Part III. Red and Yellow for the courage
.
Seeing Blue
.
Masih tidak ada respons. Tanpa pikir panjang, Sesshoumaru mengangkat dan mengayunkan pedangnya. Bunyi nyaring senjata yang berbenturan memenuhi ruangan. Bagian lengan kiri pakaian perempuan itu sedikit robek, tapi kulitnya tidak tersentuh karena terlindung oleh wakizashi yang terikat di balik kimono.
Sang gadis masih dalam posisi semula tapi suara decak jengahnya cukup keras hingga mencapai telinga si kesatria.
Saat mengunci pergerakan, Sesshoumaru memang sudah menyadari bahwa lawannya menyembunyikan senjata di lengan kiri. Di beberapa keadaan, perempuan itu bisa saja melukainya, tapi tidak dilakukan. Karena faktor itu jua, sang samurai semakin yakin bahwa orang tersebut menyerangnya hanya karena gerak-geriknya dikendalikan oleh maujudat lain.
Prajurit itu mengutarakan ketidaksabarannya, "Jika kau tidak segera bangkit dan memberikan penjelasan maka ... "
Gadis itu mengerang sebelum memotong ucapan si prajurit, "Kau tidak akan segan-segan membunuhku, begitu?" kalimat tanya itu diakhiri dengan embusan napas panjang. Tanpa menunggu sahutan, ia sudah kembali berkoar, "Tidak bisakah kau membiarkanku beristirahat sejenak? Kau tidak tahu sih, bagaimana penatnya badan seusai dirasuki siluman." Meski enggan, pemilik paras elok itu pun bangun untuk duduk secara formal (seiza). Tangan kanan menyilang untuk memegang lengan kiri, lagi-lagi untuk menutupi area pribadi. "Selain itu, mengapa kau menyerangku?" sentaknya mendadak.
Tidak peduli dengan ucapan sengit yang dilontarkan, Sesshoumaru kembali mengacungkan senjata, ujung bilah katana-nya hanya berjarak satu jengkal dari roman si perempuan.
Sepasang permata berwarna langka menatap balik netra hazel tanpa gentar. Keadaan itu berlangsung cukup lama hingga membuat salah satunya tak tahan untuk tidak berkedip.
Perempuan yang kalah beradu tatap itu tidak langsung membuka mata. Masih terpejam, ia angkat bicara, "Apa yang ingin kau ketahui?" suaranya bulat oleh rasa percaya diri.
"Semuanya!"
Gadis itu membuka kelopaknya perlahan. "Pertama-tama, aku tidak akan berterima kasih padamu untuk tadi, maupun ini," pandangan gadis itu beralih ke pedang yang dengan enteng mampu merunjang lehernya kapan saja.
"Seorang samurai tidak butuh ungkapan syukur dari orang yang ditolongnya dan katana-ku akan tetap seperti ini sampai puas dengan jawabanmu!"
Jengkel mendengar balasan yang didapat, kedua pangkal alis gadis berwajah manis itu berkumpul ke tengah dan ia berkata dengan ketus, "Perlu kau ketahui bahwa kau telah merusak rencana yang sudah kususun. Kehadiranmu hanya membuat kita berdua hampir kehilangan nyawa!"
Sang kesatria tidak percaya atas apa yang baru saja ditangkap oleh daun telinganya, insan tanpa nama yang ada di hadapan secara resmi menyenggol egonya. Tentu, Sesshoumaru tak lupa bahwa tadi tubuh gadis itu dikuasai oleh siluman. Biarpun begitu, tetap saja kalimat itu tidak pantas diucapkan oleh satu-satunya orang yang memulai perang dan menyerangnya dengan membabi buta.
Seraya meletakkan wakizashi bergagang putih miliknya ke lantai, gadis itu bertutur dengan ogah-ogahan, "Tetapi," meski kau membuatku meradang, "baguslah kau selamat," meski ditutup-tutupi, kelegaan yang terkandung tetap saja terdeteksi.
Sepadan dengan suaranya, mimik perempuan itu berkedut menahan rasa tak nyaman. Posisi duduknya memang layak. Namun, tambah lama, tambah jauh dari menyenangkan. Kedua kakinya sebentar lagi kesemutan, meski begitu, ia menahan diri untuk tidak banyak bergerak bila tidak mau tubuhnya terekspos.
Menit selanjutnya, ia menyerah kalah. Gadis itu beringsut dan melipat kaki ke sisi kanan tubuh. Sialnya, posisi itu membuat kosode-nya terbelah lebar, kulit di dada dan paha mulusnya terpampang. Setengah panik ia segera membetulkan, kain basah yang ditarik terasa berat di tangannya. Kaki kanan yang terasa senyar mulai mengirimkan sengatan geranyam yang membuatnya mendesis dan meringis.
