Bab 1

Bab 1
Sinetron baru

Suasana sepi dan damai di sekitar Raya bertentangan dengan isi kepalanya yang riuh dengan semua pertanyaan, pengandaian, dan pengharapan. Seperti, kenapa Pram melakukannya, seandainya dia lebih memperhatikan suaminya, dan berharap ini semua hanya mimpi. Namun, Raya menyadari itu semua tidak ada gunanya, karena semua sudah terjadi dan ia tidak memiliki kuasa untuk memutar waktu. Meski ia masih berharap bisa kembali ke waktu sebelum semua itu terjadi. Saat ini badannya terasa lelah dan kaku karena sejak hari itu, ia tak bisa tertidur nyenyak. Setiap malam ia selalu gelisah, seakan-akan ada sesuatu yang akan terjadi padanya. Ia menjadi mudah marah, menarik diri dari semua orang, dan berubah menjadi Raya yang berbeda.

Helaan napas panjang menjadi kebiasaannya untuk mengisi pagi, seolah-olah ia membutuhkan banyak tenaga dan kesabaran untuk memulai hari. Raya meraih jam di atas meja nakas. “Masih jam dua. Berarti aku hanya tidur selama tiga jam,” gumamnya pada diri sendiri sebelum menyibakkan selimut dan merasakan dinginnya lantai ketika Raya berjalan menuju kamar mandi.

Tidak ada suara yang terdengar dari lantai satu ketika ia membuka pintu kamarnya dan melangkah menuruni anak tangga tanpa menimbulkan suara menuju dapur. Rumah impiannya, ia desain dengan hati dan Pram—suaminya—membangunnya dengan sepenuh jiwa, tapi kini hancur tinggal puing yang berserakan.

Langkahnya terhenti ketika mendengar erangan tertahan dari ruang kerja Pram. Ia bisa melihat dari celah pintu, pria yang berstatus sebagai suaminya sedang mengerjakan sesuatu. Kacamata bacanya melorot hingga ke ujung hidung seperti kebiasaan pria itu selama ini. Melihat itu, ada gelitik di jemarinya untuk membenarkan letak kacamata tersebut. Namun, Raya membuangnya secepat keinginan itu datang padanya. Karena ia harus menutup mata dan hati, menulikan telinga menghindari semua hal yang berhubungan dangan Pram. Ia membatalkan langkahnya menuju dapur dan kembali naik ke lantai dua untuk mencoba memejamkan mata, mengenyahkan semua pikiran yang datang setelah melihat keadaan Pram beberapa saat lalu.

Suara gaduh dari lantai satu membuat Raya terbangun dan segera menuju kamar mandi mengingat janjinya di kantor pagi ini. Ia mulai mempersiapkan diri untuk bertemu dengan pria yang selama dua bulan ia coba hindari saat keduanya berada di rumah, meski mereka harus bertatap muka setiap kali bertemu di kantor. Raya harus memasang tembok tak kasat mata dengan pengendalian diri tinggi setiap kali mata mereka bertemu pandang. Karena ia tak ingin memberikan tontonan pada siapa pun tentang kehancuran rumah tangganya saat ini.

Tepat pukul delapan pagi, Raya membuka pintu kamar setelah menghela napas panjang beberapa kali hanya untuk mengatur napas dan menata hati. Setelah menenangkan diri, ia bersiap untuk melangkah ketika mendengar suara yang sudah dihapalnya. Seketika langkahnya terhenti di puncak tangga dan menutup erat matanya, berharap ini semua hanya mimpi. Namun, Tuhan bekata lain, ia harus bertemu dengan mertuanya dan melihat raut bahagia yang berusaha wanita itu tutup-tutupi darinya.

“Raya pindah ke kamar atas, Ma.” Raya mendengar jawaban Pram saat kakinya menyentuh anak tangga terakhir. “Aku enggak bisa maksa dia untuk tetap berada di sampingku setelah semua yang aku lakukan. Itu enggak akan adil untuknya.”

“Tapi, Pram ….” Ia tak ingin mendengar apa isi pembicaraan mereka, meski Raya mengetahui apa yang mereka bicarakan. Tanpa berniat untuk menyapa mertuanya terlebih dahulu, ia membelokkan langkah menuju dapur dan menyiapkan sarapannya sendiri.

