Part IV. Death and Heaven
.
White designate death and seeing blue signifies a heavenliness ...
.
Sepasang kupu-kupu bersayap emas dan biru terbang dengan luwes di atas bebungaan yang mekar. Hangat mentari menyorot dari celah pepohonan rindang. Sesekali diiringi oleh nyanyian burung, rimba terasa begitu harmonis. Meski pagi itu hutan semarak dengan keindahannya, bagi Sesshoumaru yang terhanyut oleh arus pemikiran, panorama di sekelilingnya hanyalah cokelat dan hijau yang kabur. Tampang tampan yang jarang tersentuh oleh ekspresi itu kini dilanda bimbang.
Puluhan menit kesatria itu membelah belantara, yang memenuhi benaknya adalah citra gadis tertentu: helaian kelam yang membingkai paras manis, safir biru kelabu yang hampir selalu terlihat sendu, senyum hangat yang bertentangan dengan pancaran tatapannya.
Secara konstan, kepala Sesshoumaru diisi oleh pelbagai macam reka ulang kejadian yang ia alami terkait seseorang: tatkala ia pertama kali melihat perempuan itu berlarian di tengah hujan, sikap menantangnya yang tak kenal gentar, keberanian gadis itu mengusik sesuatu di dalam dirinya. Ketika miko itu terbalut oleh pakaian yang ia pinjamkan, batinnya tergerak. Dan saat ia memergoki Kagome menatapnya diam-diam, ia terpikat.
Samurai itu menghentikan lajunya secara mendadak dan menatap sekitar. Seumur hidup, ia meyakini bahwa dirinya adalah seorang prajurit yang penuh perhitungan, tajam pemikiran, bersikap tenang dan tidak gegabah. Satu-satunya hal yang bertahun-tahun menjadi obsesinya adalah kekuatan. Ia senantiasa berupaya untuk menguasai banyak hal demi mewarisi kekuasaan sang ayah. Ia tidak pernah bertindak bodoh demi apa pun jua. Ia selalu mengantisipasi rantai kejadian agar segala sesuatu berjalan sesuai dengan keinginan.
Sungguhpun begitu, semua pendapat si kesatria tentang dirinya sendiri benar adanya. Hanya saja, si sulung Taisho adalah pemula dalam persoalan asmaraloka.
Benar, lelaki itu ahli membangkitkan nyali, tapi sama sekali amatir dalam hal yang menyangkut cinta kasih. Pria itu tidak pernah mengantisipasi satu hal: Sesshoumaru telah jatuh hati.
Dari keseluruhan penampilan, hanya sepasang mata samurai itu yang terpajang. Kedua manik tajam itu hanya memancarkan keheranan tak terkira atas pemandangan yang ia saksikan; Di bawah tebalnya gerombolan awan putih serta langit biru yang terbentang, kastil tua itu kehilangan sentuhan keangkeran. Yang terhampar hanyalah estetika bangunan tua di tengah asrinya alam.
Iya, entah bagaimana, Sesshoumaru menyimpang dari tujuan awal dan usai memintas hutan. Dengan bodohnya, ia telah mengarahkan kuda yang ditunggangi ke tempat ia bertemu dengan seorang miko bernama Kagome.
Prajurit itu tidak tahu berapa lama waktu yang berlalu saat ia berdiri di tempatnya, di tengah kesenyapan, ketika suara terkesiap yang familiar itu mencapai pendengarannya.
Tatkala Sesshoumaru menoleh, di sanalah sosok yang menjadi tambatan asmara, berdiri di tengah gerbang dengan mata yang membulat atas eksistensinya.
Apakah itu sebuah kebetulan? Ataukah takdir yang digurat oleh Para Dewa? Apapun itu, yang terjadi pada mereka adalah sebuah guncangan. Guncangan menyenangkan yang membawa persetujuan dan pertentangan di dalam inti jiwa keduanya.
Samurai itu membuka tali di dagu dan yang ada di belakang kepala dengan satu tangan. Pelindung kepala dan wajah kini ia tumpangkan di atas pelana.