Sesshoumaru tahu, sungguh ia bisa menerka apa yang tengah dirasakan gadis itu. Semua orang yang ada di Negeri Wa termasuk dirinya pun pernah mengalami hal yang sama saat upacara keagamaan. Pun, mengenai hal lain. Ia paham nian harus memalingkan muka sementara. Kendati demikian, pemandangan itu terlalu sayang jika dilewatkan dan lehernya terasa sukar digerakkan. Mengesampingkan kekaguman, batinnya berkilah bahwa ia harus tetap mengamati dan terus waspada.
Rasa panas merambat di wajah si perempuan karena di tengah kecanggungan seperti itu ada sepasang mata yang masih juga melekat padanya. "Jika yang kau inginkan adalah penjelasan, tentu akan kuterangkan. Sebelum itu, bisakah kau ... " senyum kikuk gadis itu membentuk satu garis tipis, lalu ia menggigit bibir bawah. Dengan rikuh tangan kirinya terangkat untuk memeluk lengan kanannya sebelum berpindah dan menyilang di atas paha.
Mengerti apa yang dengan susah payah orang itu tutupi, Sesshoumaru sedikit memutar badan. Si lelaki menatap dinding kayu yang dimakan usia sekaligus memperhatikan gerak-gerik perempuan itu dari sudut mata.
"Terima kasih," gadis itu menganggukkan kepala. "Namaku Kagome, aku seorang miko. Aku ke hutan ini karena dimintai tolong oleh penduduk desa yang tinggal di kawasan lembah." Tangan Kagome terangkat untuk menunjuk arah berlawanan yang belum dilewati Sesshoumaru. "Banyak penduduk di sana yang hendak berdagang ke desaku yang hilang saat melewati Danau Cermin," terangnya.
Kisah itu pun lanjut diceritakan oleh sang pendeta wanita Shinto. Tragedi yang biasanya terjadi dua belas bulan sekali, tiba-tiba berlaku secara konstan dalam hitungan hari. Dalam satu minggu, selalu ada dua hingga tiga laporan orang hilang. Semakin lama semakin banyak korban berjatuhan. Lama kelamaan, tidak hanya laki-laki yang pergi berniaga, para gadis di desa pun banyak yang meninggal dengan cara mengenaskan ketika sedang melakukan aktivitas sehari-hari di area pembukaan hutan. Oleh sebab itulah, perawan kuil itu tidak bisa tinggal diam. Bersama seorang biksu yang juga dimintai tolong oleh penghuni kampung lembah, mereka berdua memberanikan diri untuk mendatangi tempat yang menjadi awal mula bencana.
"Seperti yang kau lihat, yang tadi itu adalah satu dari dua siluman sidat yang menguasai telaga. Kaum pria adalah targetnya. Ia seringkali menampakkan diri dalam wujud wanita cantik yang membutuhkan bantuan, ketika mangsanya sudah terhipnotis, ia akan menarik mereka ke dasar danau dan memakannya hidup-hidup. Dari apa yang Mi- maksudku biksu yang menjadi rekanku katakan, sesungguhnya mereka adalah makhluk yang tidak serakah. Biasanya, sepasang youkai seperti mereka hanya butuh makan satu tahun sekali." Angin cukup kencang bertiup dari luar, Kagome tak kuasa menahan tubuhnya agar tidak bergidik kedinginan. Miko itu meringkuk, tangan kanan yang bersemayam di lengan kirinya bergerak ke atas dan ke bawah, berusaha menciptakan sedikit kehangatan.
Tingkah sepele itu tak meleset dari perhatian sang samurai. Sesshoumaru menoleh, meneliti gadis yang tertunduk itu selama beberapa detik. Seraya menyarangkan pedang ke dalam sarung, pria itu memeriksa keadaan luar, langit bertambah gelap, suhu semakin menurun. iNamun, jika mereka berjalan sekarang mungkin mereka masih sempat tiba di daerah yang diceritakan. Benak pria itu sibuk menimbang-nimbang.
Miko muda itu kembali menguarkan suara, "Akan tetapi, dari apa yang diceritakan, pola itu berubah sejak siluman jantan penunggu danau terpikat pada anak gadis seorang pedagang yang rutin lewat kediamannya. Kelanjutannya sangat disayangkan, siluman jantan ditangkap dan dibunuh oleh warga desa. Oleh sebab itulah, sepeninggal pasangannya, hasrat membunuh siluman betina lantas melesat. Tanpa rasa lapar ia mencari korban, Ketika ia tidak langsung memangsa manusia, ia akan merasuki mereka, dan membantai gadis-gadis yang ada di desa sebagai pembalasan dendam."
