17 - Baikan

Sesampainya Zafran di rumah, ia disambut oleh keluarganya yang sudah menunggu di ruang tengah. Mereka sontak menatap Zafran sampai cowok itu duduk bergabung dengan mereka.

"Kamu baik-baik aja, Ran? Ada yang luka?" tanya bunda khawatir. Wanita tersebut sudah mengetahui sebagian cerita dari Zayyan yang sudah terlebih dahulu diinterogasi.

"Nggak ada, Bun. Aku baik-baik aja."

"Kamu bohongin bunda ya, Nak? Zayyan juga sama, bohongin bunda. Memang bunda pernah ngajarin kalian untuk bohong, ya?"

Sepasang anak kembar itu menunduk. Nada bicara sang ibu memang lembut, tapi masih cukup menusuk rasa bersalah mereka.

"Bunda juga nggak pernah ngajarin kalo menyelesaikan masalah pake kekerasan kan, Zafran?"

Zafran hanya mengangkat kepalanya sedikit untuk melihat raut wajah ibunya. Ia kembali menunduk saat mendapat tatapan penuh kekecewaan dari wanita tersebut.

"Bagaimana kabar anak yang kamu pukulin?"

"Aku belum tau, Bun. Tapi besok aku mau jengukin kok," jelas Zafran.

"Jangan diulangi lagi ya, Nak? Bunda tau rasanya nggak nyaman denger ada yang ngejek adik kamu. Tapi masiiihh banyak cara untuk menyelesaikan masalah selain kekerasan. Kekerasan itu banyak ruginya dan nggak ada manfaatnya. Tinggalin kebiasaan buruk itu, ya? Zafran kan anak baik. Masa anak baik berantem sih?"

"Maaf, bun...."

"Iya, bunda maafin."

"Sekarang kamu minta maaf sama adik kamu," timpal sang ayah mengejutkan Zafran.

"Buat apa?!" jawab Zafran sewot.

"Ayah tau, kalian berdua lagi marahan, kan?"

"Loh, iya gitu? Kenapa bisa marahan?" sahut bunda.

Bunda menatap kedua anaknya yang tidak kunjung menjawab. Zayyan yang berkali-kali beradu tatap dengan sang bunda lantas bersuara.

"Gara-gara Zafran tuh! Sok jagoan banget mukulin Elang sampe masuk rumah sakit!"

"Loh?! Gue ngelakuin itu juga gara-gara siapa, hah?!"

"Emang gue pernah minta lo mukulin Elang?!"

"Trus lo pikir gue bakal diem aja kalo ada yang ngejek lo???"

"Zafran ... Zayyan ..." peringat sang bunda menghentikan keributan keduanya.

"Zayyan nggak boleh ya marah sama Zafran. Walaupun bunda nggak membenarkan cara dia tapi dia seperti itu untuk melindungi kamu. Kamu harus berterima kasih sama Zafran. Nggak boleh marah-marah."

"Iya, bunda."

"Zafran juga nggak boleh marah sama Zayyan. Dia marah sama kamu karena dia khawatir kamu kenapa-kenapa. Maksud kalian berdua baik. Tapi caranya masih salah. Diperbaiki lagi, ya? Kita belajar sama-sama buat jadi manusia yang lebih baik setiap harinya."

Keduanya mengangguk bersamaan. Melihat itu, ayah dan bunda mengulum senyum karena gemas dengan tingkah anak kembar mereka yang sering kali terlihat sinkron satu sama lain.

"Yaudah sekarang kalian pelukan," pinta sang ayah yang langsung mendapat tatapan protes dari Zafran.

"Hah?! Nggak mau la—" Ucapan Zafran terpotong saat ia menoleh ke Zayyan yang ternyata sudah merentangkan tangannya, bersiap memeluk Zafran.

"Tuh, Zayyan mau," ledek ayah.

"Ya, dia mau, aku ogah!"

"Zafran ..." Kali ini bunda ikut mengompori.

"Arrgh! Kenapa sih! Yaudah sini lo!" jawab Zafran kesal sembari merentangkan tangannya.

Zayyan yang duduk berbeda sofa dengan Zafran lantas beranjak dengan senang. Ia berlari kecil dan menubruk tubuh Zafran hingga hampir terjungkal. Orang tuanya sontak tertawa melihatnya.

