Part I. Six Petaled Flower
.
Seeing Blue
.
Lima pria lengkap dengan baju perang menunggangi kuda melewati jalan kecil di hutan. Salah satunya, yang mengendarai kereta pengangkut barang berkomentar dengan suara santai, "Sebuah tugas sederhana lainnya telah terselesaikan, satu koku per orang telah menanti untuk dibawa pulang," ucapan itu disusul oleh gelak tawa tiga lainnya.
Berjalan paling depan, orang yang mengetuai gerombolan prajurit atau bushi (pengikut) itu tenggelam dalam pemikiran. Otaknya sibuk menelaah kejanggalan di wilayah yang ia singgahi barusan, 'Ke mana perginya kaum lelaki di desa itu?' Sosok yang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk mencari kekuatan itu memicingkan kedua mata, ia memperlambat kecepatan kudanya demi meraba insting. Ada sesuatu yang tidak beres di depan sana. Sontak, ia menarik tali kekang demi menghentikan laju kudanya. Bibirnya sudah terpisah, namun arah takdir tak mampu manusia ubah.
Manakala ia hendak melontarkan peringatan pada para bawahan, apa yang ia takutkan akhirnya menjadi kenyataan. Keempat penunggang yang bersamanya tidak menyadari warna tanah yang berbeda tipis dengan sekitarnya. Satu detik kemudian, mereka terjeblos masuk ke dalam jebakan berupa parit yang dalamnya dua meter, terisi dengan jejeran batang bambu dengan pangkal yang di tanam ke dalam tanah dan ujung tajam menjulang menantang langit. Alhasil, kuda-kuda para prajurit terperangkap, kereta pengangkut barang menumpahkan ratusan liter beras yang menjadi bawaan, dan satu samurai yang terperosok ke dalam tipu muslihat hilang hayat di tempat.
Ketika prajurit yang tersisa berhasil keluar dari lubang siasat, sekonyong-konyong, mereka berempat sudah dikelilingi oleh puluhan orang yang memasang tampang berang. Penduduk desa dengan rentang usia bervariasi yang keseluruhannya berjenis kelamin laki-laki itu membawa bermacam-macam alat pertanian yang teracung, siap mengancam.
Para buke berkumpul membentuk sebuah lingkaran kecil melindungi sang atasan di tengah kerumunan orang yang siap memuntahkan amarah. Ketiganya sudah siap menghunuskan pedang kapan saja.
Seorang pria paruh baya dengan pakaian usang dan caping di kepalanya maju ke depan. Bertentangan dengan wajah teduhnya, suaranya lantang menggelegar, "INI ADALAH PERINGATAN UNTUK KALIAN!" Tangan kanan terulur, satu jarinya menunjuk ketua gerombolan itu dengan penuh nyali. "Katakan kepada Tuanmu untuk berhenti menarik pajak di sini! Desa kami sudah mengalami kesusahan, kami tidak harus menuruti perintah kalian lagi!"
"KALIAN AKAN MENYESAL!" teriak seorang prajurit yang belum lama sesumbar tentang entengnya pekerjaan yang ia lakukan.
Sang pemimpin prajurit mengangkat tangan kanan ke samping. Isyarat untuk diam lantas dipatuhi oleh anak buahnya. Figur itu mengenakan seperangkat pelindung tubuh (yoroi) yang terpisah; untuk dada (dou), bahu (sode), serta kaki (suneate). Baju tempur yang berwarna hitam sedikit keemasan itu terbuat dari potongan kecil bahan kulit, dirangkai seperti sisik, disusun sedemikian rupa dan dilapisi oleh lacquer agar anti air. Di antara jumbai-jumbai pelindung dada dan paha (kusazuri), obi kuning tempat dua pedang tersemat, diikat sedemikian rupa sehingga motif berwarna biru yang melambangkan angin menyembul.
Yang paling mencolok dari orang tersebut adalah bagian kepalanya. Paras pemimpin samurai itu ditutupi oleh topeng berwarna hitam dan kepalanya dilindungi helm (kabuto) unik. Tidak seperti yang lainnya, bagian luar helm itu memiliki surai panjang bertekstur lurus, lebat nan mengembang berwarna putih keperakan. Dengan puncak helm (maedate) yang terbuat dari lempeng kuningan berbentuk bulan sabit sebesar telapak tangan orang dewasa, postur tubuhnya kian menjulang dibandingkan semua yang ada. Jelas, keseluruhan penampilannya memancarkan kengerian bagi siapa saja yang memproklamasikan diri menjadi lawan.