Kagome mengeratkan pegangan tangan kiri pada barang yang dipeluknya, ia membetulkan letak busur di bahu kanannya. Sembari mendekat, ia meminta keterangan, "Apa yang kau lakukan di sini?" Kakinya berhenti ketika jarak mereka sudah selangkah.
Sesshoumaru diam, tapi air mukanya menyiratkan bahwa ia pun tidak memiliki balasan atas kalimat yang diajukan.
Tanpa menunggu sahutan dari laki-laki itu, dengan merah padam di pipinya, miko itu berkata lagi, "Sesungguhnya, aku senang dapat bertemu lagi denganmu." Ia meletakkan harta benda yang ia bawa di atas rerumputan.
Kedua tangan saling meremas tapi dengan suara mantap Kagome berkata sambil membungkuk dalam, "Aku ingin berterima kasih atas segala bantuan yang telah kau berikan, Samurai-sama." Reaksi yang diterima gadis itu hanyalah sebuah anggukan, tapi itu cukup. Tak mampu mengelak, dari semua emosi yang mendera, ia merasa bahagia atas pertemuan yang diberikan oleh Kami-sama.
Ingatan Kagome atas apa yang terjadi setelah ungkapan rasa syukurnya memudar. Sadar-sadar, ia sudah berada di dalam rengkuhan, dengan mata terpejam, dan harum khas sang samurai yang memenuhi penciuman.
Bukti berharga yang ditenteng sang prajurit jatuh ke tanah. Sesshoumaru dan Kagome tak peduli yang lain selain meredam kerinduan. Mereka ingin meyakinkan diri bahwa yang ada di hadapan adalah kenyataan dan bukan khayalan. Inisiatif datang secara bersamaan, pertautan kali pertama bagi keduanya terjadi dengan teramat lembut dan perlahan.
Alam seakan berkomplot untuk mengalahkan sisa kewarasan yang bertengger dalam diri sang kesatria dan si miko jelita. Hawa dingin yang dibawa angin pagi hari menciptakan desakan untuk berdekatan, tidak dengan sembarang orang, tapi dengan sosok yang menghipnosis seluruh indra mereka.
Ketika Sesshoumaru melerai diri, ia berkata dengan suara rendah, "Kau sungguh sebuah kelangkaan." Kelopaknya menyapu pipi Kagome ketika ia berbicara. "Samurai ini tidak pernah tergoda sebelumnya." Cengkeraman di pinggul gadis itu menguat.
Kagome menolak, kemudian mundur setapak. Tangan miko itu sedikit bergetar selama mendorong dada si pria. Lelaki itu tidak menyerah, ia justru mencium kening gadis itu. Kagome menutup kelopak matanya. Bibirnya membentuk sebuah garis. Keinginan dan penyangkalan bergulat hebat di dalam benak.
'Bagaimana mungkin?'
Bertahun-tahun gadis sederhana itu mendengar anggapan hampir semua orang di desanya, 'Tidak ada kebaikan yang akan datang padamu jika itu menyangkut samurai.' Dan sekarang, dengan entengnya pendapat itu ia abaikan.
'Bagaimana mungkin?'
Ia yang sejak kecil dididik untuk menjadi pribadi teguh, miko berpendirian kuat, mampu menjaga diri sendiri, dengan mudah tunduk pada pria yang belum lama dikenalnya? Apa yang sebenarnya ia pikirkan? Kagome merasa dirinya begitu dungu telah menyerahkan ciuman pertamanya pada pria yang bahkan namanya saja tidak ia tahu.
Kendati demikian, dengan semua emosi anyar yang menggenang di dalam sanubari, bagaimana caranya ia bisa meraba mana yang benar dan mana yang salah?
Dengan penglihatan terpejam rapat dan kepala menengadah pasrah, ucapan miko itu bertentangan dengan apa yang lubuk hatinya dengungkan, "Kita tidak seharusnya melakukan ini."
Sang prajurit melontarkan jawaban khas tanpa kata. Dengan pelan, tangan kanan Sesshoumaru terangkat dan mengusap lembut pipi kiri gadis itu.
