10 - Ini ... nyata?
ZAFRAN POV
Tubuh gue masih mematung. Brankar yang mustahil mengangkut Zayyan itu perlahan hilang dari pandangan. Sayup-sayup tangisan bunda memancing perhatian gue. Bunda tampak terkulai lemas di pelukan ayah dengan deraian air mata yang membasahi pipi cantiknya.
Tangan kanan gue digenggam. Entah untuk mencari kekuatan atau memberi kekuatan. Namun gue masih tak bergeming. Masih mencerna seluruh kejadian yang berlalu sangat cepat. Ini … nyata?
Genggaman tangan bunda dihempas. Gue lantas mendobrak pintu ruangan Zayyan hingga suaranya bergema ke seluruh koridor rumah sakit. Lengang, tidak ada siapapun di dalam sana. Semua barang masih tertata rapi di tempatnya. Hanya Zayyan dan brankar tempatnya beristirahat yang telah hilang entah ke mana.
Hah … ini konyol!
Pasti gue salah ruangan!
“Bun, kayaknya kita salah ruangan. Zayyan udah pindah ke ruangan lain, Bun! Aku tanya ke customer service dulu, ya!”
Ayah sontak mencekal saat gue hendak berlari mencari keberadaan Zayyan.
“Ran, sudah,” ujar beliau lemah.
“Aku mau cari ruangan Zayyan, Yah! Dia pasti udah pindah ruangan!”
“Jangan begini, Ran. Ayah mohon. Kamu harus bantu ayah jadi kuat di sini.”
“Lepas, Yah! Aku mau ketemu Zayyan!”
“Zafran ….”
Kali ini bunda yang menghambur ke pelukan gue. Tangisnya makin deras sampai bisa gue rasakan tubuhnya bergetar. Pandangan gue makin kabur oleh gumpalan air mata yang mendesak keluar. Bukannya membantu gue untuk melepaskan diri dari pelukan bunda, ayah malah ikut memeluk gue dengan erat.
Gue berusaha berontak. “Bun, aku mau cari Zayyan, Bun! Lepas!”
“Ikhlas, Ran, ikhlas ….”
“Ikhlas apanya, Bun?! Nggak ada yang perlu aku ikhlasin! Zayyan! ZAYYANNN!!!”
Gue meronta-ronta untuk terbebas dari mereka. Teriakan yang menggema membuat beberapa penghuni pasien berhamburan keluar. Tampak perawat dengan kawalan keamanan rumah sakit berlarian menghampiri kami. Mungkin karena gue memang udah nggak bisa terkendali.
Mereka mengambil alih tubuh gue dari pelukan ayah dan bunda. Gue masih bersikeras melepaskan diri. Kuatnya usaha gue untuk membebaskan diri menuai hasil hingga cekalan mereka terlepas. Namun akibatnya tubuh gue terhuyung dan terjatuh membentur tembok.
Dug!
“Argh!”
“Ran?”
Huh …?
Yan …?
Itu suara lo …?
“Ran? Lo jatuh?”
Zayyan …?
Dinginnya lantai merambat ke permukaan pipi. Kelopak mata gue membuka perlahan, tampak kolong … apa ini? Bola mata gue lantas bergulir ke atas, menemukan sebuah brankar dengan seseorang duduk di atasnya, menatap gue bingung.
Eh …
“Pfft!!! Lo ngapain di situ woy! Bangun!”
Otak gue mendadak bekerja lambat untuk mencerna apa yang terjadi. Pandangan gue berpendar. Menemukan kolong meja, kolong kursi, dua pasang sandal jepit, dan sebuah koper yang tergeletak di lantai. Dahi gue berdenyut pegal mmebuat gue mengelusnya sejenak. Tunggu … itu tadi siapa yang ngomong???
Mata gue sontak bergulir cepat kembali ke atas. Lah … Zayyan?
“Lo lagi cosplay jadi cicak apa gimana? Bangun, woy! Kotor itu seragam lo!”
Gue yang masih mengais kesadaran lantas bangun, terduduk di lantai dengan sorot mata yang mungkin kaya orang linglung. Sumpah … ini gue kenapa, sih?