Aura intimidasi yang teramat besar itu dibungkus dengan suara berat oleh ketegasan kala memberikan saran serta pernyataan, "Hentikan sekarang dan Sesshoumaru ini akan memberi pertimbangan untuk mengampuni nyawamu."
Kedua alis orang yang memimpin penyerbuan itu terangkat ke atas, tentu ia mengenal nama itu. Nama yang disebutkan itu adalah milik keturunan bangsawan yang memeras mereka atas nama uang perlindungan. Tak lantas percaya bahwa aristokrat itu bersedia mengirim putranya sendiri untuk turun langsung ke lapangan, ia mencoba memastikan, "Benarkah itu? Kau adalah salah satu putra Inu no Taisho?"
"Hn," hanya gumaman pendek yang meluncur sebagai sahutan. Walau hanya selayang pandang, keseluruhan penampilan, sikap, dan gerak-gerik dari samurai itu sudah merupakan bukti dari pernyataan.
Tiba-tiba, sudut pandang lain merasuk ke dalam benak si Tetua desa yang arti namanya pun terasa menghangatkan. Apabila mereka sukses menumbangkan putra sang Daimyo, tentu saja, pembalasan yang mengerikan akan datang. Kendati demikian, jika mereka terus beraliansi dengan desa tetangga seperti saat ini, mungkin saja mereka mampu melewati apapun yang berlaku nanti.
Bila itu benar terjadi, mungkin saja mereka akan selamanya terbebas dari pajak memberatkan; tidak hanya balita dan para tua renta, semua masyarakat di desa tidak lagi memakan biji-bijian seadanya, mereka dapat menikmati nasi hangat dari padi yang mereka tanam sendiri. Meski banjir yang terkadang datang dan melenyapkan panen tanpa sisa, dengan persediaan terbatas yang ada, mereka masih bisa hidup berkecukupan hingga musim berikutnya.
Tapi tidak, rencana yang ia susun hanyalah gertakan. Pria itu yakin bahwa semuanya dapat diselesaikan dengan musyawarah. Sedari awal, yang ia inginkan hanyalah bernegosiasi dengan seseorang yang posisinya dekat dengan Daimyo itu sendiri. Lagi pula, membahayakan keselamatan para penduduk desa adalah teror terbesarnya.
Dan kini, dengan kehadiran si putra bangsawan, dialog yang ia kehendaki akan terwujud. Luapan harapan memenuhi sanubari si pemimpin desa, ia berpaling lalu menatap ketua desa tetangga yang kini menjadi saudara senasib. Sebuah anggukan ia dapat, hatinya kian mantap dalam keyakinan. Satu-satunya yang ia inginkan hanyalah kesejahteraan kaumnya. Oleh sebab itulah, ia membulatkan tekad untuk maju dan membuka suara.
Pada saat yang bertepatan, pemimpin desa tetangga yang diajak kerjasama pun maju dengan pedang terhunus. Mata sang tetua desa berwajah damai itu langsung terbelalak, ia mematung di tempat sedetik lamanya. Semua bagai berlangsung dalam gerakan lambat ketika para penduduk desa yang berdiri di sekitarnya ikut berlarian dan mulai menyerang.
Pertikaian telah dimulai, suara pedang yang ditangkal oleh batang tombak maupun cangkul berdenting nyaring, tebasan katana dan daging yang tersayat diikuti oleh teriakan pilu sang korban di akhir hidup sungguh membuat hati orang yang mendengar bagai diiris sembilu. Bunyi batu besar yang dihantamkan secara bertubi-tubi pada tengkorak ketiga samurai yang dijatuhkan oleh segerombolan petani benar-benar tak terperi.
Tidak ada waktu untuk tergemap di tengah pertempuran, detik, ketangkasan, dan pemikiran singkat nan tepat menentukan keselamatan. Di lain pihak, Sesshoumaru yang sudah melumpuhkan tiga orang tak berhenti bergerak, sepasang safirnya menangkap ketiga pengikut yang telah tumbang sebelum memantau sekitar, di depannya masih ada tiga orang lagi. Sang samurai mengangkat pedangnya secara horizontal, ia menangkis pisau yang mengarah kepadanya.
Di saat yang bersamaan ada musuh lain dengan ujung tombak yang siap merobek punggungnya, lekas-lekas prajurit itu memutar senjatanya ke arah kanan demi menghalau pisau di depan muka. Sesshoumaru memiringkan badan agar berada di luar jangkauan serangan tombak, sebelum menjatuhkan diri untuk menendang kaki musuh yang mengintai punggungnya. Taktiknya berhasil, sang penyerang bermodal pisau kehilangan keseimbangan, satu di belakangnya pun terjungkal, sedetik kemudian ia sudah menghunuskan pedang pada kedua lawan secara bergantian.