Bunyi meriah dari baju pelindung yang dikenakan prajurit mendadak melebihi bunyi angin dan rintik hujan. Kagome membelokkan kepala untuk melihat apa yang pria itu lakukan. Mata gadis itu melebar, melihat orang yang tak jauh darinya itu meletakkan pelindung dada dan bahunya di lantai sebelum bergelut dengan temali tipis yang saling silang di badan.
Pendeta wanita yang kerap kali dipanggil demi mengusir hawa jahat di sebuah rumah itu terkesiap sebelum setengah berteriak, "Eh?! A-apa yang kau lakukan?"
Tak acuh, Sesshoumaru meneruskan kegiatan. Selesai melepas kedua kote (pelindung lengan) dan kusazuri (pengaman paha), ia menarik ujung hita tare yang terselip di dalam hakama pendeknya (kobakama).
Kagome kini menutup rapat-rapat indranya dan berpaling. "Cepat kenakan kembali pakaianmu!" Tak ada respons yang ia terima hingga ... sesuatu menyentuh ringan tungkainya. Dengan panik gadis itu berteriak sambil beringsut mundur, "Menjauhlah dariku!"
"Buka matamu!" titah Sesshoumaru. Ketika gadis itu tak lantas melakukan apa yang diperintahkan, raut dingin pria itu retak oleh kejengkelan, satu alisnya berkedut dua kali. "Tujuan kita satu arah. Masih ada waktu sebelum malam tiba. Apabila bergegas, mungkin kita bisa sampai ke lembah yang kau sebutkan."
Hening.
Secara perlahan, Kagome membuka satu mata. Pria bersurai panjang itu hanya memakai kosode. Agar lebih leluasa melihat dunia, kini ia membuka penglihatannya lebar-lebar dan melihat sang prajurit sedang membelitkan tali haidate (pelindung paha) di pinggang. Malu akan prasangka buruknya, perempuan itu langsung terdiam dan menunduk sembari mencari benda yang tadi membuatnya terkejut. Yang tergeletak dekat kakinya adalah yoroi hita tare (satu lapis pakaian yang biasa dipakai para prajurit sebelum zirah).
"Aku ... bolehkah?" sambil mengangkat kepala, gadis itu bertanya dengan terbata-bata.
Reaksi yang diberikan si lelaki hanyalah, "Hn."
Kagome mengangkat kain itu untuk menutupi dada. Bukannya langsung memakai apa yang diberikan, ia justru mematung dan menyaksikan cara lelaki itu memasang kembali pelindung lengan sebelah kiri. Dengan tangan terlatih, pria itu meraih tali pangkal kote kiri (pelindung tangan) yang ada di area bahu, satu ia tahan dengan mulut, yang satu ia raih di balik punggung. Kemudian, ia mempertemukan dan mengikat kedua tali itu di bawah lengan kanan. Hal serupa dilakukan pada bagian sebaliknya.
Laksana terhipnotis akan apa yang dipertontonkan, sang miko terus menatap cara pria itu menempatkan satu-persatu bagian zirahnya. Kagome memperhatikan bagaimana lelaki itu membelitkan ujung tali kote yang ada di pergelangan tangan kiri searah pergerakan matahari sebelum mengikat temali itu dengan satu tangan. Ikatan terakhir dikunci dengan bantuan gigi. Hal itu diperbuat agar letak pelindungnya tetap stabil di tempat.
Putra sulung Taisho itu menyadari ada yang tengah mencermati, tapi ia tak ambil peduli. Yang ia pikirkan adalah bagaimana bisa tiba dengan cepat ke desa terdekat. Saat itu, kedua lengannya sudah berlapis pengaman. Dan tibalah hal yang paling menantang bahkan bagi samurai elit setingkat Sesshoumaru: memasang armor badan tanpa bantuan.
Gadis yang menjadi bunga di desanya itu merampas diri dari lamunan yang mengawang. Bila ia harus jujur, dalam satu tarikan napas tadi, ia sempat terpukau pada perawakan sang pria yang terbentuk dengan sempurna di balik zirah perang. Miko itu menggeleng kuat-kuat serta menarik napas panjang. Ia lalu bertekad untuk mengalihkan fokus pada hal lain.
