1 - Breathe Again
Satu persatu keluarga Zayyan keluar dari ruangan. Evan refleks memeluk Zafran saat melihat temannya berjalan lunglai dengan mata yang sembab. Mereka semua menangis. Pasrah dengan segala hal yang akan terjadi pada Zayyan. Walaupun besar harapan untuk dapat melihat Zayyan bernapas kembali.
Segala hal sudah mereka lakukan untuk kesembuhan Zayyan. Puluhan obat sudah dikonsumsi. Rambut Zayyan yang hampir habis pun menjadi bukti seberapa banyak ia melakukan kemoterapi. Tidak adil rasanya semua usaha itu lenyap di meja operasi.
Zafran tidak peduli akan dianggap cengeng sebab air mata yang tak berhenti mengalir. Takut, tak pernah ia merasakan ketakutan sebesar ini sebelumnya. Zayyan adalah satu-satunya orang yang selalu ada di sisinya, bahkan sejak dalam kandungan. Ia tidak bisa membayangkan harus hidup tanpa kembaran tersayangnya itu.
“Udah, Ran. Gue yakin Zayyan kuat. Gue yakin kita bisa ketemu dia lagi setelah ini. Jangan khawatir. Semuanya bakal baik-baik aja,” hibur Evan yang setia merangkul Zafran untuk menenangkan.
“Gue cuman nggak bisa bayangin hidup gue tanpa Zayyan. Kalo dia pergi, gue harus gimana? Gue beneran nggak bisa,” jawab Zafran parau yang sukses membuat perih berpasang-pasang mata yang mendengarnya.
Tak ada lagi kata yang terucap setelah itu. Mereka sadar, tidak ada hal yang bisa menenangkan Zafran selain kabar baik dari Zayyan. Kabar operasi lelaki itu telah berhasil. Kabar lelaki itu berhasil melawan maut. Kabar mereka akan bertemu lagi. Kabar mereka tidak akan berpisah. Hanya itu yang Zafran butuhkan.
“Gue mau beli makan sama minum dulu, ya,” pamit Zanna sambil mengusap pipinya yang basah.
Evan memberi isyarat pada Zanna untuk mendekat. Gadis itu lalu mendekatkan telinganya ke Evan. “Tolong beliin makan sama minum buat Zafran sama orang tuanya. Camilan ringan aja buat isi perut sambil nunggu Zayyan,” bisik Evan.
“Iya, gue emang mau beliin buat mereka,” jawab Zanna yang diangguki Evan.
“Gue nemenin Zanna ya?” ijin Farrel lalu melenggang menyusul Zanna setelah mendapat ijin dari Evan dan Devon.
***
Operasi yang memakan waktu cukup lama itu akhirnya selesai. Berhasil, Zayyan berhasil melewatinya. Semua orang yang mendengar kabar tersebut tak henti-hentinya mengucap syukur pada Tuhan. Zafran sontak memeluk ibunya begitu erat. Segala ketakutan yang bercokol di hati runtuh. Zayyan kembali.
Semuanya menangis. Beruntungya Tuhan masih mengijinkan tangis bahagia yang menggema di sana.
Namun Tuhan belum mengijinkan mereka bertemu Zayyan segera. Lelaki itu tak kunjung bangun dari tidurnya. Matanya terpejam rapat. Tak ada respons yang terlihat dari tubuh Zayyan selain napas yang mengembus. Zafran kembali frustasi. Mengapa Zayyan begitu senang bermain dengan ketakutannya?
“Dokter bilang nggak ada yang salah dari Zayyan. Mungkin dia perlu waktu untuk beristirahat sejenak. Kamu nggak usah mikir macam-macam. Doakan saja yang terbaik untuk adik kamu,” ujar ayah menyadari anaknya kembali terpuruk.
“Iya, Yah,” jawab Zafran singkat. Ia tahu ayahnya menyelipkan sedikit kebohongan di sana. Kalau tidak ada yang salah, tidak mungkin Zayyan masih tertidur pulas di ruang ICU. Dia pasti sudah bangun, sudah pulang, sudah bisa berbicara dengannya. Zafran muak dengan segala kebohongan orang tuanya tentang kondisi Zayyan.
Sang ayah mengambil tempat duduk di sebelah Zafran. “Ayah senang melihat hubungan kamu sama Zayyan jadi lebih baik dari sebelumnya. Ayah sempat khawatir kamu sudah nggak mau mengakui Zayyan sebagai adik.”