***

Tok! Tok! Tok!

"Ya?" Zafran yang baru saja merebahkan tubuh di kasur spontan kembali bangun mendengar ketukan pelan di pintu kamarnya.

"Zayyan," ujar seseorang yang mengetuk pintu tadi.

Bola mata Zafran berputar malas. "Masuk," pintanya kemudian diikuti bunyi kenop pintu yang terbuka. Seseorang tampak menyembulkan kepalanya dari sana sambil tersenyum membuat Zafran memalingkan wajahnya malas.

"Belum tidur?" tanya Zayyan basa-basi sembari duduk di kursi belajar Zafran.

"Udah! Udah sampe ngimpi umroh gue!" balas Zafran sewot. "Mau ngapain? Jangan ganggu gue ah! Gue mau tidur. Cape banget gue hari ini."

"Gue ... cuman mau minta maaf sama lo aja, sih." Zayyan menggaruk kepalanya. "Maaf kalo gue bikin lo kesel."

"Bukan kalo tapi emang iya. Lo ngeselin."

"Ya intinya minta maaf."

"Perbaikin dulu kalimatnya."

"MAAF KEMARIN GUE NGESELIN."

"Gausah ngegas."

"Iya maaf."

Keduanya kompak diem. Zafran pura-pura sibuk sama ponselnya padahal dia diem-diem ngelirik Zayyan yang lagi mainin ujung kaos warna tosca yang dia pake sambil merengut sedih. Kadang Zafran mikir, kok bisa ya personality dia sama Zayyan bener-bener beda? Zafran udah memasuki gengsian era alias dia udah malu dimanjain sama orang tuanya padahal dia pengen tapi dia nggak mau?? Yang Zafran anggap itu adalah bentuk pendewasaan diri.

Beda sama Zayyan yang ... liat aja dah mulutnya tuh yang digentak dikit aja langsung monyong kek bebek.

Zayyan tuh kek stuck di umur lima tahun alias bocil banget anjir??? Buktinya aja tadi dia seneng banget disuruh pelukan sama Zafran padahal Zafran udah merinding banget bayangin dia pelukan sama Zayyan dan DITONTON orang tuanya. Please, mereka udah bukan balita yang keliatan gemes kalo pelukan!

Alasan lain yang bikin Zafran mikir kalo Zayyan itu masih bocah adalah raut mukanya yang apa sihhhhh matanya bulet berbinar-binar gitu. Trus dia juga suka majuin bibir bawahnya kalo lagi ngelamun kek sekarang yang kadang bikin Zafran pengen NONJOK. Kadang juga Zayyan tiba-tiba diem kek NGEBUG. Zafran bener-bener bingung.

Itu aslinya Zafran mau ngomong kalo Zayyan sekarang gemes guys. Tapi dia kan lagi memasuki gengsian era (SEBENERNYA DARI DULU) jadi nggak mau mengakui. Ya kan ran?  *menggoda*

Dan yang gemes bukan cuman Zafran aja, tapi ayah sama bunda juga iya. Mereka bener-bener memperlakukan Zayyan kek BALITA dan itu bikin Zafran ENEK (padahal pengen juga) ngeliatnya. Sekecil apapun hal yang dilakuin Zayyan selalu diperhatiin sama orang tuanya.

Tapi Zafran nggak sepenuhnya kesel kok kalo orang tuanya lebih manjain Zayyan daripada dia. Zafran mikir kalo Zayyan emang pantes dapetin itu semua. Sikap mereka berubah kaya gini sejak Zayyan berhasil bangkit dari operasi. Mereka, termasuk Zafran, bahagia banget masih bisa kumpul sama Zayyan hingga sekarang. Ngeliat anak itu lebih sehat dari sebelumnya dan semoga selalu makin sehat setiap harinya. Mereka nggak pengen melewatkan satu pun kesempatan bahagia bersama Zayyan, selagi hal tersebut masih diizinkan.

Nggak terasa sepasang mata Zafran mulai perih. Dia langsung berhenti memikirkan itu. Nggak keren banget kalo dia nangis di depan Zayyan gini.

"Udah mau ngomong gitu doang?" sambung Zafran karena Zayyan tak melanjutkan kalimatnya lagi.

