38| Candaan Pria

Siang ini Doni membawa bekal sendiri, bersama Jeffrey. Ini belum tanggal tua, sebenarnya mereka hanya mengadu kemampuan memasak. Semalam keduanya saling menyalahkan satu sama lain dalam permainan memasak di ponsel. Wandi yang mendengar perdebatan tidak berguna itu melalui discord mengatakan kalau sebaiknya menunjukkan kemampuan masing-masing dengan membawa bekal.

Maka siang ini Jeffery membawa masakan nasi goreng ayam, sementara Doni dengan nasi putih beserta ikan bakar nila. Keduanya meminta mas Bounji termasuk Wandi untuk menilai.

Mas Bounji satu divisi dengan Wandi, ciri khasnya selalu membawa makan siang buatan sang Istri. Biasanya Jeffrey menghindari laki-laki itu, sebab berbicara padanya diluar pekerjaan hanya akan diisi dengan petuah pernikahan, atau betapa dia mencintai istrinya.

Jeffrey 'kan nggak relate sama begituan.

Iri sih sebenarnya.

"Waduh. Sudah duduk rapi semua. Saya berasa jadi guru sekolah." Mas Bounji sumringah meletakkan bekalnya yang berwarna ungu itu. Warna kesukaan sang Istri. Sampai Jeffrey sudah terbiasa melihatnya. Mirip terong nggak sih? bisik Doni.

"Mas tinggal nyicip aja masakan mereka." Wandi mengambil duduk di sebelah mas Bounji dan memberikan sendok makan untuk laki-laki itu. "Saya yang nilai visual."

"Kenapa nggak ikut makan juga, Wan?"

"Saya udah makan, Mas. Lagian, saya buta rasa." Wandi melirik kedua temannya yang duduk di seberang meja, sedang mengeluarkan kotak bekal masing-masing. Sebenarnya Wandi belum makan, tapi dia lebih memilih untuk berbohong daripada harus menyicipi masakan teman-temannya. Sudah cukup satu kali saja kedua temannya itu menjadi chef dadakan ketika dirinya sakit. Wandi tidak ingin masuk ke lubang sekarat yang sama. "Di lidah saya semua makanan enak, jadi bingung kalau dihadapkan soal begini. Kalau Mas 'kan istrinya koki, jadi pasti tau lah ya gimana ngasih penilaian untuk rasa masakan mereka."

"Hooo ... kamu bisa aja." Mas Bounji mengusap janggut tipisnya dengan kedua alis naik turun. "Jadi makanan siapa dulu yang saya rasain?" Doni dengan cepat menggeser piringnya ke hadapan mas Bounji.

"Punya saya aja dulu, Mas. Saya ada hmm ... janji."

"Sama siapa?" Jeffrey bertanya dengan kerutan dahi. "Sok penting banget lo."

"Anak baru yang baru masuk di sini itu, ya? Emma bukan? Tadi pagi saya lihat kamu boncengan motor sama dia." Mas Bounji tersenyum nakal. "Doni seleranya yang muda-muda, ya."

"Oooooohhhh, sama Emma." Jeffrey dan Wandi melihat laki-laki bermata kelinci itu dengan seringaian menyebalkan. "Biasanya divisi Doni memang sering nerima anak-anak baru sih, Mas, mana dominan cewek. Yah, kita yang divisinya yang kebanyakan cowok, can't relate." Wandi mengusap dagunya yang baru saja dia cukur beberapa hari yang lalu.

"Nggak puas satu atap, ya?" Jeffrey berbisik, Doni mendelik.

Untuk sesaat, mas Bounji melihat masakan Doni dan berkata kepada Wandi, "Menurutmu gimana dari segi visual?"

"Saya sih suka liat nila bakarnya, Mas. Enak gitu. Cuma karena ditaroh di kotak bekal jadi nggak menarik. Mirip mi goreng keras yang dibawa pas mau berenang." Mas Bounji dan Jeffrey terbahak pada pernyataan spontan Wandi. "Sorry, Don. Emang kenyatannya gitu. Nasi lo emang nggak menarik. Ikan nila lo yang nyelamatin."

Di sela-sela tawanya, Jeffrey melihat kotak bekal Doni berwarna hijau cerah itu, lalu tawanya semakin pecah. "Bener kata Wandi, mirip anak-anak SD yang mau berenang."

"Kotak bekal nggak masuk penilaian, ya," protes Doni. "Cuma visual makanan sama rasanya."

Wandi mengangguk. "Next time, lo pilih-pilih lah warna kotak bekalnya. Hijau begini cocoknya isi jajanan ringan, atau buah-buahan."

"Yang penting fungsinya sama. Ribet amet."

