8 - Janji
"Gue nggak pernah liat lo se-childish ini sebelumnya."
Zafran menoleh melihat Zayyan mendekat ke balkon dengan secangkir teh dalam genggaman. Ia kembali menyandarkan tangannya di pagar. Menatap langit malam sambil terbayang raut wajah kekecewaan Hana tadi siang.
"Jangan melibatkan orang baru dalam masalah lo. Apalagi dia nggak ada sangkut pautnya sama masalah lo dan Evan. Kalo lo emang beneran serius deketin Hana, gue oke aja. Tapi tadi lo ngomongnya bercanda. Lo nggak mikirin perasaan Hana?"
"Gue nggak tau kalo dia suka sama gue. Selama ini kan dia deketnya sama Evan."
"Lo selama ini selalu bilang, siapa sih yang nggak suka sama Zafran? Siapa sih yang bakal nolak diajak sama Zafran? Itu lo sendiri nggak tau maksudnya apa?"
Zafran meraup wajahnya frustasi.
"Sekarang lo nggak cuman dikejar sama Allisya, tapi lo juga nambah masalah sama Hana. Mampus!"
"Gue harus gimana, Yan?"
"Pertama, lo harus damai sama Evan dulu. Jelasin yang sebenarnya terjadi. Baru lo minta maaf sama Hana. Kalo soal Allisya, lo sebenernya udah move on belum sih dari dia?"
"Udah, lah!"
"Ya, terus kenapa lo masih marah kalo dia jalan sama Evan? Harusnya lo biasa aja lah. Mana pake manas-manasin pake cewek orang. Munafik juga ya lo."
"Lo pikir aja, Yan! Mantan lo deket sama sahabat lo sendiri."
"Ya, nggak masalah? Mantan gue berhak bahagia sama siapapun, termasuk sahabat gue atau bahkan saudara kembar gue."
Zafran memandang sinis. "Omongan lo nggak akan kepake kalo lo ngeliat gue jadian sama Zanna."
"Gue malah berharap kaya gitu." Zayyan menyesap teh hangatnya. "Biar nanti pas gue pergi, ada yang jagain Zanna. Dan gue seneng kalo orang itu adalah saudara kembar gue sendiri," lanjut Zayyan seraya melenggang pergi.
Zafran mematung dengan bola mata yang semakin memanas.
***
"Ran, film inceran gue udah release. Ayo nonton!"
Zayyan melenggang begitu saja masuk ke kamar Zafran. Pemiliknya sedang rebahan santai dengan headphone menempel di telinganya.
"Apa?" jawab Zafran sembari melepas headphone-nya.
"Nonton!"
"Nonton apaan?"
Zayyan menunjukkan ponselnya. "Bumi manusia."
"Film apaan itu anjir?"
"Keren pokoknya! Gue udah baca novelnya beberapa kali. Penasaran banget sama versi filmnya gimana."
"Biasanya versi film sama novel lebih bagusan novel loh, Yan. Kecewa nanti lo."
Zayyan tampak berpikir. "Iya juga," ujarnya kemudian. "Nggak apa-apa lah. Daripada gue penasaran sama filmnya."
"Besok aja lah. Hari ini gue mager."
Zayyan hanya berdeham lalu melenggang keluar.
***
"Udah gue bilang, filmnya nggak akan sebagus novelnya."
Zafran terkekeh melihat saudara kembarnya kecewa dengan film yang mereka tonton tadi.
"Habis ini kita mau ke mana?" tanya Zayyan mengalihkan topik.
"Balik deh, gue mau ke studio."
"Seneng dah gue liat lo udah baikan sama Niskala."
"Demi lo neh."
"Jangan demi gue lah. Demi diri lo sendiri aja."
Pelayan kafe memotong pembicaraan mereka dengan satu nampan berisi pesanan Zafran dan Zayyan. Zafran memesan kopi dan Zayyan memesan milkshake. Tidak hanya itu, ada beberapa camilan seperti sandwich dan kentang goreng yang menemani mereka. Tidak ada makanan berat karena mereka sudah sepakat untuk makan di rumah bersama bunda.
"Emang kenapa?" tanya Zafran untuk pernyataan Zayyan yang terpotong pelayan tadi.
"Ya, biar selamanya lo mengingat hal itu sebagai diri lo sendiri, bukan karena orang lain."
Sebenarnya bukan itu alasan yang Zayyan maksud. Ia menyuruh Zafran kembali ke Niskala atas dasar keinginan diri sendiri agar saat dia tiada, Zafran tidak perlu mengingat Niskala dengan bayang-bayang dirinya. Zafran tidak perlu bersedih atas kepergian seseorang yang menjadi alasan ia kembali ke Niskala. Karena dari awal, ia kembali karena kemauannya sendiri, bukan atas keinginan maupun kebahagiaan orang lain.
Zayyan tidak berani mengatakan hal tersebut pada Zafran. Ia tidak mau kakak sepuluh menitnya bersedih.
"To-do list-nya udah dilakuin semua ya? Kita mau ngapain lagi habis ini?" tanya Zayyan. Ucapan sebelumnya tak mendapat respon dari Zafran.
"Belum kepikiran gue. Lo ada ide?"