Manakala kulitnya disentuh, Kagome membuka mata. Pangkal alis pria itu bertemu di tengah. Paras rupawan itu didera oleh kebimbangan. Ia yakin kesatrianya juga merasakan polemik yang sama: Ada keraguan dan kehendak yang saling bertentangan.
Seketika, pendeta wanita itu merasa gelisah akan pengandaian. Sesungguhnya, ia takut kehilangan dan khawatir akan akhir yang menghadirkan penyesalan.
Di momen berikutnya, kesangsian sang miko pupus sudah.
Jika skenario itu digurat menggunakan tinta emas di atas intan takdir oleh Mereka yang berada di Takamagahara, tentu saja semuanya mungkin!
Bagaimana tidak! Sejak kali pertama ia melihat pria itu, secuil hati telah ia beri. Ketika samurai itu sudi melepas zirah dan meminjamkan selapis bahan untuknya, ia sudah bersedia merelakan segenap rasa. Saat bahaya dalam wujud hewan buas disingkirkan dari hadapan, ketika tubuh menjulang laki-laki itu dengan sengaja menutupi figurnya yang minim pakaian dari sang biksu dan belasan pasang mata lawan jenisnya di desa, dan tatkala pria itu menyerahkan alas kakinya di perut belantara. Pun, tanpa syarat, Kagome tulus mempersembahkan seluruh cinta.
Momen berikutnya, gadis itu menyerah. Kagome melebur ke dalam pelukan dan meresapi rasa nyaman yang ditawarkan.
Kedua tangan halus itu hinggap di punggungnya, figur mungil itu luruh dalam dekapannya. Sesshoumaru menarik napas panjang, menghirup aroma unik yang dimiliki gadis itu. Kala itu, ia terlarut oleh luapan perasaan.
'Bagaimana mungkin?'
Sesshoumaru tak habis pikir bagaimana mungkin ia bersyukur atas banyaknya manusia yang menjadi korban siluman telaga? Mengapa kakinya membawanya kembali ke tempat pengalaman mistis itu terjadi? Kenapa hatinya terasa berat untuk pergi? Benarkah yang ia rasakan adalah definisi cinta sejati yang digubah para pujangga ataukah nafsu sementara belaka?
Begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang tak sanggup ia berikan jawaban berjejal di dalam otaknya.
Di tengah pergolakan nurani, ia memanggil nama sang miko, "Kagome ... "
Yang dipanggil lekas mengangkat paras tanpa melepas peluk. Sesshoumaru menangkup pipi gadis itu. Jemarinya bergerak turun, menelusuri rahang, dagu, lalu berhenti di bibir bawah pendeta shinto tersebut.
Di sisi lain, Kagome bagai takluk pada belaian. Mulutnya sedikit terbuka, diam-diam menyangka datangnya ciuman kedua. Ketika yang dinanti tak jua tiba, tanpa pikir panjang gadis itu berjinjit. Bibir mereka bertemu dengan canggung setelah hidung mereka berbenturan.
"Maaf," ucap gadis itu malu-malu.
"Hn," sahut Sesshoumaru sebagai tanda persetujuan. Tangan kanan pria itu merayap ke tulang selangka. Lagi, ia mengecup kelopak liat milik sang miko.
Tepat saat itu juga, segala perkara di dalam kepala sang samurai elit lantas labas. Ia enggan meninggalkan tempat itu karena tak ingin peristiwa kemarin cuma menjadi pengalaman, ia tak ingin pertemuan mereka hanya sebatas kenangan. Lubuk hatinya meyakini bahwa ia rela melakukan segalanya untuk dapat berjumpa dengan gadis itu lagi. Cinta atau nafsu tak lagi ia mengindahkan, yang Sesshoumaru tahu bahwa, ia menginginkan sang gadis pujaan.
Seraya tersenyum, Kagome meniru Sesshoumaru. Prajurit itu dapat mendeteksi getaran tipis pada bibirnya saat gadis itu bergumam dalam kebahagiaan. Hanya dengan mendengar dan merasakan hal itu, degup jantung Sesshoumaru sontak meningkat.