"Tapi daging ikannya empuk loh," kata mas Bounji yang sudah mencicipi potongan kecil dagingnya. Wajahnya sesekali mengerut tengah memastikan rasa lainnya. "Ada sedikit rasa amis sih, tapi masih bisa ditoleransi."

Doni mengangguk, cukup puas dengan komentar mas Bounji. "Kira-kira skornya berapa, Mas?"

"Dari rasa saya, kasih tujuh. Kalau visual gimana, Wandi?" Mas Bounji melirik laki-laki berdasi hitam di sebelahnya.

Wandi mengangkat kedua tangan, dan merentangkan seluruh jarinya. "Sepuluh?" tebak Doni.

"Lima setengah."

Jeffrey kembali terbahak. Doni meringsut kesal dengan penilaian temannya itu.

"Buka kotak bekal lo." Sekarang Wandi melihat kotak bekal Jeffrey yang berwarna abu-abu. Isinya menampilkan nasi goreng dengan sayuran dan daging. "Persis kayak tampilan iklan nasi goreng blue band."

Jeffrey mengangguk. "Berarti menggungah selera."

"Gue pribadi lebih suka yang pakai kecap." Wandi menggeser kotak bekal itu kepada mas Bounji agar laki-laki itu bisa mencicipi masakan Jeffrey.

Mas Bounji menyuap satu sendok nasi goreng, dan alisnya seketika mengerut. "Ini kebanyakan mentega."

Wandi memperbaiki letak kacamatanya. Sudah menduga warna nasi yang kuning keemasan itu begitu mengkilap. Tanda kebanyakan mentega.

Doni tersenyum lebarㅡsenang temannya juga dapat kritikan kurang bagus. Lalu mencoba mencicipi masakan Jeffrey, dan ketika nasi goreng itu masuk ke dalam mulutnya, Doni berusaha untuk menelannya. "Anjir asin banget," komentarnya sebelum meneguk banyak air.

"Masa sih?" Jeffrey mencoba nasi gorengnya sendiri. "Pas aja tuh."

"Coba diperbaiki sedikit indera perasanya. Jangan cuma kepala aja yang dicek." Doni menunjuk Jeffrey dengan sendoknya. "Itu jelas banget asinnya. Lo masukin mentega satu bungkus apa gimana?"

"Namanya juga masak pagi-pagi. Nyawa masih ngambang di langit." Jeffrey mengerut dan menarik kembali kotak bekalnya ketika mas Bounji selesai. Sekali lagi dia mencoba masakannya dan tidak menemukan rasa asin yang dimaksud. Menurut Jeffrey, nasi gorengnya enak.

"Berarti untuk Jeffrey rasa segitu pas. Kan semua orang punya toleransi rasa yang berbeda. Kayak seblak. Ada alasan kenapa itu dibuat pakai level pedas yang beda. Biar semua orang bisa makan itu," kata mas Bounji.

Wandi dan Doni mengangguk. Jeffrey menunjuk Doni dengan sendoknya. "Dengerin tuh."

"Nasi goreng kamu untuk saya memang asin, Jeff." Kembali mas Bounji menilai. "Tapi rasa sayurnya masih segar. Daging ayamnya sendiri udah kecampur sama rasa mentega. Jadi saya nggak bisa menilai secara terpisah. Penilaian saya untuk masakan kamu ... enam."

Doni bertepuk tangan. Senang skor Jeffrey dibawahnya. "Kalau dari visual gimana?" tanya laki-laki kelinci itu kepada Wandi.

"Tampilannya kayak iklan nasi goreng di televisi. Untuk banyak orang pasti buat ngiler, tapi buat gue nggak." Doni tersenyum semakin lebar ketika mendengar komentar Wandi. "Jadi gue kasih lima."

Doni berdiri dari kursinya dan mengelilingi meja itu ala model Miss World. Jeffrey tidak terima dan berkata, "Lo nggak bisa menilai pakai selera lo. Harus dinilai secara transparan, dong."

"Nasi putih Doni aja, gue kasih nilai berdasarkan pendapat pribadi gue. Lo juga ikut ketawa 'kan tadi. Terima aja, deh. Lagian buat hore-hore doang."

Wandi mengabaikan Jeffrey yang mencibirnya dan membiarkan laki-laki itu menikmati nasi gorengnya sendiri. Sementara Doni sudah diminta mas Bounji untuk kembali duduk, Wandi justru menemukan sebuah cakaran panjang di tangan mas Bounji ketika laki-laki itu menggulung lengan kemeja bersiap untuk makan siang juga.

"Dicakar kucing, Mas?" tanya Wandi. Mata Jeffrey, dan Doni seketika mengikuti arah pandang Wandi.

