan terbebas dari perempuan mandul sepertiku," bisik Raya tepat di depan wajah Pram. "Hari ini aku keluar dari rumah, dan kamu enggak perlu tahu aku tinggal di mana. Salam buat selingkuhan kamu!"
Raya tidak memedulikam wajah Pram yang terlihat terkejut. Ia tak mengerti jalan pikiran pria yang sepuluh tahun lalu mengucap ijab kabul di depan ayahnya. "Hon, tunggu!" sentak Pram ketika Raya membalik badan.
"Kamu sudah kehilangan hak untuk memanggilku Honey, Sayang, Cinta, atau Istri ketika kamu memilih menghabiskan waktu bersama dia," kata Raya. "Mas kira aku enggak tahu siapa yang kamu bawa kemari siang ini! Aku kira kamu lebih baik daripada ini, Mas."
Langkahnya ringan meninggalkan Pram yang terlihat salah tingkah menjadi pusat perhatian semua orang. Pernikahan sepuluh tahun hancur dalam sekejap, dan itu semua akan menjadi kenangan berharga baginya.
Hibernasi membuat semua jadwal yang ada, BUYAR!
Maafkan kemalasanku, whahahah
Happy reading guys
Love
Shofie
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top