Di tangan Kagome terdapat hita tare putih dengan warna merah di penghujung kedua pergelangan tangan dan sedikit di bahu kiri. Di area berma tersebut, terdapat tiga pola 'enam kelopak ume' (Bunga Plum) berwarna putih yang dilindungi oleh cangkang kura-kura berbentuk segi enam dengan warna serupa. Bunga Plum sendiri terkenal dengan ketahanannya dari angin dan salju di musim dingin. Lantaran hal itu pula, bunga Plum sering dijadikan representasi kemuliaan dan harga diri seorang samurai.
Sedangkan, kura-kura—yang dikisahkan dalam legenda mempunyai ekor putih nan mengembang dan dapat menghasilkan uap yang menciptakan permata suci juga adalah satu dari tiga hewan penopang dunia. Di samping itu, binatang yang memang memiliki masa hidup luar biasa panjang itu adalah harapan sempurna untuk keselamatan dan kejayaan para kesatria dalam setiap pertempuran.
Pakaian kebesaran berbahan sutra dan berhias simbol yang mewakili strata sosial nan tinggi itu adalah lambang kebanggaan sebuah keluarga samurai yang terpandang. Saat itu, remaja polos seperti Kagome telah mengetahui akan fakta tersebut. Hanya saja, pengetahuannya tidak teramat luas hingga bisa mengenal klan mana tepatnya yang memiliki pola tersebut.
Sesaat, jari-jemari ramping gadis itu mengelus bahan yang terasa halus di tangan. Tanpa menanggalkan kosode-nya yang lembap, ia mengenakan hita tare yang diberikan. Sisa kehangatan laki-laki itu lantas memeluk tubuhnya. Otomatis, aliran darah lebih banyak mengalir di pipi si pendeta wanita.
Di sisi lain, meski merasa kesulitan memasang armor badan sendirian, prajurit terlatih itu sudah terbiasa tidak meminta bantuan. Pertama-tama, Sesshoumaru mengaitkan tali di pengaman bahu pada pelindung badan yang masih tergeletak di lantai. Itu dilakukan agar nantinya ia tinggal mengikat temali yang terjuntai setelah memakai lempengan pelindung dada yang satu sisinya terbuka. Selanjutnya, ia mengangkat benda itu. Melalui celah lebar di sisi kanan, ia memasukkan tangan kiri, kepala, badan, dan tangan satunya pada lubang yang tersedia. Kemudian, kedua lengan terangkat, tali-tali untuk pelindung bahu disatukan, ditarik ke area tengkuk sebelum diikat.
Yang terakhir dan bagian paling sukar adalah mengunci bagian kanan baju zirahnya agar kembali tertutup seperti semula. Tersisa dua tali tebal namun paling utama untuk dikaitkan dengan kuat. Tangan kiri si kesatria sudah mengambil satu yang ada di bawah lengan kanan, sedangkan tangan kanannya berusaha menggapai yang lain dari balik punggung. Pria itu sudah memiringkan tubuh sedemikian rupa tapi benda yang susah payah ia gapai tak jua berada dalam jangkauan.
Pada momen berikutnya, sebuah tangan yang lebih kecil mengambil benda itu dan tanpa sungkan meraih temali lain dari genggaman Sesshoumaru. "Izinkan aku membantumu," tutur Kagome tanpa memandang lawan bicaranya.
Samurai itu mengizinkan dengan gumaman, giliran ia yang meneliti sosok yang ada di hadapan. Kulit pucat makhluk jelita itu kini lebih hidup dengan semu merah muda. Selanjutnya, penglihatannya menangkap pakaian miliknya yang membalut tubuh sang miko. Ia tahu, bahwa perempuan yang baru ditemui itu mengenakan hita tare-nya dengan alasan urgensi. Kendati demikian, tak terbantahkan, ada sesuatu yang bergolak di dalam sanubari. Desakan untuk berlama-lama dan memandang kecantikan itu dalam-dalam sangatlah ...
"Apakah ini cukup kuat?" tanya gadis yang mengaku bernama Kagome itu dengan suara halus.
"Hn, kuat," jawab Sesshoumaru pada pertanyaan si perempuan juga atas apa yang terlintas di benaknya. Mengenyahkan pikiran konyol yang tersisa, pria itu lekas-lekas melilitkan obi, melekatkan kembali dua senjata di pinggang, menggunakan lagi topeng serta helm, dan meraih bungkusannya. "Ayo!" ajaknya.
Setelah lelaki itu terbalut armor, sang miko lantas mengambil jarak, menunduk, dan mengangguk dengan patuh.
.
.
.