Tangan pria itu menjalar sebelum bersemayam di bagian belakang kepala Kagome, sedikit menekan karena tidak rela melepaskan dan berniat memperpanjang pertautan. Tubuh mereka melekat erat tanpa jarak.
Tangan Kagome merenggut sejumput hita tare yang menyembul dari balik pelindung, lalu sedikit menarik diri agar celah di antara mereka cukup untuk bertemu tatap. Keduanya saling pandang cukup lama. Air muka pria itu menyala oleh renjana, netra cokelatnya bergelora. Fakta bahwa hasrat laki-laki itu tersulut olehnya membuat perut Kagome terpiuh oleh kekuatan tak kasatmata.
Manakala miliknya bertemu dengan sepasang berlian indah miko tersebut, ia paham arti tatapan yang disertai dengan semu di pipi gadisnya. Mengerti bahwa perasaannya berbalas dan keinginannya disambut. Sontak, ego Sesshoumaru membumbung dan gairahnya melambung.
Prajurit itu menuntun sang miko berjalan masuk ke dalam kastil utama. Di bawah atap, semua benda bawaan di letakkan di pinggir ruangan. Sesshoumaru segera merangkul kekasihnya. Senyum gadis itu merekah indah saat sang kesatria mengecup dahinya penuh makna.
Ketika membuka temali armor yang saling terkait, Sesshoumaru menahan keengganannya untuk memberikan pilihan. Namun, pada akhirnya, laki-laki sejati itu menghentikan aktivitas lalu berucap, "Jikalau kau tidak berkenan, katakan berhenti, maka samurai ini akan menuruti."
Miko muda yang menunduk itu menggerakkan kepalanya searah gravitasi tanda mengerti.
Samurai itu melucuti lapis demi lapis zirahnya. Kimono putih dan merah sederhana yang menjadi penanda gelar sebagai perawan kuil pun tanggal. Beralas bahan yang menjadi bagian hadiah penduduk desa, dengan kepolosan yang tersandang, keduanya berhadap-hadapan. Rasa malu mewarnai roman, telinga, hingga leher gadis itu ketika sang pria menatapnya tanpa jeda. Kagome yang duduk menyamping segera memutar badan dan memunggungi Sesshoumaru.
Perilaku malu-malu gadis itu membuat raut prajurit itu pecah oleh senyuman. Sesshoumaru berkenan menghamba pada lekuk anggun yang dilihatnya. Laki-laki yang sudah bertumpu pada kedua lututnya kian mempersempit ruang di antara mereka.
Tangan besar sedikit kasar itu menyentuh perlahan lengan kanannya, Kagome menutup mata. Yang lain mengusir rambut panjangnya yang tergerai ke bahu kiri. Gadis itu mampu merasakan Sesshoumaru mendekat. Tanpa aba-aba, bibir samurai itu merayap di tulang belikat kanannya.
Sebuah kecupan ringan kemudian bersarang di leher Kagome. Seluruh rambut kecil di tubuhnya berdiri serentak. Manakala lidah pria itu menyapu sedikit bagian di bawah telinga, miko itu tak kuasa untuk merintih. Tangan lain meraba bagian belakang tubuhnya, pelan menuju legok pinggul. Sentuhan itu naik lagi, sebelum turun lalu meremas pinggangnya. Demi menekan denyut di bagian bawah, gadis itu mengatupkan kedua paha kuat-kuat dan menyandarkan punggung pada dada bidang yang terasa panas di belakangnya.
Tangan kiri Sesshoumaru mengelus lengan kiri Kagome, sedangkan yang kanan melilit di perut ramping. Wangi alami yang menguar dari gadis pemberani itu merasuk ke dalam kalbunya. Kulit miko itu terasa halus di tangannya. Keindahan tanpa balutan bahan itu begitu memesona. Tangannya ingin terus menjamah, bibirnya ingin terus mengecup, dan lidahnya hendak mencicipi titik tersembunyi milik perempuan itu.
