Serpihan harapan
Bosan tidak mendengar ceritaku? Atau mungkin kamu marah karena merasa digurui? Kalau memang seperti itu adanya, aku mau minta maaf.
Maaf karena mau mengguruimu lagi. Haha.
Tidak, tidak. Itu hanya bercanda, jangan dianggap serius. Kamu tahu tidak apa harapan terbesarku ketika sekolah dulu? Harapan yang tidak pernah terucap. Keinginan yang selalu kupendam dalam hati.
Aku mau diantar jemput oleh ayah.
Sama seperti teman-teman. Aku bahkan merasa tidak normal ketika itu. Tidak harus mobil, kok. Bukan motor pun tidak masalah. Walau cuma ada sepeda aku akan tetap menyukainya.
Sejak sekolah dasar, aku selalu ingin diantar jemput. Selama ini aku hanya merasakan apa yang namanya diantar. Kalau dijemput, sih, rasa-rasanya jarang. Nyaris tidak pernah malah.
Setiap kali ada teman yang dijemput oleh ayahnya, aku hanya bisa menatapnya iri. Aku juga mau merasakannya. Terlebih ketika musim hujan tiba. Aku hanya bisa melihat temanku berlari ke arah ayahnya dengan tas melindungi kepala. Nekat menerobos hujan, salaman sebentar lalu naik di jok belakang dengan mantel menelan seluruh tubuh. Kemudian perlahan menghilang dari jarak pandang.
Aku suka sekali melihatnya.
Tapi kadang ada saja anak-anak tidak tahu diri. Sudah tahu hujan ayahnya telat menjemput malah marah-marah tidak karuan, padahal dia makan bakso sambil bercanda dengan teman ketika ayahnya rela bayah kuyup terkena hujan.
Hatiku sakit melihatnya. Kenapa harus marah? Masih untung ada yang menjemput bukan?
Ketika hujan masih turun, kulihat tetesannya jatuh begitu deras lewat genting-genting di atas kelas. Kupejamkan mata dan berdoa. "Aku mau dijemput oleh Ayah." Aku berdoa ditemani ribuan rintik hujan.
Kemudian setelah bertahun-tahun. Akhirnya aku mendapat kesempatan. Ayah mengantarku ketika pagi untuk bekerja. Kemudian datang menjemputku saat petang tiba.
Meski waktu tempuh yang dilalui tidak lama, aku tetap bersyukur. Setidaknya mimpi kecilku telah mewujud nyata. Meski hanya berjalan dua minggu dibarengi sebuah mimpi lain yang harus dipecahkan. Maafkan akuu....
Lantas beberapa bulan selanjutnya ayah jatuh, urat tangannya nyaris putus. Dia tidak lagi bisa menggenggam. Motornya tak lagi bisa digunakan.
Di tengah rasa marah dan sedih, karena itu berarti ayah tidak bisa lagi menjemputku. Tidak bisa mengajariku, aku merenung sambil melihat langit biru. Lewat jendela yang dibiarkan terbuka hingga angin segar menari di atas kulit, aku tersenyum. Betapa baiknya Tuhan padaku. Meski sebentar setidaknya aku sempat diijinkan merasakan apa yang aku inginkan.[]
19.08.19
aslinya lupa ini ditulis kapan. Tapi tangan yang kena ujung batu sampe uratnya keliatan dan kena, darahnya item sukses bikin aku gemeter dan jadi takut liat begituan. Padahal waktu kecil b aja, jijian sih anaknya, tp phobianya ga banyak. Sekarang....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top