“Ibu, saya siapkan,” kata Siti yang tergopoh-gopoh menghampiri Raya dengan baki di tangannya.

“Udah enggak apa-apa, kamu layani Mama sama Bapak aja. Ibu bisa sendiri, kok,” cegah Raya ketika Siti mengambil pisau di tangannya. “Siapin sarapan untuk Bapak aja, buatkan madu hangat dulu, semalam Bapak lembur.” Hampir dua bulan setelah Pram menjatuhkan bom yang menghancurkan semua kepercayaannya, Raya tetap memperhatikan kebutuhan suaminya, meski ia menolak untuk tidur di ranjang yang sama karena kalimat yang masih terngiang jelas di telinganya. “Namanya Sari … aku mulai berhubungan dengannya kurang lebih setahun lalu dan … saat ini Sari hamil … empat bulan.”

Ia mengenyahkan bayangan suram sinetron dalam hidupnya sebelum melangkah keluar untuk menghadapi apa pun yang akan Tuhan berikan padanya hari ini. Dimulai dengan Maya—mama mertua—yang selama ini selalu membesarkan hatinya karena tak kunjung hamil. Namun, ia mengerti kegalauan Maya saat ini. Raya menyadari arti kehadiran seorang cucu bagi keluarga Pram. Karena itu ia tak berharap lebih dan tidak akan menyalahkan Maya karena bahagia menyambut cucu dari rahim perempuan yang tidak memiliki ikatan pernikahan dengan anaknya.

“Ma,” sapa Raya sebelum mencium punggung tangan perempuan berambut pendek yang menyambutnya dengan pelukan hangat. Ia menikmati kehangatan yang ditawarkan padanya, karena Raya tak tahu sampai kapan ia akan mendapatkan perlakuan sebaik ini dari mertuanya.

“Raya berangkat dulu, hari ini ketemu klien pagi-pagi,” kata Raya setelah mengendurkan pelukannya. Tanpa menunggu jawaban dari Maya, ia mendekati Pram dan mencium punggung tangan seperti kebiasaannya selama ini. Meski ia tak rela mendekatkan kening ke bibir suaminya, tapi Raya tetap melakukan itu.

“Aku  berangkat dulu,” katanya pelan tanpa memandang Pram yang berdiri kaku.

“Raya, Sayang, tunggu!” cegah Maya yang menahan lengannya. Wangi parfum hadiah ulang tahunnya beberapa bulan lalu tercium di hidungnya. Melempar ingatannya kembali pada malam ketika Pram terlambat datang ke restoran tempat mereka berjanji untuk makan malam bertiga, dan Raya tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya-tanya. Apakah malam itu Pram terlambat karena perempuan itu.

“Mama bisa bicara sebentar?” tanya Maya membuyarkan lamunannya.

Raya menggeleng pelan dan melepas cengkeraman di lengannya. “Maaf, Ma. Aku benar-benar terlambat dan jujur saja, saat ini aku belum siap untuk mendengarkan apa pun tentang Mas Pram dan juga bayi dalam kandungan perempuan itu.” Ia mencoba bersenyum meski tidak sampai menyentuh matanya, “Lakukan apa yang menurut Mama benar. Jika nanti aku siap untuk mengambil sikap, Mas Pram dan Mama adalah orang pertama yang mengetahui itu. Raya pamit.”

Ia membanting pintu mobil berwarna hitam yang sudah menjadi teman perjalannya selama beberapa tahun, dan membiarkan air matanya luruh perlahan. Raya tidak menahan sakit yang melumpuhkan dan membuatnya tak bisa tersenyum lepas. Selama lima menit, ia membiarkan air mata menguasai dirinya sebelum meraih tisu, menghapus sisa air mata, dan memasang kacamata hitam besar menutupi matanya yang membengkak sebelum berlalu meninggalkan semua masalahnya di rumah.

Perjalanan dari rumah ke kantor yang terletak di ujung berlawanan dengan tempat tinggalnya memberi Raya waktu untuk mepersiapkan diri sebelum bertemu dengan kliennya pagi ini. Ia tidak berbohong saat mengatakan harus rapat, karena klien kali ini hanya memiliki waktu pagi ini sebelum harus pergi ke luar kota.