"Bukan. Saya nggak melihara kucing di rumah." Mas Bounji mengusap luka cakaran itu dengan senyuman. "Anak saya tadi pagi ngerengek nggak mau saya kerja. Maunya saya di rumah nemenin dia yang sakit."

"Tapi kalau kena air perih loh, Mas." Doni meringis mengingat cakaran kucing komplek yang melukai tangannya bulan lalu.

"Nggak apa-apa. Segini sih, sudah biasa." Mas Bounji tertawa renyah menatap bujang-bujang di depannya. "Nanti kalau kalian sudah jadi bapak-bapak kayak saya, bakal tahu rasanya."

"Mas, kita nggak perlu jadi bapak-bapak buat tahu rasanya dicakar. Ulurin aja tangan ke kucing atau anjing pinggir jalan," komentar Doni membuat semua orang tertawa.

"Maksud saya, kalian nanti tau rasanya dicakar anak sendiri karena dia nggak mau lihat kita pergi. Cakarnya memang sakit, tapi saya malah makin sayang."

"Kok kedengerannya kayak masokis." Doni dan Wandi spontan kembali terbahak. Jeffrey menutup mulut, sadar kata-katanya kurang ajar kepada mas Bounji. "Maaf, Mas. Reflek!"

"Saya memang suka dibilang istri saya masokis, sih."

Loh?

"Kalau dipukul pakai sapu berarti seneng?" tanya Doni sepolos anak kecil. Mas Bounji mengangguk. "Itu satu kali pukulan sakitnya luar biasa loh, Mas."

"Double slash juga saya seneng."

Jeffrey hampir menyemburkan nasi. Wajah Wandi memerah karena tawanya sendiri ketika mendengar mas Bounji berkata dengan istilah game. Doni mengerutkan dahi, mengingat komik-komik pornoㅡedisi BLㅡpunya Emma.

"Istri Mas dominan?"

Jeffrey menyenggol kaki Doni di bawah sana dengan sepatunya. Pembicaraan sudah terlalu melenceng, rasanya tangan Jeffrey ingin mendorong kepala temannya itu sampai teleng.

Tapi sepertinya mas Bounji tidak terganggu dengan pertanyaan Doni. Malah kelihatan menikmati. Senyum pasta giginya terlihat tulus dari hati.

"Untuk rumah tangga sampai keuangan sudah jelas lah, ya. Dia lebih bisa dipercaya, dan cekatan. Kalau urusan kamar, saya tetap on top."

Ketiga bujang berseru kagum pada sang Sesepuh.

"Bukan masalah siapa yang lebih dominan, sih. Ini cuma hal pembagian tugas rumah tangga aja. Walau istri saya bisa urusan rumah, tapi saya juga harus bantu dia. Hal basic kayak nyuci piring, buang sampah, ambil jemuran yaa ... kita yang laki-laki masa nggak bisa? Apalagi urusan perbaikan kalau ada yang rusak kayak atap bocor? Masa tega liat tangan istri harus nyentuh perkakas kasar begitu? Nah, ngurus anak malah hal wajib. Nggak ada istilah dominan-dominan. Semuanya ikut andil."

Ketiganya mengangguk dan Wandi melihat isi bekal mas Bounji. Berupa nasi liwet cumi yang menggugah selera makannya bertambah. Sadar makanannya diperhatikan, mas Bounji menawarkan kepada tiga rekan kerjanya. "Ayok dicoba dulu. Wandi jugaㅡudah makan tetep harus dicoba."

"Seriusan, Mas? Asiiiik." Jeffrey menggoyangkan kepala sebentar seperti anak anjing. Diliriknya Wandi yang nampak enggan. "Coba aja, Wan. Nggak usah gengsi. Kalau kata orang Kalimantan, nanti keㅡapasih namanya, Don?"

"Kepuhunan," lanjut Doni. Memasukkan sesuap nasi liwet ke mulutnya dan tidak membutuhkan waktu lama mata laki-laki itu berbinar. "Mas ... seriusan ini enak banget. Wah, parah emang."

"Istrinya koki, Don. Jelas lah." Jeffrey kembali menggerakan kepalanya menikmati rasa nikmat di dalam mulutnya. Mas Bounji tersenyum, kemudian tertarik kepada kata-kata Doni sebelumnya.

"Kamu dari Kalimantan, Don?"

"Iya, Mas. Tenang aja, saya nggak punya ilmu hitam atau apalah itu. Saya juga nggak naik babi hutan."

"Nggak, saya nggak akan mikir ke sana. Orang-orang yang mikir begitu kolot banget." Mas Bounji terkekeh. "Saya ada keluarga yang tinggal di Kalimantan juga. Di Kalbar."