Gerombolan awan sendu hampir usai menumpahkan semua kesedihannya di atas bumi. Warna jelaga yang bergelayut di langit perlahan terberai, memberi ruang untuk sisa-sisa sinar senja. Mentari yang hampir seluruhnya terbenam sempat mengintip pada dua insan yang berdampingan, menuju masa depan yang mutlak penuh dengan kejutan.
Keduanya mulai menyusuri hutan secara perlahan. Jingga tergantikan oleh nila. Tiupan angin cukup kencang untuk menggerakan permukaan lautan hijau. Kidung dedaunan nan rimbun yang saling bergesekan mendominasi belantara. Senandung burung hantu yang baru keluar dari sarangnya menggema. Sesekali, terdengar burung jenis lain yang menjerit dengan tembang lantangnya.
Rasa sungkan yang terbangun dalam diri Kagome pada samurai berzirah lengkap itu perlahan memudar. Miko itu cuma mampu diam selama beberapa menit. Gadis itu tunduk pada wataknya yang memang ramah dan senang menjalin pertemanan. Kini, bunyi yang paling meriah di rimba berasal dari mulut si pendeta wanita. Tanpa dipaksa, ia bersedia mengisahkan banyak hal. Malahan, tiada dipinta pun ia rela menyebutkan harapan-harapannya yang terpendam.
Sesshoumaru sudah cukup mendengar tentang kesuburan sawah di desa gadis itu yang membaik tahun ini, bagaimana Sang Kami bermurah hati dan mencurahkan hujan yang berkecukupan. Dengan nada yang pelan dan raut wajah sendu, perempuan itu lanjut menceritakan tahun-tahun yang usai berlalu, saat desanya dilanda banjir dan beberapa warga lansia mati karena kelaparan.
"Aku berharap sepenuh hati untuk belas kasih Sang Kami, semoga keadaan bisa terus seperti ini. Karena dengan demikian, aku bisa melihat senyum orang yang paling berarti untukku." Tak ada sahutan maupun balasan dari lelaki di sisinya. Tapi tak mengapa, Kagome cukup puas mengisi kesenyapan dengan monolognya.
Sunyi menggantung hanya dalam puluhan detik sebelum Kagome memilih lagi sebuah topik. Yang diceritakan kali ini adalah rentetan kejadian ketika ia dan sang biksu pergi memerangi siluman. Pada awalnya, rencana mereka terlihat sempurna. Penyamaran sang biksu sebagai pedagang yang melewati Danau Cermin berjalan baik, yang dipancing lantas muncul.
Sayangnya, siluman sidat yang mengambil rupa wanita jelita itu berhasil mengelabui si penganut ajaran Buddha. Tidak ada mantra atau doa yang dirapalkan pria itu untuk membekuk makhluk itu seperti niat awal. Belum sempat Kagome yang bersembunyi di balik semak untuk bangkit dan melesatkan anak panah, rekannya sudah lenyap.
"Saat itu benar-benar mencekam. Mengangkat orang dewasa ke permukaan danau tidaklah mudah. Aku merasa beruntung bisa berenang sejak kecil." Kagome tercenung sejenak. Jika ia ingat lagi, kemampuan berenangnya tidak akan berpengaruh banyak jika saja keberuntungan tidak berpihak padanya, kaki pria itu akan terus dicengkam dan ditarik ke dalam telaga oleh si siluman.
Miko muda itu berbisik cemas, "Semoga Miroku baik-baik saja." Benaknya bertanya-tanya, apakah pria itu sudah sadar dan segera kembali ke desa untuk mencari bantuan? Ataukah biksu itu menemui halangan lain di tengah jalan? "Kita harus segera menemukannya!" imbuhnya penuh tekad.
Kagome lanjut mengisahkan, seusai menarik rekan ke tepian dan memastikan bahwa laki-laki itu hanya pingsan, ia menarik perhatian siluman sidat tersebut dengan umpatan dan lantas berlari agar menjadi incaran. Meski terlihat ceroboh tapi itu dilakukan bukan tanpa persiapan. Sebelum ia berangkat menuju kampung lembah, ia sudah mendengar sebagian besar yang terjadi. ia juga sudah mengobservasi keadaan sekitar danau dan memikirkan modus yang dapat mengalahkan si penebar ancaman.
Gadis itu mengakui, rencananya sendiri memiliki banyak titik lemah: terlalu riskan dan jarak yang ditempuh lumayan jauh sebelum mampu menempatkan siluman itu pada jebakan yang Kagome sediakan. Kendati demikian, ia tetap mempersiapkan gagasannya demi keadaan darurat. Benar saja, ofuda yang ditempelkan dan empat magatama yang ia taruh secara sembunyi di sudut-sudut bangunan tua itu berhasil menyelamatkan nyawa mereka berdua. Dan kini, ia juga harus memastikan keselamatan teman biksunya.