“Ah, gue lupa nggak foto lo tadi. Padahal lucu banget. Lo beneran kaya cicak sumpah!”
Dia terbahak sampai gue kembali menaruh atensi ke dia. Ini orang … kembaran gue? Si Zayyan? Ini beneran Zayyan? Kan dia tadi ….
“Ran, lo nggak amnesia, kan? Lo cuman jatoh dari sofa loh bukan gedung pencakar langit. Eh, yang bener aja lo! Kenapa tatapan lo gitu banget? Jangan ngerjain gue ya lo! Gue takut beneran nih!”
“Lo … Zayyan?” tanya gue ragu-ragu.
“Bukan, gue Zayn Malik. Yang bener aja deh lo! Perlu gue pukul biar ingatan lo balik?”
“Lo beneran Zayyan?!”
“Ran, jangan kaya gitu! Gue takut sumpah! Lo nggak kesurupan, kan? Bunda! Zafran kesurupan!”
“Eh, eh, ada apa ini ribut-ribut?”
Seorang wanita paruh baya muncul dari balik pintu. Lah, ini bunda kok di sini?
“Zafran, kamu ngapain duduk di lantai? Bangun. Itu celana kamu kotor loh!”
“Bun! Kayaknya dia kesurupan deh! Tuh, liat! Tatapannya kosong!”
“Hus! Yang bener ngomongnya. Nggak boleh ngomong gitu.”
Bunda lantas menghampiri dan menuntun gue untuk kembali duduk di sofa. Ini gue masih pusing. Yang tadi apaan dah? Gue barusan mimpi atau ini lagi mimpi?
“Kamu kenapa, Ran? Pusing?” tanya Bunda yang duduk di sebelah gue.
“Bun, coba cubit aku.”
“Eh?” Bunda tampak bingung.
“Cubit yang keras, Bun!” Bukan gue yang ngomong, tapi Zayyan. Eh, itu beneran Zayyan?
Bunda lantas mencubit lengan gue. Tidak terlalu keras tapi cukup membuat gue berjengit. Ini sakit, gue bisa ngerasainnya. Berarti gue nggak mimpi?
“Kamu kenapa, sih, Ran? Kecapean ya?”
“Aku tadi mimpi ….”
Tatapan gue bergulir ke Zayyan yang tampak menyimak pembicaraan gue dengan bunda. Ia memakai piyama bermotif beruang dengan selang infus tertanam di punggung tangannya. Wajahnya pucat seperti biasa namun sedikit cerah karena keliatan seneng habis ngeledek gue. Zayyan masih di sini. Zayyan masih ada sama gue.
“Mimpi apa, Ran?”
Jantung gue masih berdebar kencang. Gue meraup wajah yang tampak basah dan mengucek mata yang terasa perih. Mimpi tadi benar-benar terasa nyata. Bahkan sesaknya masih ada. Kenapa gue harus dapet mimpi menyeramkan kaya gitu? Ini bener-bener nggak lucu.
“Nggak apa-apa, Bun. Aku mau cuci muka dulu deh.”
Gue lantas beranjak dari sofa. Melewati Zayyan yang masih menatap gue heran. Tangan gue terulur ragu menepuk pundak Zayyan. Nyata, Zayyan memang ada di sini. Kehadirannya tak hanya bisa gue lihat, tapi bisa juga gue rasakan. Senyum tipis tergurat di bibir. Lega. Tangan gue lantas beralih mengusap kasar kepalanya.
“Minggir, ah!” elak Zayyan sembari menampik tangan gue.
Huff … ini gila. Gue nggak akan menceritakan mimpi itu ke orang lain, bahkan untuk mengingatnya pun enggan. Semoga gue nggak pernah dapet mimpi kaya gitu lagi.
Dan semoga mimpi itu nggak pernah jadi nyata.
***
ZAYYAN POV
Ya, kembali lagi ke rumah sakit.
Baru aja gue seneng bisa ke sekolah kaya orang-orang, gue udah balik lagi ke sini.
Kayaknya mereka kekurangan duit deh sampe minta duit ke ayah gue mulu.