"Pontianak?" tebak Doni. Mas Bounji mengangguk. "Kamu di mana, Don?"

"Saya di Kalteng, Mas, Palangkaraya."

"Wah, kalau ke Kalbar pakai kendaraan butuh waktu sehari semalam, dong."

"Mungkin, Mas. Saya nggak pernah ke sana, sih. Nggak ada keluarga di sana."

Setelah selesai menelan nasi liwet di mulutnya, Wandi ikut bergabung. "Kalau dipikir-pikir, karyawannya di sini banyak dari luar daerah, ya. Mas Bounji dari Medan, saya Jakarta, Doni Kalimantan, Jeffrey Manado. Persis kayak bhineka tunggal ika."

"Kamu sendiri kok bisa nyasar ke Yogya?" tanya mas Bounji kepada Wandi. "Kan, kantor Caridad juga ada di Jakarta."

"Yaa ... rezekinya di sini gimana, Mas? Dulu saya juga ngajuin di Jakarta, tapi saya langsung ditawarin di Yogya."

"Emang takdir lo ketemu gue sama Doni," kata Jeffrey.

"Nah, kalau itu musibahnya."

Semua tertawa untuk kesekian kalinya.

*

Selesai makan siang, Jeffrey mengucapkan terima kasih kepada mas Bounji. Tak lupa sesepuh itu memberikan sedikit saran untuk revisi nasi gorengnya. Doni sudah pergi lebih dulu karena Emma terus menelponnya.

"Yaudah, gue mau makan siang dulu."

"Loh? Bukannya lo udah makan?" tanya Jeffrey kepada Wandi yang melihat jam tangannya.

"Itu boong. Ya kali gue harus sekarat lagi gara-gara masakan kalian berdua?"

Jeffrey mengingat bubur ayam yang dimasaknya bersama Doni. Dia tidak tahu kalau bumbu penyedap bisa membuat Wandi diare parah.

"Cuma bumbu penyedap aja lo diare."

"Bumbunya kadaluwarsa dari tiga tahun yang lalu anjir."

"Lagian lo bisa-bisanya nggak ngecek dapur sendiri." Jeffrey mengibaskan tangannya. "Perut lo nggak biasa diajak krisis. Lebay."

Wandi mencibir tapi matanya seketika menyadari ada luka kecil berada di sudut bibir Jeffrey. Dia mengerutkan alis dan bertanya, "Lu habis ciuman sama Miko apa gimana?"

Sebenarnya itu hanya pertanyaan tidak serius, karena Wandi berpikir mungkin temannya ini sedang sariawan atau membentur sesuatu yang membuat bibirnya terluka. Tapi Jeffrey yang reflek menutup mulutnya membuat mata Wandi melotot. "Lo nge-gay sekarang?" tanyanya dengan suara rendah. Mati-matian untuk tidak berteriak.

"Gue timpuk mulut lo, ya." Tangan Jeffrey tertahan di udara ketika mata Wandi menemukan Athena melewati mereka dengan ABC kacang hijau di tangan wanita itu. "Tuh, pujaan hati lo lewat," kata Wandi.

Jeffrey menoleh ke arah belakang dengan sumringah di wajah. Dia baru saja akan mendekati wanita itu tapi diurungkannya ketika mengingat kejadian kemarin. Wandi mengerutkan dahi memperhatikan temannya seketika kembali berdiri di sisinya.

"Kenapa lo? Baru diomelin dia pagi ini?"

Jeffrey menggeleng. "Males aja."

"Males?" Wandi tertohok. "Eh, dia ke sini loh."

Tapi Jeffrey seketika melarikan diri dengan berjalan cepat menyusul langkah mas Bounji. Kedua telinganya yang memerah bisa dilihat oleh Athena dari kejauhan sehingga wanita itu tersenyum ketika mendekati Wandi. "Ibu sama dia berantem?" tanya Wandi kemudian.

Athena memikirkan jawabannya sebentar. "Iya. Tapi bukan urusan perkejaan, kok."

Wandi mengangguk. Lalu matanya menyadari sudut bibir atasannya itu juga sedikit terluka. Sebentar. Wandi memahami kejadian yang sama oleh dua orang yang dia temui hari ini. Kemudian tidak sulit baginya untuk segera tahu situasi apa yang telah terjadi. Ohh. Dia menahan diri untuk tidak tertawaㅡdan karena Wandi payah dalam urusan menahan diriㅡsatu tangannya spontan menutup mulut. Bertingkah seolah mengusap mulut dan dagu.

"Semoga cepat selesai ya, bu, berantemnya." Di dalam kepalanya ada skenario jahat. Wandi akan mengadukan ini kepada Doni. "Kalau gitu, saya permisi dulu. Mau makan siang."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top