Sang samurai sontak mengubah rencana. Dengan tergesa-gesa ia memutar dan menelentangkan gadis itu di lantai. Kini, miko muda itu terbaring pasrah di atas hamparan sutra berwarna biru dengan kedua tangan di sisi kepala.
"Kagome!" panggil pria itu dengan suara dalam yang kian terdengar berat. Sosok yang dipanggil langsung merespons, sepasang safir biru kelabu itu berusaha menerka atas apa yang akan diucapkan.
Walau cara mereka kurang sesuai dengan tata krama dan lebih dikuasai oleh berahi, tapi sang prajurit berjanji pada diri sendiri bahwa ia akan tetap memperlakukan miko itu dengan segala hormat dari dasar hati. "Sesshoumaru, itu adalah namaku."
Gadis itu mengangguk lemah dengan bulir air di ekor mata. "Sesshou ... maru," terbata, Kagome menggaungkan nama sang samurai dengan keharuan.
Diawali dengan pertukaran sentuhan halus yang hanya dapat diartikan sebagai pujian. Keduanya bergantian menghujani sosok yang dicinta dengan ciuman mesra penuh kekaguman.
Pertautan itu menjelma menjadi lumatan liar. Kemudian, pria itu menghujani buah dada sang miko dengan kecupan. Cumbuan kini melibatkan lidah, secara bertubi-tubi jilatan dan gigitan dilayangkan.
Hawa kastil terbengkalai laksana menipis. Urgensi yang dirasakan samurai dan miko itu mengangkasa. Kedua kaki Kagome bertaut di pinggul Sesshoumaru. Akhirnya, kesatria itu mengarahkan kejayaannya pada area vital sosok kirana yang dipuja.
Hanya sesaat, tarikan udara kuat yang diisap melalui mulut oleh perempuan itu menjadi pertanda untuk mengambil jeda. Kagome yang meregang dengan tidak nyaman menahan jeritan dengan menggigit bibir bawah kencang-kencang.
Demi meringankan rasa sakit, Sesshoumaru lekas mencium leher gadis itu dengan bibir terpisah. Ketegangan tak beralih sebagai aral, senyum miko itu terpatri di tengah udara yang terbatas. Sang samurai menembus selaput nirmalanya dengan perlahan, detik per detik, untuk inci demi inci.
Tangan gadis itu melilit leher dan merengkuh Sesshoumaru lebih rapat. Semakin dalam pria itu menghunjam, kian menusuk pula kuku-kuku pendek si pendeta wanita di bahu tegapnya.
Waktu berselang, pria itu telah terselimuti dengan lengkap. Kini, Sesshoumaru meluruskan lengan demi menatap Kagomenya seorang. Rambut panjang sang kesatria membentuk tirai di sekeliling si pendeta wanita.
Sejenak, mereka bertukar pandang. Sebagai tanda kesiapan, miko itu mengangguk kecil seraya mengangkat bagian bawah tubuh, meminta lebih. Dengan sepenuh hati, pria itu pun memberi. Desah panjang dan desis tertahan menyelingi tiap tikaman. Sensasi yang dihasilkan sungguh tak terperi.
Si prajurit dan sang miko muda bernapas cepat dengan mulut terbuka. Detak jantung mereka bertalu-talu begitu keras seakan hendak meninggalkan rongga dada. Keduanya tersengal-sengal. Tubuh perkasa dan figur gemulai berlapis peluh itu melekap, berkelindan dalam persetubuhan.
"Ngh, Sesshou ... " nama itu tak terselesaikan kala sang prajurit menopangkan kaki-kaki Kagome di kedua bahu bidangnya.
Tidak pernah Sesshoumaru merasakan apa yang ia alami sekarang. Dirinya terpenjara dalam kehangatan, gadis itu membawanya pada sensasi mengawang. Tidak juga ia pernah membayangkan bahwa ada sesuatu seperti yang ia rasai saat ini, ia terkekang oleh adiksi dan tercekik dengan rasa panas yang sungguh memabukkan. Bahkan rintih merdu yang terselip dari mulut gadis itu berhasil membuatnya bergidik kesenangan.