Zayyan menggeleng.
"Ya, udah lah, masih banyak waktu bareng juga."
Keduanya lantas menikmati kudapan mereka bersama. Suasana kafe tak begitu ramai. Namun didominasi oleh cewek-cewek remaja seumuran mereka yang lagi nongkrong sama gengnya. Tak jarang beberapa dari mereka mencuri pandang pada Zafran dan Zayyan. Mungkin terkagum pada anak kembar yang penampilannya saling bertolak belakang itu.
Bayangin aja, sekarang Zafran pakai outfit berwarna monokrom ditambah topi yang bikin dia terlihat misterius. Beda sama Zayyan yang memakai hoodie berwarna biru muda dengan celana jeans putih. Sangat kontras sekali perbedaannya.
"Kemarin Allisya nawarin gue sama kenalan dokternya yang udah biasa ngobatin penyakit kaya gue," ujar Zayyan membuka topik obrolan berikutnya.
"Kapan?"
"Kemarin lah, beberapa hari yang lalu. Pas lo ada masalah sama Farrel."
"Ngapain pake pengobatan lagi? Lo kan udah sembuh."
Zayyan melirik cowok di depannya yang asyik menatap ponsel. Namun ia melihat genggaman Zafran mengerat.
"Operasi kemarin bukan akhir dari segalanya, Ran. Gue harus tetap berobat. Apalagi sekarang gue cuman punya satu paru-paru."
Zafran menyimpan ponselnya kemudian menyesap kopi pahit itu. "Trus lo mau gimana?"
"Gue mau ngasih tau ini ke ayah bunda. Siapa tau mereka setuju buat gue berobat di sana."
Zafran hanya mampu mengangguk kecil.
"Kalo lo sendiri gimana, Ran? Setuju nggak kalo gue berobat di dokter yang Allisya maksud?"
Ada jeda yang diambil Zafran sebelum menjawab pertanyaan Zayyan. "Ya, kalo itu baik buat lo, gue setuju aja, Yan."
Zayyan tersenyum mendengar jawaban Zafran.
"Pulang dari sini, gue bakal langsung ngomongin ini ke ayah bunda."
Hening melingkupi mereka. Zafran menatap adik kembarnya begitu dalam. Cowok itu terkadang tampak optimis sembuh, kadang juga optimis akan kematiannya. Namun akhir-akhir ini, Zayyan sering kali menyinggung soal kepergian. Dia sangat benci kalau Zayyan sudah membahas hal tersebut.
Ada suatu kelegaan tersendiri mendengar Zayyan memiliki keinginan untuk berobat. Itu artinya, Zayyan punya keinginan sembuh bukan? Ia tak lagi pasrah akan kematian yang selalu ia sebut bisa datang kapan saja. Zayyan ingin sembuh. Mereka akan terus bersama dalam waktu yang lama.
Namun di balik itu semua, ada suatu ketakutan yang terselip di pikiran Zafran. Terakhir kali melihat Zayyan berjuang melawan penyakitnya, semua orang sudah pasrahh dan ikhlas jika Zayyan pergi. Hanya karena campur tangan Tuhan, operasi beberapa bulan kemarin berhasil menyelamatkan nyawa Zayyan.
Zafran saat itu sudah senang. Ia pikir, semua penderitaan Zayyan berakhir di meja operasi. Ia pikir Zayyan akan kembali seperti dulu. Ia pikir semua perjuangannya untuk mempertahankan Zayyan di dunia sudah berakhir.
Namun apa yang terjadi sekarang? Haruskah ia kembali berlomba dengan rasa takut itu? Haruskah ia kembali dibayangi perasaan takut kehilangan Zayyan untuk kesekian kalinya? Haruskah Zayyan kembali tersiksa dengan semua pengobatan kemarin?
"Yan, lo harus janji satu hal sama gue," celetuk Zafran tiba-tiba.
"Janji apa, Ran?"
Zafran mendongak, menatap lurus ke iris mata Zayyan. "Gimanapun keadaannya, lo harus bertahan. Apapun yang akan terjadi nantinya, lo harus terus di sini sama gue. Jangan sampai ada kata menyerah yang terucap dari bibir lo." Cowok itu menjeda untuk mengambil napas. "Kita harus sama-sama terus sampai kapanpun."
"Itu kayaknya lebih dari satu hal deh," ledek Zayyan.
"Gue serius, Yan."
Zayyan menghela napas halus. Mulutnya tampak berat untuk menjawab Zafran.
"Iya, Ran, gue janji. Semoga Allah kabulkan."
***
DOUBLE UPDATEEE🥳🥳🥳
Maaf ya akhir2 ini gue sering mangkir dari jadwal update. Kemarin jadwal gue berantakan banget. Apalagi gue nambah kerjaan nulis naskah buat salah satu AU gue yang mau diterbitin :')
Tapi gue bakal berusaha nyelesain cerita ini. Sebenernya ngga bakal banyak2 sih partnya. Maaf banget ya kalo selanjutnya gue bakal telat update lagi, semoga aja engga. Tapi engga bisa janji juga. Tapi ngga ditepati🥺
Part selanjutnya, mulai masuk ke bagian angst nih. Siap siap ya :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top