5 | Jeff dan Dua Wanita Kesayangannya
Lusanya, Athena dan Jeffrey tiba di bandara Sam Ratulangi, Manado pukul delapan malam. Perjalanan yang memakan waktu kurang lebih enam jam dan ditambah dengan melakukan transit terlebih dahulu dari Jakarta itu cukup membuat Athena sedikit merasakan jet lag, ini diperparah dengan masa periodnya yang baru datang pagi tadi membuatnya semakin lelah.
Ketika telah mendapatkan taksi dan dalam perjalanan menuju hotel, Jeffrey mengambil ponselnya dan mengabari Omanya. Oma, Jeff sekarang di Manado, Jeffrey tersenyum membaca pesannya yang telah dia kirim. Dan saat Jeffrey mengangkat kepalanya, dia menemukan Athena yang duduk di sebelahnya memerhatikannya. Jeffrey tersenyum masam.
"He he."
"He he?" Athena mengulang dengan alis terangkat satu. "Seumur-umur baru kali ini saya lihat sekretaris main ponsel di depan atasannya, Jeff. Dan itu cuma kamu."
Jeffrey memasukkan ponselnya ke dalam saku celana dan mengusap tengkuknya tidak nyaman, "Maaf bu. Tapi, saya terlanjur janji sama keluarga, kalau sudah sampai di sini langsung kasih kabar."
Athena mendengus dan membuang pandangannya ke arah luar kaca taksi. "Lain kali jangan diulangi."
Setengah jam kemudian keduanya tiba di hotel. Ponsel Jeffrey bergetar di dalam saku celana, dan dia mengabaikannya. Perhatiannya sekarang berpusat kepada Athena yang tertidur di dalam taksi. "Pak, kopernya biar saya aja yang bawa," begitu kata sopir. Dan Jeffrey mencoba untuk memanggil wanita itu, "Bu, kita sudah sampai." Jeffrey kemudian mendekat dan menemukan wajah atasannya begitu pucat. Ini dia sakit? Jeffrey sekali lagi memanggilnya dan kali ini Athena membuka matanya.
"Kita sudah sampai, bu." Jeffrey memerhatikan mata merah Athena. Wanita itu mengangguk dan berkata, "Angkat telponnya, Jeff." Athena keluar dari dalam taksi dan membayar sang sopir yang telah membawa koper mereka masuk terlebih dahulu, kemudian wanita itu masuk ke dalam hotel meninggalkan Jeffrey yang masih di luar.
Omanya menelpon. Jeffrey ingin mengangkat, tapi sekarang dia masih bekerja dan perkataan Athena tadi, meski wanita itu pada akhirnya mengijinkannya, Jeffrey tidak bisa melakukan kesalahan yang sama lagi. Jadi dia memutuskan untuk mengabaikan ponselnya dan masuk ke dalam hotel.
Maaf ya Oma.
*
"Kamu kok tadi nggak angkat telpon Oma?" Jeffrey memeluk Omanya ketika dia baru saja datang ke rumah lamanya. Iya, setelah Athena dan dia memutuskan untuk beristirahat di kamar masing-masing, Jeffrey memakai waktu ini untuk pergi ke rumahnya malam-malam. Sebelumnya dia sudah mengetuk pintu kamar Athena untuk meminta izin, tapi wanita itu tidak membuka pintu. Jadi Jeffrey memilih cara lain dimana dia mengirim pesan kepada atasannya.
"Maaf Oma, tadi Jeff masih jam kerja. Ada bos juga jadi nggak enak buka ponsel di depan dia."
Oma mendesis lalu menepuk punggung cucuknya yang lebar. "Masuk-masuk. Aduh, Jeff setahun kamu nggak balik, kok badan kamu makin tinggi besar begini."
Jeffrey melepas sepatunya sambil tertawa, "Makanan di Yogya enak-enak Oma. Jeff suka lost control."
"Iya kelihatan itu pipi kamu jadi makin bengkak." Oma mencubit pipi cucuknya dengan gemas. Jeffrey kembali tertawa.
"Mama udah tidur ya, Oma?" Jeffrey memandang ke lantai dua tempat dimana Ibunya tidur.
"Belum. Tadi Oma udah kasih tahu dia kalau kamu sudah datang. Dia lagi merajut di atas. Coba aja kamu ke sana, Oma mau nyiapin makanan buat kamu dulu. Kamu belum makan, kan?"