Sedangkan Kagome, ia tak mampu berbuat banyak. Tubuhnya bertekuk sedemikian rupa, kedua tangannya ditahan oleh pria itu. Seluruh raganya berdenyar-denyar pada tiap guncangan yang diciptakan sang kesatria. Ia tidak memiliki kuasa selain merasa dan tenggelam dalam euforia seksual semata.
Friksi yang dihasilkan membuat keduanya seakan hendak meledak. Sekujur tubuh mereka bagai tersengat oleh arus yang sungguh dahsyat. Semua yang berasal dari sang pasangan menggiring keduanya pada kenikmatan.
Tubuh maskulin itu pada akhirnya mencapai titik zenit, begitu juga liuk lampai yang ada di bawahnya. Mereka berdua mengejang bersamaan kala mengarungi gelombang sensasi yang hanya mampu dijabarkan dengan nirwana.
Sembari terengah-engah, Kagome menempelkan keningnya di bahu Sesshoumaru. Keheningan mengisi. Selepas bersebadan, hormon kebahagiaan menyebar di seluruh raga dua insan. Keduanya masih tenggelam dalam pijaran kepuasan yang diberikan oleh keintiman. Itu berlaku untuk belasan menit lamanya, tak ada yang rela untuk melerai.
Hingga pada akhirnya, Sesshoumaru bergeser lebih dulu. Ia berbaring miring dan menumpu badan dengan satu lengan. Tangannya meraih hita tare miliknya lalu menyelimuti lekuk feminin itu. "Simpanlah!" titahnya.
Kagome meraih bahan tersebut dan menutupi bagian terpenting tubuhnya. Gadis itu mengangkat tangan kanan, ia menghalau sekelumit rambut yang melekat di pipi lelaki itu yang basah oleh selapis keringat. Samurai itu menolehkan kepala sehingga mampu mencium telapak tangan sang miko.
Seraya menatap penuh makna jendela jiwa si pendeta wanita, pria itu berkata dengan penuh kesungguhan, "Sesshoumaru ini akan kembali untukmu."
Untuk sekian kali, Kagome hanya mampu menanggapi dengan sebuah anggukan.
Setelah itu, Sesshoumaru membalik badan untuk mengenakan pakaian. Barulah gadis itu bangun dari tempatnya berbaring.
Sesshoumaru masih berkutat dengan baju zirahnya tatkala Kagome selesai memakai hita tare dengan lambang kebesaran klan Taisho. Tanpa kata, gadis itu maju dan menolong laki-laki itu memasang kote.
Berlapis-lapis armor sudah terpasang. Layaknya mematri paras gadis itu dalam sukma, lelaki itu memandangi sang miko dalam-dalam.
Beberapa saat lamanya, Sesshoumaru mengakar di tempat. Kakinya terasa berat. Benaknya terisi dengan kegundahan hanya dengan berpikir bahwa ia akan meninggalkan gadis itu sendirian di tengah hutan. Ingin sekali ia membawanya serta ke kediaman. Akan tetapi, dengan semua hal yang telah terjadi, hal itu belum layak dilakukan. Ia memiliki sisa tugas yang harus dituntaskan. Setelah itu, barulah ia mampu menjemput sosok di hadapan yang layak menyandang gelar 'calon pasangan'.
Sebagai jawaban atas ikrar yang pria itu lisankan selepas persenggamaan, Kagome berucap setara bisikan, "Aku akan menunggumu. Kembalilah ke desa lembah pada purnama berikutnya, aku akan berada di sana."
Puas dengan jawaban yang diterimanya, samurai gagah itu mulai melangkah.
Jantung Kagome bagai diremas dari dalam, dadanya sakit menatap punggung lelaki itu. Tak sanggup memandang kepergian sosok yang membuatnya secara rela menyerahkan harta paling berharganya sebagai seorang wanita, Kagome menunduk. Gurat melingkar pada kayu lapuk berwarna cokelat kehitaman pada alas bangunan menjadi titik perhatiannya untuk waktu lama.
