3 - Makan Bubur Ayam

"To-do list selanjutnya, makan bubur!" ujar Zayyan penuh semangat.

"Punya lo diaduk," timpal Zafran.

"Ah, masa diaduk sih? Kan gue nggak suka!"

"Kemarin pas gue manggung sama Niskala juga nggak suka. Tapi tetep gue lakuin," jawab Zafran dengan intonasi menyindir.

"Iya, iya! Kita mau makan di mana?"

"Di rumah aja, nanti gue yang beli buburnya."

"Males banget makan di rumah! Makan di tempat aja!"

"Lo kan masih belum sehat, Yan."

"Kata siapa? Kemarin gue bisa dateng ke konser lo tuh!"

"Dan berakhir hampir pingsan sampe harus istirahat di ruang transit?"

Zayyan cemberut. "Tapi gue bosen di rumah terus."

Zafran berdecak malas. Ia paling tidak suka dengan ekspresi Zayyan saat ini. Ekspresi yang buat dia nggak bisa menolak permintaan Zayyan. Jangan-jangan adik kembarnya itu sudah tau apa kelemahannya.

"Nanti gue dimarahin ayah kalau ngajak lo keluar."

"Gue yang minta ijin."

"Di luar banyak asap, Yan. Kemarin pas konser aja masih ada yang ngerokok walaupun udah dipasang plang larangan ngerokok segede itu. Gimana kalo kita makan di luar sana?"

"Cari yang tempatnya tertutup aja!"

"Oke, fine!" Zafran menyerah. "Sana ijin sama ayah."

Zayyan bergegas menghampiri ayahnya yang sedang sarapan. Untung saja sang ayah belum pergi. Dia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan pergi dari rumah bersama Zafran, selagi lelaki itu tengah libur beberapa hari karena ada ujian.

"Ayah, aku mau makan di luar ya sama Zafran. Boleh kan?"

Ayah menoleh, sekaligus bunda yang memang sedang menemani ayah sarapan.

"Mau makan di mana?"

"Nggak tau, tapi aku sama Zafran mau makan bubur ayam. Paling di ujung gang."

"Dibungkus aja, makan di rumah."

"Makan di tempat aja, Yah. Bentar aja kok."

"Bunda sudah selesai masak kok. Makan di rumah saja ya?" timpal sang ibu.

"Aku pengen makan bubur ayam, Bun. Bentar aja beneran! Nggak akan mampir ke mana-mana!"

Zafran yang sedari tadi menyimak pembicaraan dari lantai dua lantas menghampiri Zayyan. Sepertinya kembarannya itu butuh sedikit bantuan di sana. Kasihan juga. Sebagai seorang ekstrovert, Zayyan pasti tersiksa kalau terus-terusan di rumah.

"Ijinin aja, Bun. Dia kalo mau sesuatu nggak bisa diganggu gugat."

"Sama abang?" tanya sang ibu.

"Iya sama aku. Tenang aja. Zayyan aman selama ada aku."

"Tuh," tambah Zayyan mendukung. Bagaimanapun caranya, dia harus bisa keluar dari rumah ini. "Boleh ya?"

"Boleh asal berangkatnya naik mobil. Jam segini jalanan lagi rame banget, banyak debu dan asap. Zafran kan sudah bisa bawa mobil," ujar sang ayah memberi syarat.

"Hah? Serius? Sejak kapan?" tanya Zayyan tak percaya.

"Dah lama, keren kan? Kunci mobil mana, Yah?"

"Di belakang, gantungan biasa. Kamu bawa sedan putihnya aja. Yang hitam mau ayah bawa."

"Siap! Yok!" ajak Zafran pada adik kembarnya.

Zayyan tampak masih tidak percaya kakak sepuluh menitnya itu diperbolehkan membawa mobil oleh sang ayah. Dan yang membuatnya lebih bingung lagi, sejak kapan ayah dan anak itu jadi akrab? Di mana rasa canggung yang menyekat keduanya?

"Ran, lo utang banyak cerita sama gue. Dan demi apa, lo harus ngajarin gue bawa mobil!"

***

"Dulu, mana bisa kita makan berdua kayak gini ya," ujar Zayyan memulai sesi nostalgia. "Saking bencinya sama gue, lo bahkan nggak mau sekedar natap muka gue," tambahnya sambil membenahi posisi topi yang bertengger di kepalanya.

Zafran menenggak air minum. Benar kata Zayyan, dia bahkan sempat mengutuk takdir yang membuat cowok di sebelahnya ini jadi adiknya. Zafran sempat berpikir kalau hidupnya akan baik-baik saja kalau Zayyan tidak ada. Namun kini sebaliknya, Zafran tidak akan bisa hidup tanpa Zayyan.

"Lo dulu benci ya sama gue?" tanya Zayyan.

"Banget."

"Sakit banget loh dengernya."

"Sekarang kan udah engga."

Zayyan tersenyum bangga.

"Engga banget maksudnya," tambah Zafran.

"Berarti masih benci?"

Zafran mengangguk. Tangannya yang sedang menyendok bubur disenggol Zayyan hingga buburnya hampir tumpah. Zafran membalas dengan mengaduk-aduk bubur Zayyan.

"Jangan diaduk mulu woy! Ini bubur gue udah nggak ada bentuknya banget!"

"Lo duluan yang mulai."

Zayyan mendengus kesal lantas memainkan bubur dalam mangkuknya tanpa dimakan. Demi apapun Zayyan udah nggak selera liat buburnya yang udah tercampur jadi satu. Salah satu hal yang menurutnya menjijikan, makanya dia nggak suka makan bubur diaduk.

"Kita bisa bareng-bareng sampe tua nggak ya, Ran?"

Zafran tersedak.

Zayyan panik lantas membantu cowok itu mengambil minum.

"Pembahasan lo nggak bermutu banget!" ujar Zafran kesal. Ketakutannya masih sama. Setiap Zayyan membahas hal berbau kepergian, Zafran tidak pernah bisa menahan rasa takutnya.

Setakut itu Zafran kehilangan Zayyan.

"Gue kan cuman nanya," jawab Zayyan yang nggak sadar sama ketakutan kembarannya. "Eh, gue pernah baca sesuatu di sosmed. Mau gue tunjukin ke lo lupa terus. Bentar!"

Zayyan lantas mengeluarkan ponselnya. Zafran meletakkan sendoknya menanti sesuatu yang akan ditunjukkan Zayyan. Ponsel Zayyan disodorkan ke arahnya. Ia lantas mendekat.

"Ada orang yang nulis di sini. 'Anak kembar kalau salah satunya meninggal, kemungkinan nggak lama saudara kembarnya akan meninggal juga.' Ngeri nggak sih? Berarti kalo gue meninggal, lo bakal meninggal juga dong, Ran?"

Tidak ada kalimat yang terucap dari bibir Zafran. Lagipula, apa yang harus ia jawab untuk pertanyaan konyol macam itu? Tidak bermutu. 

***

Halo! Gimana tanggapan kalian sama part ini?

Emang iya ya kalo anak kembar salah satunya meninggal, yg satunya bakal ikut meninggal? 🧐 Berarti Zafran ... 😳

Maaf nggak terlalu panjang isinya, tapi tetep ngena kan? 😬

Btw, buat scene konser Niskala, kalian bisa baca di AU yaa!

Sampai ketemu minggu depan❤️✨

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top