Zafran menjeda sejenak sebelum menjawab. “Kalau ayah bisa memperlakukan aku sama Zayyan dengan adil, aku sama Zayyan nggak akan pernah renggang kaya dulu.”
Lengang. Keduanya menatap kosong. Sang anak sedikit menyesali ucapannya. Sedangkan sang ayah begitu tertohok dengan ucapan sang anak.
“Jadi, semuanya salah ayah ya?”
“Iya.”
“Apa yang nggak adil menurut kamu?”
“Ayah selalu bandingin nilaiku sama Zayyan. Aku benci banget.”
“Ya itu karena nilai kamu jelek. Makanya ayah bandingin biar kamu termotivasi buat lebih baik lagi.”
“Termotivasi enggak, stres iya.”
Sang ayah terbahak mendengar jawaban sang anak.
“Ayah bisa nggak berhenti bandingin nilaiku sama Zayyan?”
“Ya, kalau nilai kamu bagus, ayah berhenti.”
Zafran mengubah posisi duduknya menghadap sang ayah. Tangannya memberikan gestur untuk meyakinkan. “Yah, setiap anak itu punya kelebihan masing-masing. Nggak bisa disamain. Buktinya ayah neken aku buat jadi kaya Zayyan nggak berhasil kan? Itu karena aku sama Zayyan beda!”
“Kalian kan kembar, beda darimana?”
“Yah!”
Tawa sang ayah kembali menggelegar. Zafran tampak kesal menyadari sang ayah tidak serius menanggapi keluhannya.
Tepukan keras mendarat di bahu Zafran. “Kalau begitu, tunjukkan pada ayah apa kelebihan kamu. Ayah pengin tahu kamu bisa apa.”
Zafran merotasikan bola matanya malas. Sang ayah yang gemas lalu mengacak rambut anak lelakinya itu. Zafran semakin kesal namun diakhiri dengan tawa ringan bersama.
“Ada apa nih? Kok ketawa nggak ngajak bunda?” timpal sang bunda yang baru kembali dari kantin untuk membeli makanan.
“Ini si Zafran lagi minta saran cari cewek yang cantik kaya bundanya di mana.”
“KAPAN AKU BILANG GITU?”
“Jangan cari yang kaya bunda dong! Kan cuman ada satu, punya ayah aja,” sahut sang bunda ikut meledek Zafran.
“Oke, silakan bermesraan. Saya pamit.”
Ayah dan bunda Zafran tertawa puas sebab berhasil mengerjai anak mereka. Tawaan itu lantas terhenti saat seorang dokter keluar dari ruangan Zayyan.
“Pasien sudah siuman.”
***
“Lo lama banget sih bangunnya, Yan! Cape nih gue nungguin lo!”
“Cape apa kangen?”
“Baru bangun udah bisa ngeledek aja lo!”
Zayyan tersenyum ringan. Sang bunda menyibakkan rambut poni Zayyan dan mengelusnya lembut. “Sudah baikan, nak? Masih ada yang sakit?”
Zayyan mengangguk lemah. “Maaf, aku tidurnya kelamaan,” ujarnya lirih.
“Nggak apa-apa. Bunda senang Zayyan masih di sini.”
“Bekas operasinya kan masih baru jadi masih sakit. Nanti lama kelamaan juga sembuh. Nggak apa-apa,” timpal sang Ayah menenangkan.
“Kita pulang kapan?” tanya Zafran.
“Adik kamu baru siuman udah minta pulang,” jawab ayah sewot.
“Bosen di sini. Mana baunya nggak enak!”
“Kalau kamu mau pulang duluan nggak apa-apa. Zayyan sepertinya masih menginap di sini untuk beberapa hari. Pulang saja nggak apa-apa, nak. Istirahat di rumah. Besok sekolah kan?” saran sang bunda.
Zafran tampak memikirkan ucapan sang ibu. Matanya melirik Zayyan yang ternyata sedang menatapnya. Timbul keinginan Zafran untuk terus bersama Zayyan, berada di sisi Zayyan, menemani Zayyan sepanjang waktu. Tak ingin rasanya ia jauh dari adik kembarnya itu.
“Nggak jadi, deh.” Zafran beranjak duduk di kursi yang tersedia. Bibir pucat Zayyan mengulas senyum tipis.
***
Halo!
Gimana sama part 1 nya? Nggak sedih kan? Nggak dong, Zayyan kan udah berhasil ngelewatin operasinya :D
Btw, jangan lupa vote sama komen ya biar gue makin semangat nulisnya hehe♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top