Ya, sebenernya ini salah gue juga sih. Harusnya pas gue ngerasa tubuh gue nggak enak, gue langsung lapor Zafran buat ambilin obat atau mungkin anter gue pulang. Tapi karena guenya sok kuat jadinya kaya gini. Ya udah lah ya, mungkin udah takdirnya gue balik ke RS. Mungkin dokter Dian udah kangen berat sama gue.
Saat gue membuka mata, gue sudah berada di ruangan VIP dengan jarum infus yang menancap di tangan kanan. Bunda tampak sedang makan, tepat di samping ranjang. Sedangkan Zafran terlelap di sofa dengan masih menggunakan seragamnya.
Semuanya tampak lelah. Maaf, gue bener-bener beban di sini. Seandainya saja gue nggak sakit, pasti mereka nggak akan kecapean.
Atau seandainya saja, gue nggak pernah ada di sini. Pasti mereka nggak perlu memikul beban berat nggak berguna kaya gue.
Bunda berpamitan untuk membeli minum yang lupa ia bawa. Dia juga mau beli makanan dan camilan buat gue dan Zafran. Kini tersisa gue dan Zafran yang masih tidur di ruangan. Ayah mungkin masih di kantor. Syukurlah ayah nggak menyia-nyiakan jam kerjanya buat gue.
Posisi sofa ada di depan ranjang gue. Jadi gue harus bangun kalau mau melihat Zafran. Namun karena tiba-tiba kepala gue pusing, gue lantas kembali mengistirahatkan diri. Zafran terdengar mendengkur dan mengigau. Nggak tau seberapa capenya Zafran sampai tidurnya pun nggak tenang. Gue bisa membayangkan gimana kalutnya Zafran pas gue pingsan tadi di sekolah.
Tiba-tiba terdengar sesuatu yang terjatuh. Mata gue yang terpejam sontak membuka. Setelahnya terdengar rintihan dari seseorang yang gue kenal, Zafran. Dia nggak merespons panggilan gue. Gue lantas bangun dan melihat Zafran tergeletak di lantai sambil mengusap dahinya.
Awalnya gue menganggap hal itu sebagai lelucon. Namun melihat tatapan Zafran yang tampak kosong mencari-cari sesuatu membuat gue termenung. Apa yang ada di pikiran dia? Apa yang baru saja terjadi? Apa Zafran barusan mimpi sesuatu? Dia keliatan kaget sekaligus lega melihat keberadaan gue.
Ah, menyebalkan. Zafran nggak mau ceritain mimpinya ke gue. alih-alih cerita, dia malah marahin gue yang pingsan di sekolah.
“Makanya jadi orang nggak usah sok kuat! Sebelumnya kan udah gue bilang, kalo pusing nggak usah sekolah! Lo nggak bisa bohong tentang kondisi lo ke gue, Yan. Gue paham kalo lo sakit tuh gimana.”
Bibir gue mengerucut sebal dengan tangan terlipat di dada. “Trus kalo tau gue sakit, kenapa lo nggak nemenin gue? Kenapa lo malah pergi?”
Ucapan gue membuat Zafran terdiam. Ah, kayaknya gue salah ngomong.
“Nggak, ding. Tetep gue yang salah karena nggak dengerin omongan lo,” koreksi gue kemudian buat ngilangin rasa bersalah yang mungkin lagi menghantui Zafran.
“Baguslah kalo lo sadar,” jawab Zafran seraya menjitak kepala gue dan melangkah pergi.
“Agh! Mau ke mana?!”
“Boker, mau ikut?”
“Mau.”
“Sinting.”
Padahal gue serius. Soalnya gue juga kebelet.
***
Haiii!!!!
Udah lama ya kita nggak ketemu 😭😭😭
Maaf ya, kemarin aku sibuk ngelarin skripsi. Alhamdulilah sekarang udah kelar. Tinggal satu kali ujian lagi dan aku unofficially sarjana! 🥳
Kali ini aku mau fokus nyelesain cerita ini dulu daripada cerita2ku yg lain. Soalnya hmm hmm aku kangen sama si kembar 😭
btw jangan lupa follow akun terbaru Twitter-ku ya @/haruquinzaa soalnya akun sebelumnya kena hack 😭
Sampai jumpa besok! 💗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top