“Halo,” jawab Raya saat ponsel yang tersambung dengan audio mobil berbunyi.

“Pagi Mbak Raya, saya Ayu. Mohon maaf banget ini telepon pagi-pagi. Sepertinya saya enggak bisa ke kantor Mbak, gimana kalau ketemu di lokasi saja? Itu kalau Mbak enggak keberatan.” Permintaan Ayu membuatnya ingin berteriakYes. Membayangkan keluar dari Surabaya untuk meninjau lokasi yang terletak di kota Batu merupakan pilihan yang bagus, karena ia tak ingin bertemu Pram setelah  kecanggungan mereka beberapa saat lalu.

“Bisa, Mbak Ayu. Bisa share lokasinya,” pinta Raya tanpa ada keraguan sama sekali dan mengarahkan mobil menuju jalan Ahmad Yani sebelum masuk ke jalan tol. “Maaf, kalau saya sedikit terlambat enggak apa-apa, ya?”

“Enggak masalah, Mbak Raya. Seharusnya saya yang minta maaf karena selain batal ke kantor Mbak, saya juga enggak bisa ketemu langsung hari ini.”

“Lho, lha terus saya ketemu siapa nanti?” Meski ia tahu Ayu hanyalah perantara, karena dari pesan yang ia terima, vila itu bukan untuk dirinya. “Atau kita reschedule aja enggak apa-apa.”

“Nanti ketemu sama atasan saya, Mbak. Jadi lebih enak nanti. Mbak Raya enggak keberatan, kan?”

Raya menjawab bertemu dengan Ayu atau atasannya bukan masalah baginya sebelum memutuskan sambungan telepon dan menepikan mobil untuk membaca pesan yang baru saja masuk. Lokasi yang harus ia tuju pagi ini dan juga nomor telepon atasan Ayu yang harus dihubunginya sesampainya ia di lokasi.

Bayangan menghabiskan waktu di luar kantor jauh dari Pram dan masalah rumah tangga mereka, menghapus tangis dan sedih yang beberapa saat lalu menghiasi wajahnya. Meski ada rasa gugup tak pernah pergi ke luar kota sendiri, karena Pram atau salah satu anak buahnya selalu bersamanya setiap kali harus meninjau lokasi di luar Surabaya. Setelah mengetikkan pesan pada Sasa—asistennya di kantor—Raya kembali melajukan mobil menuju jalan tol yang mulai ramai.

Setelah menempuh waktu hampir dua jam, Raya memasuki kota yang menjadi tempat tujuan wisata bagi warga Surabaya dan sekitarnya. Udara yang terasa lebih dingin dibanding kota kelahirannya membuat ia ingin berlama-lama tinggal di sini, dan mendinginkan kepala dari semua masalah yang mengisi hidupnya selama dua bulan terakhir.

Setelah mengikuti arah sesuai peta yang didapatkannya, Raya sampai di area yang tidak terlalu jauh dari tempat wisata yang selalu ramai dikunjungi. Ia menghentikan mobil dan menghubungi nomor yang sudah disimpannya dengan nama klien Batu.

“Halo, selamat pagi, saya Raya yang akan meninjau lokasi untuk Ibu Ayu,” sapanya tanpa menunggu ada suara yang menjawabnya begitu terdengar teleponnya tersambung.

“Hallo,” katanya lagi.

“Hallo Ibu Raya, saya Abhimana, atasan Ayu. Posisi Ibu di sebelah mana sekarang?” Raya terdiam mendengar suara asing yang terdengar lembut mengisi ruang dengar mobilnya. Suara yang membuatnya merasa nyaman, seakan pulang ke rumah. Untuk sesaat ia melupakan tujuannya menelepon lelaki bernama Abhimana tersebut, hingga panggilan itu memecah lamunannya.

“Hallo, Bu Raya!”

KaryaKarsa
Google Playbook ✔
Buku cetak (wa ke 0821-3928-7354) ✔

Yang pengen baca cerita Raya-Abhi bisa pilih salah satu di atas. Versi KK, eBook ataupun cetak, semuanya sama. Beda di bookmarks aja sih 😁😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top