6 - Perkara Balikan

Zafran benci pada takdir hidupnya, lebih tepatnya ketika ia menyadari terlahir sebagai anak kembar tak semudah itu. Ada sebuah ikatan batin yang mengikat ia dengan Zayyan. Ikatan yang takkan pernah terputus sampai kapanpun, bahkan saat maut memisahkan.

Apa yang dirasakan Zayyan, dia tahu. Apa yang dipikirkan Zayyan, dia bisa tebak. Begitulah ikatan yang Zafran maksud. Mungkin Zayyan belum menyadari hal ini. Berbagai macam kebohongan telah dilontarkan cowok itu. Mungkin ia berhasil membohongi Zafran, tapi ia tidak akan bisa membohongi ikatan yang menghubungkan jiwanya dengan Zafran.

Zafran tidak akan begitu marah mendengar omongan Farrel jika ikatan anak kembar itu tidak menyalurkan rasa sakit yang diderita Zayyan. Raut wajah Zayyan berubah drastis. Ada sebuah gejolak hebat yang membuat bola mata anak lelaki itu berair. Zafran bahkan rela melawan egonya untuk membahagiakan Zayyan. Namun orang asing itu berani sekali membasahi pipi saudara kembarnya.

Farrel mungkin sudah babak belur kalau saja orang-orang di kantin gagal melerai. Zafran langsung pergi dari kantin untuk menenangkan diri. Tungkainya melangkah lebar dan tegas berlomba dengan air mata yang terus mendesak keluar. Zafran begitu terpukul melihat saudara kembarnya harus mengalami kejadian memalukan seperti ini.

Zayyan sudah berbeda, tidak seperti dulu. Sekeras apapun Zafran menolak fakta tersebut, sekeras itu pula Tuhan menamparnya dengan kenyataan. Mengapa ia harus menerima takdir semacam ini? Mengapa Zayyan mau terlahir sebagai seseorang yang berlomba dengan kematian? Kebahagiaan macam apa yang diperlihatkan Tuhan hingga keduanya mau terlahir ke dunia?

Di bangku yang dipayungi rindangnya pepohonan, Zafran mengusap sudut matanya yang basah. Zayyan butuh bahunya untuk bersandar. Dia harus kuat agar saudara kembar tersayangnya tidak terjerembab.

“Ran? Kamu ngapain di sini?”

Zafran mendongak. Sial, itu Allisya.

“Eh? Kamu nangis?!” tambah Allisya yang terlihat panik langsung duduk di sebelah Zafran.

“Apaan sih kagak!” balas Zafran sewot.

“Kamu ada masalah ya, Ran? Ada apa, Ran? Cerita aja sama aku,” bujuk Allisya.

“Gue nggak apa-apa. Lo ngapain sih di sini?”

“Tadi aku ma uke kantin trus nggak sengaja liat kamu duduk sendirian di sini makanya aku samperin.”

“Udah, kan, nyamperinnya? Ya, udah lanjut aja ke kantin.”

“Kamu kok dingin banget sih sama aku?”

Zafran mendengus. Drama dimulai.

“Kamu masih marah sama aku, Ran?”

“Nggak.”

“Trus kenapa kamu harus kaya gini?”

“Emang gue harus gimana?”

“Kamu berubah, Ran.”

“Semua orang emang butuh perubahan. Masa stuck di tempat terus?”

“Bukan itu maksud aku.”

Tak ada lagi percakapan di antara keduanya. Zafran tak menggulirkan bola matanya sedikitpun pada Allisya. Berbanding terbalik dengan Allisya yang terpaku menatap rahang tegas Zafran. Cewek itu rindu, rindu pada sosok Zafran dan segala kebahagiaan yang pernah cowok itu berikan padanya.

“Kamu mau balikan sama aku nggak, Ran?”

Raut wajah Zafran mungkin tampak biasa saja. Namun jantungnya sudah berdebar tak karuan.

“Gue nggak pacaran sama cewek orang,” jawab Zafran dingin.

“Cewek orang? Emang aku cewek siapa, Ran?”

“Ya, siapa lagi?”

“Evan maksudnya?”

“Udah tau ngapain pake nanya,” sahut Zafran sarkas dengan tersenyum miring.

“Aku nggak ada hubungan apa-apa sama dia, Ran. Sumpah! Aku harus jelasin kayak gimana lagi, sih?”

“Ya, nggak usah dijelasin. Gue nggak minta, kan?”

“Berarti kamu mau balikan sama aku?”

