Bab 11


Sexy klien



Raya menyandar di railing balkon lantai dua memandang ke kegelapan malam dengan perasaan campur aduk. Ia bahkan tidak tahu apa yang sedang dirasakannya saat ini. Raya merasa lega setelah mengatakan apa yang diinginkannya, meski ia tahu masalah mereka berdua masih jauh dari kata selesai. Ia tahu Pram tidak akan semudah itu melepaskannya, meski ada seorang perempuan dalam keadaan hamil menanti kehadirannya.

Raya tersenyum getir membayangkan kehidupannya saat ini. Beberapa bulan yang lalu, ia merencanakan untuk bulan madu kedua bersama Pram. Seminggu penuh menghabiskan waktu berdua di private villa di Lombok. Ia bahkan sudah mempersiapkan semuanya hingga detail terkecil, seperti baju tidur yang akan dikenakannya sepanjang mereka berada di sana. Ia menghela napas berat mengingat itu semua.

Ia tidak melihat banyak pilihan di depannya, kecuali tetap berjalan dengan kepala tegak, meski pada akhirnya semua orang melihatnya sebagai perempuan yang kalah. Namun, Raya bertekad untuk tetap menjadi perempuan kuat, mandiri, dan bahagia dengan pekerjaan impiannya, meski ia tidak tahu bagaimana nasib perusahaan mereka ke depannya.

Mengingat pekerjaan, ia belum sempat menyentuh pekerjaan vila yang harus segera dimulainya. Mengingat klien "sexy" barunya ingin semua selesai sebelum tahun depan. Dari desain awal yang ia perlihatkan, ia tahu Abhi tidak meminta banyak perubahan, dan itu semua bisa ia kerjakan dalam satu atau dua hari ke depan. Sesuatu yang bisa ia manfaatkan untuk mengalihkan pikiran dari peliknya masalah rumah tangganya.

Raya mengambil ponsel di atas meja nakas sebelum kembali ke balkon lantai dua yang menjadi tempatnya menghabiskan waktu dengan melamun selama dua bulan ia tinggal terpisah lantai dengan suaminya. Jarinya dengan malas mencari kontak Mayang untuk mengeluarkan semua uneg-uneg di kepalanya.

"Kamu tahu ... meminta cerai padanya bukan sesuatu yang sulit. Tapi ... melihat kelegaan di matanya ketika aku meminta cerailah yang paling sulit, Yang. Coba kalau kamu bisa ke sini, nemenin aku ngobrol, kalau perlu sampai pagi, mungkin sesak di dada ini bakalan berkurang," cerocos Raya.

"Saya bisa jadi pendengar yang baik kalau kamu mau."

Raya menjerit mendengar suara lelaki, dan ia tersadar telah melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Matanya melotot mendapati nama Klien Batu bukannya Kuli Batu. Kebiasaannya memberi nama yang berbeda di kontak ponselnya pada akhirnya membuatnya terjerumus dalam masalah, dua kali.

Ia bisa mendengar suara Abhi mengatakan, "Halo, Ay ... halo ...."

"Halo," jawabnya gugup. "Aku benar-benar harus mengganti nama Mas di kontak biar enggak salah melulu. Malu-maluin bener, aku enggak akan nyalahin Mas kalau memutuskan batal jadi klienku."

Mayang dan suaminya memiliki beberapa usaha, termasuk pabrik mesin pemecah batu. Semenjak sahabatnya menceritakan itu, ia mengganti nama kontak di ponselnya menjadi Kuli Batu yang saat ini menjadi bumerang baginya.

"Aku punya sahabat punya pabrik mesin pemecah batu, Mas. Di kontak aku kasih nama kuli batu." Raya menghela napas berat, "Enggak tahunya malah nyasar ke kamu. Dua kali, lagi." Ia terkekeh mengingat kebodohannya. "Udah lah, aku tutup dulu. Pasti ganggu istirahat Mas Ab—"

"Kamu enggak ganggu!" sela Abhi. "Jangan ditutup. Maksud saya, kalau Ay masih mau bicara. Dengan senang hati saya mendengarkannya."

Raya menurunkan ponsel dari telinganya dan memandangnya dengan kening mengernyit keheranan dengan klien barunya itu. Selama beberapa detik, ia menimbang antara menutup atau meneruskan sambungan yang salah tersebut, tapi ketika terdengar suara Abhi memanggilnya Ay berkali-kali, Raya mendekatkan ponsel itu kembali.