Suara langkah kaki membuat air melapisi penglihatannya, Kagome mengerjapkan mata. Tak kuasa mencegah, kristal cair berjatuhan ke pipinya. Ia pun memalingkan muka ke kanan, pada waktu itulah pendeta wanita itu menyadari ada satu barang milik prajurit yang tertinggal dan di saat yang sama, Sesshoumaru kembali mengingat bawaan penting yang sempat ia lupakan.
Tanpa sebersit pikir pun, tangan kanan putri petani itu segera meraih benda tersebut sambil berseru, "Tunggu!"
Kemudian, semua seakan terjadi secara bersamaan: Pria itu memutar badan. Tangan kanan gadis itu sudah terangkat sejajar dengan bahu, hendak menyerahkan. Satu dari dua ikatan pembungkus itu melonggar, hal yang janggal sontak terpapar.
Dikarenakan terkejut sekaligus penasaran, otomatis pusat fokus miko itu tersedot pada rambut manusia yang menyembul dari balik kain. Selama tiga detik yang terasa seperti berjam-jam, matanya terus menyelidik. Bagian bawah bungkusan biru itu berwarna ungu kecokelatan.
Tak diragukan lagi, yang ada di tangan Kagome adalah penggalan tubuh manusia. Gumpalan surai hitam nan lebat itu terlihat kaku, tapi ada hal lain yang membuat gadis itu membeku. Ia melihat kain putih yang biasa diikat oleh para petani di kepala mereka agar terlindung dari sengatan matahari.
Tidak, Kagome tidak lupa bahwa warga di wilayahnya mempunyai masalah dengan para samurai sejak lama. Ia hanya tidak mau menerima bahwa Sesshoumaru ada sangkut paut dengan hal itu.
Di tengah kekalutan, sejumput asa tersisip di sanubari. Lubuk hati miko itu terus mengulang bahwa apa yang di depan mata tidak seperti yang ia duga. Setelah mengumpulkan nyali, gadis muda itu memaksa diri untuk mengintip.
Celakanya, harapan tidak seperti kenyataan. Asa usai musnah, fakta di depan mata muskil berubah. Kedua kakinya seakan tak lagi bertulang tatkala ia mengenali kain putih usang dengan secarik tambalan hijau yang pernah Kagome ambil dari kimono lamanya.
Tanpa membuka ikatan, dengan panik Kagome menarik paksa kain itu lebih lebar lagi. Kedua mata Kagome membelalak tatkala wajah tak bernyawa itu adalah ...
"Tou-san?!" lirihnya.
Kagome yang ruai pun ambruk di lantai lapuk. Memori laksana terulang di depan mata, senyum bijak yang disertai kerutan, pancaran mata teduh, kata-kata arif yang senantiasa menghalau risau. Kagome mengingat jelas gurat kedamaian di air muka sang ayah beberapa hari lalu, saat mereka berdua menyantap nasi hangat hanya dengan kecap.
Miko muda itu mengenang masa kecil, ia yang selalu mengekor ke mana pun ayahnya pergi terus dijaga baik-baik. Semua orang dewasa di desa tahu bagaimana pria penyayang itu berusaha keras membahagiakan putri semata wayangnya sendirian sepeninggal sang istri yang wafat saat melahirkan.
Betapa Kagome menyayangi satu-satunya orang tua yang ia kenal.
Bibir gadis itu bergetar, tanpa ia sadari wajahnya telah basah. Begitu banyak pengorbanan yang telah diberikan pria tua itu untuknya seorang. Kesadaran seakan membenamkan Kagome ke dalam jurang kelam tanpa dasar. Yang ia lihat, dengar, adalah nestapa. Hatinya terluka, patah, dan berdarah.
Getir tak lagi tertanggung, gadis yang nelangsa itu berteriak histeris. Sambil memeluk bungkusan itu, terus-menerus ia memanggil lantang ayahnya dengan parau. Dunianya luluh, segenap mimpinya luruh. Seluruh daya usai terkuras, tapi duka tak jua binasa. Mulutnya terbuka, ia meraung tanpa suara. Parasnya berkerut menahan derita yang tak terkira.