Jeffrey mengangguk sambil memejamkan mata karena tangan sang Oma yang masih memegang kedua pipinya. "Ini dilepasin dulu. Jeff nggak bisa ke atas kalau Oma masih betah pegang pipi Jeff."
Kemudian Jeffrey menaiki tangga setelah Omanya pergi ke dapur. Dia menatap sebentar foto-foto mendiang Ayahnya di dinding tangga. Tersenyum ketika menemukan satu foto dirinya bersama sang Ayah di acara wisudanya.
"Ma," Jeffrey membuka pintu kamar Ibunya setelah dia mengetuk pintunya terlebih dahulu. Ibunya menengok dan tersenyum hingga menampakkan deretan rapi giginya.
Jeffrey mendekat dan memeluk Ibunya dengan gerakan perlahan. Membiarkan tangan Ibunya mengusap rambut belakang dan punggungnya beberapa kali.
"Masih merajut?" Jeffrey bertanya setelah dia melepas pelukannnya dari Ibunya. Memerhatikan wanita itu masih memegang jarum dan benang wol di atas kursi roda.
Ibunya mengangguk kemudian mulai berbicara menggunakan tangannya.
"Kamu kok datang malam-malam begini? Bos kamu bolehin emang?"
Jeffrey ingin membalas perkataan Ibunya dengan tangannya, tapi wanita itu menahannya. "Bicara aja. Nggak apa-apa."
"Jeff takutnya kalau besok nggak sempat ke sini. Jeff udah kirim pesan kok ke bos Jeff untuk minta izin pergi tadi. Jeff di Manado cuma dua hari semalam, Ma. Makanya mumpung ada waktu sekarang, Jeff ke sini."
Ibunya mengangguk lagi, sekarang Jeffrey membiarkan tangan wanita itu mengusap wajahnya seperti membersihkan wajah seorang balita dengan air bersih.
"Apaan si, Ma. Kenapa wajah Jeff dimainin begini coba?" Jeffrey memejamkan matanya sambil tertawa ketika tangan Ibunya mulai mengusap kelopak matanya, menarik hidungnya, hingga mencubit kedua pipinya.
Sang Ibu tertawa tanpa suara. Dan berkata ketika Jeffrey membuka matanya."Kangen. Kamunya lama nggak ke sini, makin gendut aja pipinya. Kembali kecil aja ya, Jeff?"
Jeffrey mengerutkan dahinya tidak setuju dengan perkataan Ibunya, "Masa iya Jeff kecil mulu?"
Ibunya menatapnya dengan senyum mengejek. Lalu kedua tangan wanita itu berpindah mengusap rambut Jeffrey dan berakhir di atas kedua bahu lebar laki-laki itu.
Menghela napas panjang sebelum Ibunya kembali berkata, "Kamu di sana sehat aja, kan? Bos kamu baik-baik aja sama kamu?"
Jeffrey mengangguk, "Banyak yang bilang dia jahat lah, galak lah, tapi menurut Jeff, dia begitu juga karena posisinya. Kalau di luar kantor dia baik, Ma. Malah dia merakyat banget. Dia ke kos Jeff mau bahas kerjaan aja pakai daster sama sendal jepit. Duduk di depan Indomaret posisinya bersila. Sampai orang-orang pada lihatin. Dia yang gitu, Jeffnya yang malu coba?"
Ibunya sekali lagi tertawa kali ini hingga sedikit mengeluarkan air matanya. "Mama jadi penasaran orangnya kayak gimana. Besok, kalau kamu sempat ke sini, ajak dia, ya? Mama nggak pernah tahu muka dia gimana."
Jeffrey tidak mengangguk atau menggeleng. Dia hanya tersenyum memikirkan kembali jadwal besok yang penuh hingga malam hari kembali menuju bandara. Nggak ada waktu ke sini kalau besok. Jeffrey pada akhirnya mengalihkan pembicaraan. "Sudah malam, Ma. Istirahat ya? Sini, Jeff gendong Mama."
Jeffrey membersihkan peralatan rajutan Ibunya dan meletakkannya di atas nakas. Kemudian mengangkat wanita itu dari kursi rodanya menuju tempat tidur. Mengusap rambut Ibunya yang tipis lalu mencium keningnya sebentar. "Jeff ke bawah dulu. Oma katanya nyiapin makanan buat Jeff."
