Tidak selamanya senja berwarna jingga
Seseorang pernah bilang padaku, ah, bukan. Lebih tepatnya ia bercerita tentang segala sesuatu yang mampu membuatnya mengajukan sebuah tanya. Bagi seorang manusia yang tidak begitu peduli dengan segala sesuatu di sekitarnya, tentu saja hal ini cukup bahkan sangat mengejutkan.
Wow! Ternyata sosok yang apatis sekalipun masih bisa bertanya tentang dunia dan segala keanehannya. Begitu pikirku sembari mendengarkan ceritanya.
Dia pernah bilang dengan kerutan yang cukup kentara pada dahi. Tak habis pikir dengan berita yang baru saja ia baca di sosial media. Terasa aneh pun jauh dari kata nyata. Namun, yang lebih aneh lagi hal itu memang benar terjadi.
Aku yang bingung dan tidak pandai menebak ini tentu saja langsung mengajukan tanya. Ingin dia mengatakan segalanya lebih jelas lagi. Mengenai apa yang ia bahas. Masalah apa yang menurutnya tidak mungkin terjadi, tapi malah terjadi.
Dia menghela napas, mulai bercerita secara runtut. Di sela-sela ucapan, ia jeda sebentar dengan tegukan es jeruk yang telah lama ia pesan. Bulir air di dinding gelas makin banyak, seakan-akan berkembang biak. Ukurannya kian besar dan tinggalkan jejak basah di atas meja. Dia perhatikan lama bekas air yang melingkar di atas meja, kemudian memintaku untuk memperhatikan jejak yang ditinggalkan es jeruk itu.
Meski heran, aku tetap melakukan apa yang ia minta.
Dia bilang, "Apa dunia segila ini ya sekarang? Masa ada hal-hal aneh seperti ini dan aku nggak tau apa-apa. Ada anak yang mau jual ibunya, ada yang tega mukulin kakeknya, ada yang bunuh ayahnya hanya karena disuruh ibadah, segila inikah dunia?" Lantas ia berdecak sambil sesekali memijat pangkal hidung.
Sedangkan aku hanya mengulas senyum hambar. Kalau dipikir lagi memang aneh, tapi begitulah cara dunia bekerja. Tidak semua orang punya jalan berpikir yang sama. Bahkan tingkat kekejaman pun memiliki standar yang berbeda bagi tiap orangnya.
Terlebih ketika telah dikuasai oleh emosi. Orang bisa kehilangan akal hingga yang tersisa hanya nafsu saja. Jadi tidak mengherankan jika ada beberapa manusia yang kejamnya melebihi hewan di hutan belantara. Akal dan hatinya sudah mati.
Dia diam lagi, kemudian tertawa. Entah apa yang buat dia semakin terbahak.
Mengerti dengan diamku yang ganjil, ia mulai meminta maaf. Dia hanya tak habis pikir bagaimana bisa hal seperti itu terjadi? Bahkan es jeruk saja bisa tinggalkan jejaknya di meja. Apalagi manusia. Terutama orang tua.
"Bagaimana bisa jejak mereka hilang begitu saja dari hati mereka?"
Dan aku hanya bisa bilang, dunia ini penuh dengan kejutan. Tidak selamanya senja berwarna jingga. Apa yang kamu pikirkan tidak selalu sama dengan apa yang kamu lihat. Dunia ini bukan hanya teori dan ilmu pasti. Ada banyak faktor pembentuk, dari yang sangat jelas sampai yang paling abstrak.
"Berat ya rasanya hidup di dunia?" Ia bertanya lagi. Aku mengangguk. Tidak berniat memberi sanggahan.
"Tentu, karena kita di sini hanya berkunjung. Suatu saat nanti akan datang waktu bagi kita untuk pulang ke tempat yang lebih baik dan pasti." Aku mengalihkan pandang darinya, kini tatapku tertuju pada awan kelabu yang berarak di atas sana. Halangi sinar mentari. Tutupi presensinya dari sedikit bagian bumi. "Sepertinya Tuhan memang sengaja menciptakan dunia dengan segala kejanggalan dan kekejaman yang dikandungnya. Supaya kita tidak mencinta pada sesuatu yang fana; sesuatu yang rusak; sesuatu yang akan binasa, lenyap, serta hilang. Agar tidak berat ketika harus melanjutkan perjalanan. Karena sekali lagi, kita ini hanya singgah."
Dia kembali diam, merenung. Ciptakan sepi yang segera selimuti kami. Tidak betah dengan nuansa beku yang kian menjalar, aku pun kembali berujar.
"Namun, seperti yang kubilang tadi; dunia ini isinya bukan hanya teori dan ilmu pasti. Tidak selamanya senja berwarna jingga. Faktanya, dunia yang begitu menyeramkan ini begitu dicinta hingga tak rela jika harus ditinggalkan begitu saja."[]
24.11.19
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top