Di sepanjang perjalanan, meski Kagome sudah bergegas, tetap saja ia tertinggal. Satu langkah bagi Sesshoumaru dua langkah untuk miko itu. Selain karena postur tubuh, juga karena medan yang dilalui. Berlari demi menyelamatkan nyawa tadi siang membuat gadis itu tak hirau akan sengatan ranting tajam dan kerikil di kakinya. Kini, saat ia menyusuri rimba dengan aman dan perlahan, semua rasa menyiksa itu seakan berkomplot untuk mengepungnya. Tetapi, bukan Kagome namanya jika mengeluh hanya karena sedikit aral, ia menahan sakit dan tetap berjalan untuk mengejar waktu.
Semerta, Kagome mengaduh kesakitan. Dengan satu kaki yang terangkat ia duduk di sebuah batu besar di sisi jalan setapak. Kaki kiri ditumpangkan di atas lutut kanan. "Tunggu sebentar."
Sesshoumaru berhenti, melihat sekilas keadaan pun ia paham. Bukannya membantu, samurai itu malah memusatkan penglihatan pada taburan bintang gemintang pada bumantara yang terbentang.
Miko itu mengamati telapak kakinya, tidak ada darah yang bercucuran. Ia lalu meneliti sumber rasa sakit. Penyebab itu akhirnya ditemukan. Pada momen berikutnya, Kagome memasang wajah serius dan berusaha keras mencabut serpihan itu dengan kuku-kuku pendeknya. Gadis itu mengerang lega seusai mencabut benda yang menusuk telapak kakinya. Sesaat ia mengamati potongan kayu super mini berbentuk runcing yang sudah membuatnya kesusahan.
Gadis itu berdiri dan bertekad untuk lebih berhati-hati lagi, disaat itulah Kagome menyadari ada sepasang waraji (sandal jerami) yang tergeletak. Lantas saja matanya menyelidik ke kaki prajurit yang beberapa meter darinya. Tebakannya benar, lelaki itu melangkah hanya beralas tabi (kaus kaki tradisional Jepang) berwarna hitam.
"Ano ... " Kagome membuka suara.
Pria itu tak acuh dan terus menjauh.
"Tunggu!" Perawan kuil itu menyambar alas tersebut lalu memacu kaki. Setelah berhasil menyusul dan menghalangi jalur, dengan dada yang naik turun sehabis berlari, Kagome merentangkan kedua tangan ke samping.
Sesshoumaru menyadari bahwa waraji-nya masih dalam genggaman dan belum dipakai oleh si pendeta wanita. Sepintas, ia berfokus pada wajah merengut kawan barunya tersebut.
"Aku berterima kasih atas kemurahan hatimu, tapi aku tidak butuh karena aku tidak lemah!" ucap perempuan itu tegas sambil menyodorkan benda yang dipegang.
Dengan santai Sesshoumaru menjawab, "Samurai ini tidak menganggapmu lemah."
Pendeta wanita itu sontak tertegun. Empat kata itu akan terdengar sepele jika didengar oleh orang lain, tapi tidak untuk Kagome. Sejak lama, ia ingin sekali dipandang lebih dari kembang desa yang jadi penghias semata. Ia ingin berusaha lebih keras untuk orang tuanya, demi lingkungan tempat tinggalnya, juga untuk dirinya.
Miko muda itu tidak sudi bergeming dan menerima takdir sebagai kaum wanita yang dipandang berharga hanya jika berhasil dijual sebagai menantu pada keluarga kaya kala waktunya tiba. Ia ingin dipandang setara oleh kaum pria. Dan kini, tiba-tiba, ada seorang pria bergelar kesatria yang tidak menganggapnya takberdaya. Sungguh, pernyataan itu begitu meresap ke dalam lubuk hatinya. Kala itu, Kagome pribadi tidak mampu menjabarkan apa yang ia rasa.
"Lekas kenakan jika kau ingin segera menemukan teman biksumu!" seruan itu menyadarkan Kagome dari sekelebat lamunan.
Gadis itu menunduk untuk menyembunyikan wajah dan lehernya yang merona. "Aku akan segera mengembalikannya ketika kita sampai di desa."
Tak mengindahkan atas apa yang rekan satu perjalanannya katakan, samurai itu terus menapak jalan di hadapan.