Sesshoumaru memejamkan mata sesaat dan yang terbayang adalah akhir dari penyergapan yang menimpanya.
Para pemberontak yang tersisa hanya terdiam ketika melihat ia dengan sengaja membuka helm beserta topeng pelindung wajah dan lehernya. Pada waktu itu, si sulung Taisho ingin mereka mengingatnya, paras yang merepresentasikan hukuman bagi manusia berotak dangkal dan mencoba untuk melawan.
Dengan salah satu kaki, Sesshoumaru membalik tubuh telungkup itu. Lalu, ia menancapkan ujung katana ke tanah dan mengeluarkan—senjata yang paling sentimental bagi semua samurai—wakizashi dari sarungnya. Tangan kiri Sesshoumaru menahan kepala, dengan lutut kanan ia menahan badan serta lengan, dan tangan yang lain bergerak cepat membuat sayatan di leher si Kepala Desa.
Belum sepenuhnya jiwa meninggalkan raga korban saat kesatria itu memulai. Cairan merah pekat nan hangat menyembur deras, sebagian besar percikan membasahi rupa tampan sang jagal. Pada akhirnya, prajurit itu berhasil melepaskan kepala dari badan lawan tanpa ada perubahan ekspresi terkecil pun di mukanya.
Pemberontak yang tersisa memandang dengan gamang ketika Sesshoumaru mengelap bilah senjatanya di baju mayat pemimpin mereka. Tak ada yang berani mengambil langkah. Sebagian yang menyaksikan jatuh di atas kedua lutut dengan mata melebar. Separuhnya hanya mematung memperhatikan punggung si samurai muda yang pergi dengan santai sambil menenteng kepala sang ketua yang masih mengucurkan darah segar.
Sebagai prajurit sejati, hal itu harus dilakukan. Sebagai bukti atas keberhasilannya memberantas para pembangkang, Sesshoumaru wajib membawa potongan kepala itu saat menghadap sang atasan. Sebaliknya, jika ia gagal dan ditangkap oleh para pemberontak, maka sebuah keniscayaan bahwa ia akan menjadi eksekutor bagi diri sendiri: Wakizashi miliknya sudah pasti akan merobek perutnya.
"Bagaimana mungkin?" tanya Kagome dengan suara serak di tengah sedu sedan.
Kalimat pilu miko itu membuat Sesshoumaru bersarak dari renungan. Pria itu bergeming menyaksikan gadis yang ia idam terisak dan merana. Namun, ia lekas mengerti situasi. Takdir telah mempertemukan mereka secara istimewa, semara yang terjalin tak dapat dihindari. Sayangnya, Para Kami-sama tidak hanya menggubah romansa, tapi juga tragedi.
Masih dengan tetes kesedihan yang bercucuran, Kagome mengalihkan pandang. Sekarang, ia menatap lurus laki-laki itu dengan mata nyalang. Kengerian dan teror terpancar dari tampangnya dengan gamblang.
Sang ayah tidak baik-baik saja di desa. Sukar dipercaya.
Kehidupannya mustahil bisa seperti sediakala. Ia sudah sebatang kara.
Kagome melepaskan bungkusan yang ada di pelukan, demi memperlebar jarak, ia berlari secepat kilat ke belakang seraya meraih busur dan tempat anak panah. Begitu pula Sesshoumaru, ia memasang kuda-kuda dengan ibu jari di tsuba.
Terlampau tragis, kisah romantis harus ditutup dengan ironis.
Celakanya, tiada waktu untuk menyerana. Asmara harus ditandaskan. Ada hutang darah yang wajib dibayarkan.
Tak ada pilihan, Kagome merasa harus membunuh pria pertama dan satu-satunya yang ia cinta.
Busur direntangkan, sasaran ditetapkan. Bilah tajam katana pun diacungkan.
Bulir kristal terakhir meluncur dari sudut mata seiring dengan anak panah yang dilesatkan.
"Maafkan aku ... " ucap lirih si perempuan.
.
~Fin~
.
Post at FFN: 20/03/2020
Repost: 06/03/2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top