Satu anak panah melesat sejengkal dari wajah bertopengnya, samurai itu menoleh, netra awasnya memindai. Setelah posisi yang dicari sudah dipastikan, dengan sigap ia memungut tombak yang terjatuh dan melemparkannya sepenuh daya ke arah jam sembilan. Tombak itu menembus udara dan secara presisi bersemayam di leher sang pemanah yang tak luput dari pengamatan.
Kini yang ada di hadapannya hanyalah seorang pemuda bersenjata tapi terlihat lemah dan si Tetua desa penyebab masalah. Dengan manik meneliti dan langkah santai Sesshoumaru mendekati mereka. Si laki-laki bermuka manis yang umurnya mungkin hanya beberapa tahun lebih muda darinya itu berdiri di depan sang pemimpin dengan sikap protektif. Sekilas, samurai itu memperhatikan bagaimana genggaman payah remaja itu pada katana-nya, tangannya saling berjauhan, kesalahan dasar para pemula. Rupanya anak muda yang menjadi lawannya belum juga belajar mencengkam sudah diajak mengacungkan pedang.
Demi melindungi ayah dari gadis yang ia cinta sepenuh jiwa, pemuda itu mengambil ancang-ancang untuk melancarkan serangan. Di momen berikutnya, remaja itu berteriak sambil menghamburkan diri dengan pedang di atas kepala: sebuah kesalahan fatal yang mempertaruhkan kehidupan. Teramat disayangkan, tanpa kesulitan Sesshoumaru menghindar.
Di momen berikutnya, samurai penuh perhitungan itu sudah menempelkan lutut kiri di tanah dengan bilah senjata yang sesaat bersemayam di area vital sang musuh. Pemuda itu terhuyung-huyung sebelum roboh ke tanah dengan posisi telungkup. Perbedaan antara keduanya amatlah jauh, butuh ribuan tahun bagi pemuda tak berbakat itu untuk mengalahkan Sesshoumaru.
Selepas melibas badan si lawan muda, likuid terang menitik dari bilah pedang. Kakinya menjejak tanah dengan mantap, perlahan sang aristokrat mempersempit ruang. Masih dengan dua tangan yang menggenggam erat pedang, prajurit itu menebas udara agar cairan kental itu terberai dari katana-nya.
Suara tipis yang dihasilkan kala senjata mematikan itu menggores angin dan pemandangan orang-orang yang dikenalnya berkalang tanah berhasil membuat si pemimpin para petani setengah mati menelan ludah.
"Pembangkangan bukanlah perkara kecil bagi Inu no Taisho," tutur pria berzirah itu datar.
Dengan penuh harga diri sang kepala desa mengangkat wajah, dengan segenap nyali ia menghadapi sosok yang kini berdiri sehasta darinya. "Semua yang kulakukan adalah demi seluruh warga di desa yang kucinta. Jika dengan kematianku mereka tidak lagi dibayangi kelaparan dan dapat hidup tenteram, maka, aku bersedia menyerahkan nyawa. Tidak akan ada penyesalan." Seketika ia terbayang roman lembut anak semata wayang yang pasti dinaungi oleh nestapa sepeninggal dirinya. Ia menggeleng lalu menarik napas sebelum melanjutkan, "Aku hanya meminta kau untuk mengampuni nyawa mereka yang tersisa dan meringankan pajak bagi desa kami."
"Hn, Sesshoumaru ini mengerti," jawabnya tenang. Semua gerakan yang dibuat pria itu tanpa kesia-siaan, menawan serupa tarian, namun mematikan.
Sejurus kemudian, caping yang menempel di kepala pria itu terjatuh begitu pedang panjang tajam nian menembus rongga dada dan merobek jantungnya. Si pemimpin desa jatuh berlutut, ia memuntahkan gumpalan kehidupan. Merah kental mewarnai kulit terluar dunia. Masa sekaratnya diisi oleh bayangan bahagia bersama keluarga tercinta. Mulutnya terbuka, kata maaf tanpa suara ia tuturkan untuk sang garis darah yang sebentar lagi resmi sebatang kara.
Senyum tipis bersanding dengan satu tetes air mata yang meluncur ketika tangan lembut sang istri yang sudah lebih dulu tiada kini terulur untuknya semata. Manakala katana yang terhujam kembali ditarik keluar dari badan, roh pria paruh baya itu serta-merta lekang dari raga.
.
.
.
~To be continued~
Sedikit penjelasan:
- Koku ( 石 ) adalah satuan volume Jepang yang berbasis di Cina. Satu koku dianggap jumlah beras yang cukup untuk memberi makan satu orang selama satu tahun (setara 120 liter).
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top