"Kenapa panggil Ay? Semua orang pasti memanggilku Ya atau Ra." Bagi Raya, panggilan Ay terasa terlalu personal untuk orang yang baru mengenalnya. Meski ia tidak tahu apa yang ada di kepala Abhi ketika memanggilnya Ay.

Kekehan Abhi menggelitik telinganya, menghantarkan kehangatan yang ditawarkan oleh orang asing yang baru ia temui satu kali, dan entah apa yang terjadi, Raya seolah merasa tertarik pada pria tersebut.

"Saya suka panggil kamu Ay. Dulu saya punya teman kuliah namanya Nayaka. Semua orang memanggilnya Nana atau Aya, padahal dia laki. Tapi enggak tahu kenapa, saya lebih suka memanggilnya Ay," jawab Abhi disusul kekehan yang terdengar merdu di telinga Raya. "Maaf ... saya harus tanya. Kamu baik-baik saja?"

"Enggak!" jawabnya tegas. "Tapi nanti akan baik-baik saja. Harus baik-baik saja," jawab Raya mengafirmasi diri sendiri. "Apa pun yang terjadi nanti, aku akan baik-baik saja."

Keduanya terdiam, tapi anehnya Raya merasa keheningan antara mereka berdua memberikannya kenyamanan tersendiri. Ia merasa tidak sendiri, meski itu tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata ketika memikirkannya.

"Saya tahu kita baru ketemu satu kali dan dua kali salah sambung, tapi ... setiap kali kamu butuh telinga untuk dengerin keluh kesah kamu. I am all ears," kata Abhi mengundang tawa karena pria itu mengingatkan tentang kebodohannya dua kali.

"Sepertinya memang harus telepon kamu, Mas, karena malam ini aku kepikiran dengan desain vila kamu. Kapan bisa ketemu, ada beberapa hal yang harus kita bicarakan."

"Minggu ini jadwal rapat saya penuh, gimana kalau hari Sabtu depan?" Sebelum Raya menjawab pertanyaan Abhi terdengar suara memanggil Abhi, dan gemeresak sambungan terdengar. Ia membayangkan pria itu menutup telepon untuk menjawab siapa pun yang berada bersama Abhi malam ini. "Sorry ... itu Adhis, anak saya. Hari Sabtu, bisa?"

Anak. Pikirannya seketika berhenti mendengar kata tersebut. "Bisa, Mas. Mas Abhi yang nentukan waktu dan tempatnya, aku ngikut aja. Makasih sudah dengar salah sambungku ... dua kali," katanyanya geli. "Aku tutup dulu, selamat malam, Mas."

"Malam Ay, dan ... tawaran saya tetap berlaku, I'm all ears, kapanpun kamu membutuhkan saya."

Raya segera menutup telepon setelah terdengar janji yang Abhi ucapkan. Setiap orang selalu mudah untuk mengucapkan janji, seperti halnya Pram. Ia belajar dari kesalahan, ia tak mau begitu saja menerima janji yang setiap kali orang lain ucapkan padanya. Yang pasti ia tidak akan menceritakan tentang masalahnya pada Abhi yang masih terhitung orang asing baginya, terlebih lagi, pria itu adalah kliennya. Ia harus bersikap profesional, karena semenjak hari di mana ia bercerai dengan Pram, Raya harus bisa sendiri. Karena ia tidak akan kembali ke rumah kedua orang tuanya.

Bunyi pesan terdengar tak lama setelah ia mengunci pintu balkon dan berjalan menuju kamarnya. Pesan dari Abhi yang berisi tawaran untuk menjadi pendengar kapanpun ia membutuhkan membuat hatinya yang kacau sedikit lebih baik. Setelah mengetikkan kata makasih, Raya mematikan ponsel, dan merebahkan badan merasakan betapa lelah badannya hari ini.

Raya masih bisa merasakan memar di pungungnya, tapi ia tidak berencana untuk mengobatinya. Karena baginya, sakit itu pengingat bahwa ia harus bisa sendiri semenjak hari ini. Ia tak akan menggantungkan diri pada orang orang lain, kecuali pada Tuhan yang selalu ada bersama di setiap langkahnya. 



Mas Abhi yang sexy bikin klepek-klepek glodak is ready 
Happy reading

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top