Waktu bergulir, malam resmi meraja. Berbekal cahaya rembulan, keduanya menyusuri hutan. Beruntungnya, tidak ada lagi rintangan. Karena adanya barisan perdu berbunga merah muda dengan putik kuning cantik sebagai petunjuk, dengan mudah, Sesshoumaru beserta Kagome menemukan Danau Cermin dan sang biksu bernama Miroku yang masih pingsan di tepian telaga.
Tiga kali Kagome menepuk-nepuk pipi biksu itu dengan kuat. Kecemasan gadis itu lantas luruh ketika berhasil menyadarkan penganut ajaran agama Buddha tersebut. Beberapa waktu kemudian, miko itu meraih busur dan anak panahnya yang tertinggal di semak-semak dan mereka meninggalkan danau yang tak lagi menjadi sumber petaka.
Aral dari binatang liar dan jalur yang dilewati sempat merintang. Lagi-lagi, hal itu berhasil Kagome lalui berkat sang samurai. Dalam kurun waktu satu jam berikutnya, ketiganya sudah tiba di desa yang dituju.
Pada awalnya, ketegangan terpancar pada raut muka warga ketika melihat Sesshoumaru memapah Miroku yang masih rengsa. Tatkala Kagome menyembulkan kepala dari balik badan pria itu dan mengatakan bahwa sang prajuritlah yang membasmi mahkluk mistis yang selama ini menjadi momok menakutkan, kerisauan yang tergubah pada wajah semua yang ada lekas mereda.
Setelah mendengar penjelasan dari miko yang mereka percayai, sontak saja, para penduduk kampung lembah lantas menyambut kehadiran mereka dengan kelegaan tak terkira. Kegembiraan pun terpancar, ketiganya digiring menuju rumah paling besar di wilayah itu.
.
.
.
Di kediaman Kepala Desa, air panas disiapkan, pakaian baru diberikan selagi milik mereka dicuci. Seusai membersihkan diri, Kagome dipandu ke sebuah ruangan. Derap langkah ribuan kuda bergemuruh di dalam rongga dada manakala matanya menangkap kehadiran Sesshoumaru yang sudah lebih dulu tiba. Di tengah kekacauan hati, sapaan Miroku yang juga sudah duduk di sana hanya dibalasnya sepintas lalu.
Pemilik rumah memberikan waktu kepada ketiganya untuk makan malam dengan tenang. Selama itu, hanya si biksu yang banyak melemparkan bahan pembicaraan. Atas nama tata krama, Kagome selalu menanggapi dan menyimak jika diajak berbincang. Namun, kala keheningan mengisi ruang, ia melemparkan tatapan diam-diam ke arah pria berambut panjang. Hanya satu atau dua detik lamanya Kagome berani memandang sebelum kembali memperhatikan hidangan mewah yang ada di tangan.
Berkali-kali, miko itu bertekad untuk tidak melempar perhatian ke arah sang samurai. Namun, berulang kali pula ia tidak kuasa menahan diri. Sebabnya, prajurit yang saat itu tengah mengenakan pakaian masyarakat awam membawa khayalan tersendiri. Kehadiran pria itu terasa dekat, seakan berada dalam jangkauannya.
Sayangnya, setinggi apapun Kagome berangan, ilusi tetaplah ilusi, harapannya cuma imaji. Selama kerlip-kerlip cahaya menjadi keelokan angkasa, sekat yang terbuat dari kertas dan kayu senantiasa memisahkan mereka. Hingga biru terang menguasai cakrawala, keinginan gadis itu 'tuk mengenal sang kesatria lebih dekat tak berkembang menjadi nyata. Sampai waktunya untuk meninggalkan desa dan kembali pada kehidupan sediakala. Semua kehendaknya tetaplah bayangan semata.
.
.
.
Pagi harinya, dengan pakaian kebesaran masing-masing, mereka sudah berkumpul di depan rumah kepala desa. Dengan satu kalimat, sang samurai lengkap dengan zirahnya berterima kasih atas kuda yang diberikan. Pria itu mengangguk pada Kepala Desa sebelum berangkat ke arah Barat Laut.
Kagome hanya mampu memandang punggung orang yang sudah beberapa jam ini menjelma menjadi pusat atensi. Setelah figur pria tegap dan tunggangannya itu hilang di ujung jalan, gadis muda itu baru sadar bahwa ada sepasang mata yang menatapnya dengan iba.
Menanggapi kalimat tak terucapkan dari rekan singkatnya, Kagome memberikan senyuman sebagai pernyataan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Miko beserta sang biksu membungkuk pada Kepala Desa dan istrinya, kedua sosok religius itu mengucapkan rasa syukur karena mereka dan seluruh warga karena sudah bersusah payah menjadi tuan rumah yang baik.
