Tamparan

"Bilang apa kamu tadi?"

Panca melihat tangan yang kini tengah mencengkeramnya erat. Dia emosi dan diperlakukan seperti ini rasanya makin menjadi. Dia ingin menghantamkan tinjunya pada wajah mulus sang kakak.

"Nggak bilang apa-apa."

Ia masih berusaha melepas tangan Esa yang masih mencengkeram erat lengannya. Esa kalau marah memang menyeramkan.

"Kamu pikir kakak nggak denger? Apa tadi? Darting?"

Habis sudah kesabaran Panca. Ia segera menghempas tangan Esa dan menjawab kata-katanya dengan nada tinggi. "Iya! Darah tinggi! Puas?!"

Sebelah tangan Esa sudah terangkat di udara, Panca tahu sebentar lagi tangan itu akan mendarat di pipinya. Entah kiri, kanan, atau bisa jadi keduanya.

"Jangan gila kamu, Panca! Dia ibu kamu, yang sopan kalau ngomong!"

Dua saudara itu masih beradu pandang dengan sengit. Sampai yang tertua mengalah, ia menghela lantas mengusap wajah. Mencoba meredam amarah. Tangan yang melayang di udara pelan-pelan ia turunkan, hampir saja ia gunakan untuk menyakiti adiknya.

"Panca, maaf. Jangan kasar sama ibu. Kasian dia, kalau kamu benci sama Esa, marahnya sama Esa aja. Jangan bawa-bawa ibu. Kalau ibu bikin kamu dongkol jangan dilawan kayak gitu, bilang baik-baik. Kebayang nggak gimana kalau ibu sampai denger? Pasti sakit hati banget."

Panca tetap bergeming, napasnya masih memburu. Ia juga sama marahnya. Ia benci dibentak, dan ibu baru saja membentaknya. Gara-gara Esa. Di sisi lain, dia begitu menyesal. Terlebih setelah Esa pergi dan menepuk pundaknya dua kali. Panca menutup mata, ada anak sungai mengalir di atas pipinya. Kata-kata Esa sukses menamparnya.

"Pan, kita berdua itu dari kecil nyusahin. Jangan sampai pas udah gede malah nyakitin."[]















20.07.19

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top