"Engga, masih ada." Zayyan menaikkan kedua kakinya ke kursi lantas memeluknya. "Yang dibilang bunda tadi bener. Gue marah sama lo karena khawatir lo kenapa-kenapa. Elang itu udah sering berantem di sekolah. Pasti dia udah jago. Sedangkan lo nggak pernah berantem. Gue lega pas tau lo menang dari Elang. Tapi gue takut pas Evan ngechat kalo lo mau nemuin orang yang masih ada hubungannya sama Elang. Gue nggak bisa mikir jernih. Takut lo dikeroyok. Takut lo nggak menang."

"Ya itu kan udah lewat. Yang penting gue nggak kenapa-kenapa sekarang."

"Tapi besok-besok jangan kaya gitu lagi. Jangan berantem-berantem lagi."

"Asalkan nggak ada yang ngomong macem-macem, gue nggak bakal macem-macem juga."

Zayyan mendengus kesal. "Ran! Kita nggak punya kuasa yang cukup buat mengontrol orang lain. Tapi kita bisa kontrol diri sendiri. Kita dikasih dua tangan sama Allah cukup buat nutup telinga aja, bukan buat nutup mulut orang-orang."

"Salah itu, kita dikasih dua tangan itu buat menghantam orang-orang, Yan."

"Lo aja sini gue hantam!" ujar Zayyan sambil mengangkat tinjunya. Kepalan tangan itu tampak kecil di mata Zafran yang lantas membuatnya tertawa.

"Tapi yang dibilang bunda soal gue peduli sama lo juga bener, Yan." Zafran membuka topik baru. "Semua yang gue lakuin adalah bentuk kepedulian gue sebagai saudara kembar lo. Sakit hati gue ngeliat sikap lo kemarin yang malah maki-maki gue tanpa ngucapin makasih sedikitpun. Gue tau cara gue salah. Tapi setidaknya hargain usaha gue buat belain lo, Yan."

"Iya, maaf," sahut Zayyan. "Makasih udah peduli sama gue," tambahnya lagi dengan suara bergetar.

"Gue bakal selalu peduli sama lo, Yan. Mungkin sekarang cara gue masih salah. Tapi lo denger kan kata bunda tadi? Kita harus belajar jadi manusia yang lebih baik setiap harinya. Gue juga bakal belajar memperbaiki kesalahan gue sekarang biar bisa jadi lebih baik lagi."

"Iya, gue juga bakal belajar lebih menghargai lo dan jaga diri biar nggak ngerepotin lo lagi."

Sepasang anak kembar itu bertatapan lantas tersenyum. Zafran beranjak menutup jendela untuk mengalihkan perhatian karena dia hampir nangis lagi. "Dari dulu kek sadarnya kalo selama ini lo ngerepotin gue."

Zayyan hanya tertawa kecil. "Gue emang terlahir buat ngerepotin lo karena gue adek!"

"Ooh lo adek? Adek yang baik harus berbakti sama abangnya. Sekarang ke bawah, ambilin gue minum."

"Dih???? Kok gitu konsepnya???"

"Sstt! Nggak boleh bantah abang sendiri. Cepet ambilin minum. Udah kering banget tenggorokan gue. Sana, cepetan!"

Zayyan mengentak kakinya ke lantai dengan kesal sambil mengangkat kepalan tangannya, berpura-pura menonjok Zafran. Setelahnya, dia melenggang pergi dari sana.

"Oh iya, gue mau ngomong lagi," ujar Zayyan yang baru saja membuka pintu tapi kembali ditutup lagi.

"Udah buruan elah gue udah seret banget!"

"Enggak ini penting!"

Zafran lantas bersandar di dinding sambil melipat tangannya menghadap Zayyan.

"Lo tadi bilang bakal selalu peduli sama gue. Gue pengen itu bukan sekedar omongan. Rasanya sakit pas lo cuekin gue kemarin. Lo jadi asing kaya dulu. Jangan kaya gitu lagi ya, bang? Gue nggak mau ngelewatin masa-masa itu lagi. Gue pengen dipeduliin sama lo terus selamanya.

Bahkan sampai nanti kita nggak bisa bertegur sapa lagi, gue harap kita nggak pernah jadi asing seperti dulu lagi."

— To be continue —

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top