Begitupun sebaliknya, sang tetua dan beberapa warga yang hadir berterima kasih yang sebesar-besarnya. Karena, atas kerja keras Kagome dan Miroku, mereka bisa hidup dengan tenang tanpa perlu risau akan ancaman youkai. Setelah pamit untuk yang terakhir kali, mereka pun berpisah.
.
.
.
Gadis itu berjalan seorang diri, tatapannya nanar, tungkainya diseret. Sepatutnya, miko muda itu bersuka cita, sebab ia bisa menunjukkan pada sosok yang paling ia hormati bahwa dirinya sanggup. Ia berhasil menyelesaikan tugas yang lebih dari sekadar menghalau aura kelam di rumah bangsawan. Sudah sewajarnya ia senang. Berbekal kemampuannya, ia turut andil dalam menjaga keselamatan banyak nyawa. Satu hal yang telah lama ia cita-citakan, menolong siapa saja yang butuh bantuan.
Akan tetapi, bukan kebanggaan atas keberhasilan, tapi emosi lain menaungi Kagome. Entah mengapa, kala itu, asak terasa di dalam dada, udara bagai tak tergapai. Hidungnya pedih, matanya terasa perih. Rintik air menggenang di pelupuk, wajahnya dirundung pilu. Miko itu merasa sedih.
Pada momen selanjutnya, kesadaran mengalir laksana embun pagi yang meluncur dari selembar daun. Sekarang, gadis berumur enam belas tahun itu paham akan hal yang membuatnya muram.
Sama sekali tidak ada ketaksaan bahwa ia telah jatuh cinta, untuk kali pertama di dalam hidupnya.
Mewakili isi hati, bibir itu melengkung manis di paras yang terancam tangis. Hanya satu penyesalan yang dimiliki Kagome, ia belum berterima kasih secara layak pada sang kesatria. Selain hal itu, tidak ada lagi pertanyaan yang menyeruak. Miko muda itu teramat yakin bahwa semua yang berlaku adalah kehendak Para Kami. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain berserah diri. Dan, jika mereka memang ditakdirkan bersama, saat waktunya tiba, ia akan kembali bertatap muka dengan laki-laki itu lagi.
Sepanjang perjalanan, guna meringankan beban di hati, gadis muda itu menasihati diri; 'Tidak ada yang perlu di pikirkan. Lagi pula, misi sudah terselesaikan, imbalan melimpah dari desa tetangga yang kaya sudah di tangan. Aku akan pulang dan menjalani hari-hari penuh kerja keras tapi menyenangkan.'
Dengan pendiriannya, Kagome menuju Utara, melewati Danau Cermin, ia akan pulang ke kampung halaman.
.
~Next is the last chapter of Seeing Blue~
.
Another explanations:
- Ofuda adalah jimat berbentuk secarik kertas atau sepotong batang kayu yang bertuliskan nama kami (dewa) atau kuil Shinto yang membuat jimat tersebut. Biasanya, ofuda ditempel di pintu, gerbang, tiang, atau langit-langit dengan tujuan agar tempat yang ditempeli ofuda tersebut terlindung dari bencana.
- Magatama (勾玉) adalah manik berbentuk tanda koma yang muncul pada zaman prasejarah Jepang, sejak akhir Zaman Jōmon hingga Zaman Kofun, kira-kira sejak 1000 SM hingga abad ke-6 M. Magatama awalnya berfungsi sebagai perhiasan dekoratif, tetapi pada akhir periode Kofun berfungsi sebagai benda upacara dan keagamaan.
- Wa adalah kelompok masyarakat etnis yang tinggal di Jepang saat masa Tiga Kerajaan di tahun 220 - 280 Masehi.
Jepang memang dikenal dengan julukan 'Negeri Matahari Terbit' selama kurang lebih 1.400 tahun lamanya. Nama 'Jepang' dalam bahasa aslinya sebenarnya adalah 'Nihon'. 'Nihon' ini artinya adalah 'asal muasal matahari'.
Nama 'Nihon' sendiri adalah sebutan dari bangsa Tiongkok sejak zaman Dinasti Sui, yaitu di antara tahun 589 - 618 Masehi. Kalau untuk warga Jepang zaman dulu, menyebut nama Jepang sebagai 'Wakoku'. 'Wakokiu' sendiri berarti Negeri Wa.
- Oiya, untuk kalian yang udah maupun yang belum tahu, ada dua artist asal Indonesia yang nge-ship SessKag. Art SessKag-nya inu-miko dan rannyunny di Tumblr keren-keren bgt sumpah! Cuss, kepoin, ga bakalan nyesel!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top