Merdeka(?)

"La!"

Gadis dengan rambut sebahu di sofa masih tak bergeming. Di tangannya masih terdapat buku terjemahan terbitan tiga tahun yang lalu. Sampul yang berupa lensa kamera membuatnya tak tahan untuk mengadopsi buku itu dari tumpukan buku obral ke rumah. Mengabaikan peringatan 'dewasa' di belakang sampulnya.

"Syila! Kebiasaan deh kalau gue yang manggil suka di anggurin, heran."

Asyila hapal betul dengan saudara laki-lakinya ini, cuma dia satu-satunya manusia di rumah yang pake gue-elu. Beda dengan Esa yang lebih sopan. Jauh malah. Sofa di sampingnya bergerak begitu ditimpa bokong kakaknya.

"Baca apa sih, khusuk banget, heran."

Satu lagi, cuma dia satu-satunya orang yang paling senang pakai kata 'heran' di ujung kalimat. Tak kunjung mendapat respons pemuda tadi segera merampas buku dari tangan Asyila.

"Bang Panca!"

Tuh kan, berhasil. Panca menyengir saat mendapati wajah sang adik yang mulai merah padam. Menyenangkan melihat adiknya marah begini. Syila dan buku merupakan pasangan yang harus dipisahkan kalau mau dapat perhatian.

"Baca apaan sih, lu?"

"Ela-elu, ela-elu!"

"Haha, kamu deh iya kamuuu. Baca apa sih, dek?" Panca iseng membuka halaman empat puluh buku tersebut, membaca sekilas kemudian matanya tiba-tiba membola. "La! Astaghfirullah yang bener aja bacaannya bikin enak begini, eh, bikin syahwat, ga malu?"

"Apa sih, Bang! Balikin ah! Rese banget jadi orang."

Tangan Asyila yang pendek mencoba meraih bukunya yang ditahan Panca. Tapi Panca tetap tidak peduli. Walau bagaimanapun bacaan seperti ini tidak cocok untuk anak SMA kelas satu seperti adiknya. Kalau sampai penasaran dan pengen nyoba gimana rasanya di luar, bisa berabe entar.

"Heh! Bungsu! Ini kenapa bisa beli bacaan model begini?"

"Model apaan? Bagus kok itu tentang wartawan yang nyoba investigasi pejabat muda ternama di kotanya."

"Di diskotik?"

"Yaelah, Bang Panca ... namanya juga buku terjemahan. Ya gitu isinya, berharap apa sih? Kenalannya di kajian?"

"Ih, kalau dibilangin susah banget!" kata Panca kesal sembari menoyor kepala adiknya. "Dengerin apa susahya, sih, La!"

"Aku bilangin Kak Esa nih, Bang Panca main kepala terus," ucap gadis itu sambil merengut.

"Dasar tukang ngadu, pokoknya buku kamu abang sita. Gamau tahu. Masih bocah beli novel buat dewasa, heran."

"Ambil aja, belum nyampe bagian itu kok."

"Bagian itu apa?"

Rasanya Asyila ingin mengumpat saat itu juga. Kenapa juga dia harus keceplosan seperti ini. Pasti sekarang wajahnya sudah semerah kepiting rebus. "Ya ... itu."

"Jangan bilang kamu udah ngerti lagi apa yang abang omongin. Kalau iya berarti ini bukan yang pertama kali, kan?"

Tidak tahan lagi dengan topik pembicaraan yang membuat wajahnya panas, Asyila segera mengalihkan topik pembicaraan.

"Udah-udah. Ada apa, gak ada angin gak ada ujan, tiba-tiba Bang Panca ganggu waktu luang aku."

"Hm, nggak apa-apa, sih. Tadi kan gue bangun tidur langsung liat snap WA gitu, pada pasang ucapan selamat hari kemerdekaan."

"Terus?"

"Kok gue nggak bisa liat snap WA elu ya, La? Apa---"

"Lu-gue lagi kan. Kesel."

"Iya-iya, sorry. Kok gu--ehem, Abang nggak bisa liat snap WA punya kamu. Jangan-jangan kamu sembunyiin dari Abang ya? Hayo ngaku!"

"Nggak kok. Sok tahu banget, deh. Emang sengaja ga pasang aja. Bukan kewajiban ini."

"Masa sih? Serius?"

"Serius, nih periksa sendiri kalau nggak percaya."

Syila memberikan ponselnya pada Panca. Kesal juga dicurigai seperti itu. Memang sih rasanya tidak menyenangkan kalau keluarga sendiri tahu apa yang kita pasang di snap WA. Berasa ditelanjangi. Tetapi, Asyila memang tidak memprivat snap WA-nya.

Ponsel miliknya sudah kembali.

"Udah percaya?"

Panca mengangguk. "Tapi, kenapa kok nggak ikutan kayak yang lain?"

"Hm, nggak apa-apa. Cuma bingung aja gitu pas mau pasang. Ada hal yang ngeganjel di hati."

Panca langsung memasang mode serius, ia benahi posisi duduknya jadi bersila dengan telapak tangan menopang dagu. Ia tatap adiknya lekat. "Apa?"

Asyila menghela, wajahnya menengadah ke langit-langit rumah yang berwarna gading. Sambil bersandar pada punggung sofa ia melontarkan sebuah tanya yang mampu membuat Panca tercenung.

"Bang, emang kita udah merdeka?"[]






























17.08.19

Sabtu malam pada HUT RI ke-74

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top