Duka Sama Rata
Kamu merenung, melihat dari kejauhan dengan mata menyipit. Pagi itu cuaca mendung, kamu ditemani adikmu untuk berkunjung. Iya, kamu seorang kakak yang langkahnya tidak bisa diajak pergi seorang diri. Posisimu terbalik, bisa apa kamu tanpa seorang adik?
Begitu pikirmu tiap kali minta ditemani. Kamu selalu punya alasan untuk menutupi ketidakmampuanmu dalam menerima keadaan. Sengaja tidak mau dan tidak pernah mencoba mengingat arah jalan. Ketika ditanya alasannya apa, kamu hanya tersenyum tipis. Berharap senyum itu bisa tutupi fakta jika hatimu menjerit dan matamu ingin tumpahkan tangis.
"Tapi aku nggak hapal jalannya, Bu. Besok aja perginya ditemani Adek, ya?" pintamu pada perempuan paruh baya ketika diminta untuk mengunjungi mantan suaminya.
Kamu selalu bilang kalau semuanya memang sudah suratan. Tidak apa, kamu rela dan menerima semuanya dengan ikhlas dan dada yang lapang. Namun, ucapmu hanya bualan semu yang coba sembunyikan sendu. Setidaknya dari orang-orang terdekatmu. Inginmu dianggap kuat agar tidak membebani pikiran mereka. Merasa jadi yang paling tahu dan paling hebat. Padahal semakin kamu umbar senyum palsu, matamu kian jelas sorotkan rindu.
Binar matamu hilang dalam hitungan minggu. Kamu bilang kamu sudah besar. Jadi, akan lebih mudah untuk memahami keadaan keduanya. Toh segala seuatu yang dipaksakan tidak akan berakhir dengan baik. Kamu hanya berharap bahagia akan menetap di kedua belah pihak.
Namun, melihat tempatmu berteduh kian hancur tidaklah semudah itu. Bagaimana caramu bertahan saat tidak ada lagi tumpuan? Pasaknya hilang satu, sulit untuk bisa berdiri tegak. Tidak makin roboh saja sudah bagus. Bibirmu mengucapkan tidak apa, tapi hati merana. Tiap tarikan napas hanya bisa bikin sesak dan tercekat. Jauh dalam sanubari kamu tumpahkan banyak harap, supaya dikuatkan. Kamu mau rumahmu kembali dibuat rekat.
Setelah berusaha membuat penglihatanmu lebih jelas, akhirnya kamu bisa melihat lelaki itu. Dia ada di pinggir pintu masuk. Duduk dengan balutan jaket tebal dan kaos kaki hitam. Di hadapannya terhampar puluhan pasang sepatu dan sandal. Kamu mendekat, dalam hati berharap kalau ini hanya mimpi.
"Pak," panggilmu pada lelaki yang sedang melamun itu.
Refleks yang diberikan olehnya buat hatimu terasa disayat sembilu. "Oh, silakan dipilih sandal dan sepatunya. Boleh dicoba dulu," tawar lelaki itu padamu.
Kamu dikira pelanggan baru, efek dari masker yang kamu kenakan. Melihatnya buatmu mau menangis saat itu juga. Dia, Ayahmu yang presensinya tidak lagi kamu temukan ketika pulang. Tiap sudut rumah hanya hadirkan bayang dan kenangan yang menyesakkan. Lemari di rumahmu kosong. Harusnya di sana ada baju, celana, sorban, sarung dan jaket Ayah.
Ayah yang biasanya mengetuk pintu tiap pulang dari mushola setelah sholat berjamaah. Ayah yang tiap pagi bangunkanmu untuk sholat shubuh. Ayah yang biasanya kamu temukan tertidur di kursi panjang ruang tamu karena lelah, semuanya tidak lagi kamu temukan.
Keluargamu yang sempurna nyatanya punya cela. Keluargamu yang utuh nyatanya kini sudah runtuh. Yang tadinya berdua, sekarang menjadi satu. Yang tadinya saling kini berbalik, berjalan masing-masing. Makin terasa asing padahal bukan orang lain. Harapmu yang ingin merayakan Hari Raya bersama tahun ini, ternyata tidak diijinkan untuk jadi nyata.
Kamu membuka masker, kemudian melempar senyum.
"Lirin, Pak," ucapmu sambil meraih tangan lelaki itu untuk dicium.
Sudah lama sekali rasanya. Padahal biasanya tiap pulang ke rumah hal itu merupakan rutinitas yang tidak pernah terlewat. Lalu adikmu mengikuti apa yang kamu lakukan.
Kamu senang melihat Ayahmu tersenyum begitu melihat wajahmu yang sempat tertutup masker. Kamu berbicara sebentar, hanya lima belas menit kemudian pamit. Bukan, kamu bukannya membenci lelaki itu karena memilih berpisah dengan Ibu. Namun, kamu harus mengejar waktu untuk kembali bekerja di luar kota pada hari itu.
Saat hendak pulang, tetangga yang berjualan di samping lapak Ayahmu bilang, "Oh, ini Pak anaknya yang udah lama nggak pulang. Bapak cerita terus katanya kangen pengen ketemu."
Kamu hanya bisa tersenyum menanggapi kalimat yang diucapkan ibu-ibu di samping lapak dagang Ayahmu. Kemudian saat melihat Ayahmu mengangguk, detik itu juga kamu merasa jadi makhluk paling jahat di dunia. Bisa-bisanya selama ini hanya menganggap kalau kamulah yang paling terluka. Padahal, sebuah perpisahan akan selalu meninggalkan duka yang sama rata. Bagi siapa saja yang mengalaminya. Semua, tanpa terkecuali.
Apakah kini kamu sudah mengerti?[]
8.02.22
Semuanya bakal baik-baik ajaaa, semangaaat ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top