“Lo nggak bosen apa ngejar gue? Move on, Sya! Banyak cowok yang lebih baik dari gue.”

“Tapi aku maunya kamu, Ran!”

“Dewasa lah, Sya! Jangan kaya anak kecil!” 

“Makanya ayo balikan!”

“Allisya!”

Itu bukan Zafran tapi Evan yang mendadak datang Bersama Zayyan.

“Ngapain di sini, Sya?” tanya Evan melihat Allisya murung. Tangan cowok itu bertengger di pundak Allisya, tak luput dari pandangan Zafran.

Allisya yang menyadari tatapan tidak suka Zafran menari pundaknya pelan agar tangan Evan terlepas dari sana. Evan memicing lantas beradu pandang dengan Zafran yang tengah menatapnya. Zafran beranjak pergi. Allisya hendak menyusul tapi ditahan Evan.

“Biar gue aja yang ngejar Zafran, Sya,” ujar Zayyan seraya melangkah tapi ditahan Allisya.

“Ada yang mau gue omongin sama lo, Yan.”

***

“Gue minta maaf dulu sempet nuduh lo jadi alasan gue putus sama Zafran, Yan. Gue harusnya ngertiin Zafran yang saat itu lagi sibuk ngurusin lo. Tapi gue malah egois. Gue minta maaf kalau dulu sempet ngomong hal yang ngga enak buat lo.”

Keduanya duduk di kursi yang diduduki Zafran tadi. Atas permintaan Allisya, Zayyan bersedia mengobrol sejenak dengan cewek itu. Evan sendiri pergi menyusul Zafran.

“Gapapa, Sya. Nggak usah dipikir. Udah gue maafin,” jawab Zayyan tak lupa dengan senyum ramahnya.

“Kabar lo sekarang gimana, Yan?”

“Alhamdulillah, udah lebih baik dari dulu.”

“Gue punya satu kenalan dokter yang udah sering ngobatin pasien yang punya sakit kaya lo. Alhamdulillah bisa dipercaya. Udah jadi langganan juga di keluarga gue. Kalo lo mau, gue bisa kirim kontaknya, Yan.”

“Makasih banyak, Sya. Nanti kalau butuh, gue kabarin lo.”

Keduanya saling melempar senyum. Suasana berubah canggung. Allisya tampak ingin membicarakan sesuatu tapi ragu. Zayyan bisa membaca dari gelagatnya yang gelisah.

“Ada lagi yang mau diomongin, Sya?” tanya Zayyan.

“Mmm, itu …,” jeda Allisya sejenak. “… gue boleh minta tolong nggak, Yan?”

“Minta tolong apa?”

“Bantuin gue deket sama Zafran lagi, please! Gue pengen balikan sama dia. Gue masih sayang banget sama Zafran!”

Zayyan terkejut. “Kok minta ke gue?”

“Lo kan saudara kembarnya. Zafran pasti mau dengerin kata-kata lo.”

“Maaf ya, Sya, kayaknya gue nggak bisa. Itu urusan kalian berdua. Gue nggak berani ikut campur. Apalagi menyangkut hubungan kayak gini.”

Allisya mendengus kecewa.

“Sya, hubungan itu dibangun atas persetujuan dua belah pihak. Kalau salah satu pihak nggak mau, pondasinya nggak akan kuat. Kalau dipaksain juga nggak akan baik buat lo maupun Zafran. Daripada lo mikir gimana cara buat balik sama Zafran, mending lo cari cara buat ngembaliin kepercayaan Zafran. Kalau Zafran udah percaya sama lo, gue yakin dia juga bakal mau balikan sama lo.”

***

“Panas ya tadi liat Allisya sama Evan?” ledek Zayyan pada Zafran saat keduanya tengah berboncengan dalam perjalanan pulang.

“Nggak lah ngapain!” Zafran menjawab dengan intonasi tinggi yang malah bikin dia keliatan cemburu.

“Masa? Kalau kagak, ngapain langsung pergi tadi?”

“Ya, gue sumpek aja!”

Helm Zafran ditabok Zayyan. “Sama aja, tolol!”

Zafran membalas dengan menyikut perut Zayyan.

“Eh, to-do list selanjutnya kencan, kan?” tanya Zafran.

“Iya! Lo udah tau mau ngajak siapa?” jawab Zayyan semangat.

Sudut bibir Zafran terangkat sebelah. “Udah, gue mau ngajak Hana.”

“Hah? Hana? Hana gebetan Evan?!”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top