*
"Jadi itu bos kamuㅡsiapa sih namanya? Antena?"
"Athena, Oma." Jeffrey mendengus memerhatikan Omanya yang meletakkan piring-piring di atas meja.
"Apalah itu nama sok barat banget." Oma mendecak sambil mengambil nasi untuk Jeffrey, "Nama keluarganya Caridad, kan?"
Jeffrey mengangguk, "Kenapa Oma nanya nama keluarganya?"
"Kamu tahu tunangan dia, Andrea Thonio Orian? Bapaknya tadi datang ke acara amalan Bank nasional di sini. Dan omongannya tinggi banget. Bangga-banggain anaknya tunangan sama Antena."
Jeffrey memutar kedua matanya ketika Omanya kembali salah menyebut nama atasannya. Sabodo lah. Lalu dia kembali mendengarkan Omanya berbicara, "Ih, waktu itu mulut Oma gatal mau ngomong heh, cucuk saya lebih beruntung lihat tunangan anak kamu setiap hari, setiap jam. Ketimbang anak kamu yang lihat tunangan sendiri sebulan sekali. Tapi ya, Oma masih mikir lah. Nanti kamunya lagi kena semprot di kantor. Terus ini rumah jadi pada ramai tamu karena penasaran gimana mukanya si Antena."
Jeffrey mengangkat piringnya ketika Omanya memberikan lauk rica-rica ayam di piringnya. "Tapi, Jeff." Jeffrey memandang Omanya kembali, "Oma juga penasaran wajah bos kamu itu kayak gimana? Seenggaknya kasih gambaran gitu. Atau kamu ada foto dia?"
Jeffrey mengerutkan dahinya lalu tertawa dengan gelengan kepala. "Ya kali, Jeff selfie bareng atasan sendiri." Jeffrey sekali lagi tertawa membayangkan dirinya mengambil gambar bersama dengan Athena. Yang bener aja. Orangnya kaku gitu.
"Terus mukanya dia kayak gimana? Rambutnya? Badannya?" Oma duduk di seberang Jeffrey dengan salah satu tangan yang menopang wajah tuanya. Ekspresi penasaran dari wajah sang Oma membuat Jeffrey mau tidak mau meletakkan sendok makannya dan berpikir sebentar.
"Bentuk muka dia oval, ada belahan gitu di dagunya." Jeffrey memandang ke atas berpikir lebih keras, "Pandangan mata dia tajam, badannyaㅡkelihatan kurus, tinggi juga. Kira-kira setinggi ini kalau berdiri sama Jeff." Jeffrey menggambarkan tinggi Athena dengan menunjuk telinganya. "Soal rambutㅡkayaknya lurus. Jeff nggak yakin juga Oma. Ibu Athena nggak pernah gerai rambutnya, selalu dia gulung ke belakang."
"Dia cantik?"
Jeffrey menatap Omanya sebentar lalu berdehem mengambil sendoknya, "Cantik." Banget malah.
"Cantikan mana sama Oma?"
"Cantikan Mama lah, Oma nomor dua setelah Mama." Jeffrey tertawa ketika Omanya menatapnya kesal.
"Nggak apa-apa. Yang penting Jeff sayangnya cuma sama Oma sama Mama juga," kata Oma lagi sambil menggeser gelas berisi air kepada cucuknya.
"Kalau Jeff sayang sama yang lain gimana, Oma?"
"Ya nggak usah ke sini lagi kamu. Biar Oma coret nama kamu dari kartu keluarga."
Sekali lagi Jeffrey tertawa kali ini hingga menutup mulutnya mencoba untuk tidak mengeluarkan nasi di dalam sana.
"Oma ngambek ceritanya?" Oma tidak menjawab dan melipat kedua tangannya ke depan.
"Dih, ngambek. Udah tua juga."
"Heh, mulut kamu, ya!"
"Loh? Itu fakta, kan?"
"Jeffrey."
"Iya Oma iya. Becanda ih." Jeffrey menunjukkan peace di jarinya lalu melanjutkan makannya.
"Tapi Oma bener, kok." Sambung Jeffrey lagi setelah menelan makananya.
"Bener apa?"
"Jeff sayangnya cuma sama kalian berdua. Yang lain lewat."
Oma berdecih dengan senyuman di wajahnya, "Halah, ini tambah nasinya."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top