Siluet

Kalau kamu bertanya hal apa yang membuatku patah hati, dan siapa penyebabnya. Jangan kaget jika mendengar jawaban yang kuberi adalah kamu. Iya, kamu penyebabnya.

Aku sangat berterimakasih dengan perhatian-perhatian kecil yang kamu beri. Aku sangat bersyukur saat ada yang memegang pundakku dan membisikkan kata, "Sudah biarkan saja. Kamu nggak salah. Tenang ada aku, bentar lagi pulang kan? Nanti pulang bareng."

Tingkahmu membuat hatiku hangat, mengundang bahagiaku datang saat sakit hati melanda. Perhatian itu membuatku merasa istimewa, sangat.

Lantas saat kutahu kamu tidak lagi sendiri, hatiku mulai resah. Rasa bersalah pelan-pelan tumbuh, aku merasa jadi orang yang paling jahat. Ketika tahu ada perempuan lain yang telah kusakiti hatinya tanpa sengaja.

Terlebih jawabanmu saat itu. Ketika ditanya mengenai siapa yang lebih cantik, yang di sana atau di sini?

Kamu bilang, "Cantikan yang di sini."

Dan jawabanmu merujuk pada seseorang, aku. Entah atas dasar apa, aku memilih tidak peduli. Kita tidak memiliki ikatan, kita hanya dekat sebagai teman. Tidak lebih. Jadi kupikir akan baik-baik saja jika tidak menjaga jarak. Bersikap seperti biasa, sebelum aku tahu fakta tentangmu.

Lalu, setiap malam aku merasa sangat berdosa. Jadi kuputuskan sebaliknya, menjaga jarak memang jadi satu-satunya pilihan. Aku sadar jika aku telah jatuh padamu, dan menolak untuk masuk terlalu dalam. Aku ingin keluar.

Keluar dari tempat yang sudah membuatku nyaman, bukankah itu berat? Karena saat itu, kamu satu-satunya tempatku menangis. Di dalam neraka paling mengerikan dalam hidupku. Kamu orang yang kupercaya saat temanku menghunuskan pedangnya dibalik punggung.

Kamu bilang, kamu sangat kagum dengan pemikiranku.

Kamu bilang, kamu menyukai sikapku yang lebih mementingkan keluarga daripada diri sendiri.

Kamu bilang, kita berdua mirip.

Kamu rela menerobos hujan demi mengantarkan aku pulang. Kamu rela putar balik meski membutuhkan waktu satu jam demi membawaku pergi. Kamu rela sakit, demi aku?

Awalnya kupikir seperti itu. Aku seringkali lupa jika kamu sudah tidak sendiri.

Maka, malam itu kuberanikan diri. Bertanya padamu mengenai kekasihmu, "Apa dia nggak akan marah?" begitu kataku ketika itu. Suara itu kukeluarkan separuh berteriak, berbicara di belakangmu dengan dada bertalu.

Kamu menjawab dengan teriakan yang sama. Suaramu sedikir kabur karena tertutup helm dan terbawa arah angin. "Siapa?"

"Pacar kamu."

Hanya embusan angin yang terdengar, kamu menambah kecepatan, lalu menginjak rem mendadak. "Di depan ada polisi, pegangan ya, kita cari jalan alternatif."

Setelah dirasa ada di tempat yang aman, kamu mengurangi kecepatan. Kemudian menjawab, "Nggak akan, dianya ga tahu kok." Jawaban itu membuat hatiku serasa dicubit dengan kuku, kecil, tapi sangat sakit dan memberi bekas cukup dalam. Apalagi ketika mendengar kelanjutan kalimatnya. "Lagian dia juga diem-diem suka main sama temen aku, dia kira aku nggak tahu. Padahal aku tahu semuanya."

Setelah itu, kuputuskan untuk menjauhimu. Sejauh mungkin. Hatiku patah, saat tahu jika selama ini aku hanya dijadikan pelarian saja. Dijadikan alat untuk balas dendam? Kenapa kamu jahat sekali.

Kamu bilang aku lebih cantik, apa itu alasan tambahan supaya kamu bisa melakukan hal kejam begitu padaku? Kamu menjadikanku bayangan, kamu membuatku menjadi siluet dalam hubungan kalian.

Aku tidak mau.

Lepaskan aku, aku juga akan melepasmu. Aku benci menjadi siluet. Karena secantik apapun, siluet tetaplah siluet. Dia akan selamanya hitam.














9 Mei 2019

Aku selalu kagum sama siluet, karena bentuknya cantik2 gitu ya. Walaupun hitam siluet itu tetap cantik, tapi di sisi lain, mau secantik apapun; siluet tetaplah siluet; akan selamanya hitam.

Dari saya yang sudah move on 😊
(semoga)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top