37 | Gado-Gado

"Itu gimana, Sist? Badannya oke, kulitnya putih." Miko melirik salah satu staf pria yang baru saja keluar mengambil jam istirahat mereka dari sofa yang tersedia di lantai pertama kantor. Ema memperhatikannya dengan mulut menyangga pensilnya.

"Ada kumisnya, ih. Kayak kumis lele lagi." Ema mencari-cari lagi dan menemukan satu sasaran yang menarik perhatiannya. "Tuh, yang baru keluar dari lift oke juga. Kulitnya tan, tinggi juga danㅡyah! Dia sudah pakai cincin." Miko tertawa ketika Ema mendecak kecewa.

"Maunya yang gimana? Nanti saya coba iseng-iseng berburu ke divisi sebelah. Banyak brondong juga. Uuu, Ibu Athena kayaknya punya stok banyak cowok penyegar mata di sini."

Pada saat itu Linda teman kampusnya yang sekarang bekerja di Caridad bergabung dengan minuman kalengnya. "Ema nggak doyan brondong. Maunya semacam pak Akmal." Pak Akmal yang dimaksu Linda adalah staff bagian HR support yang sudah berusia 55 tahun.

"Nah kalau itu pawangnya di Ohio. Jangan coba-coba dideketin, ya." Linda menunjuk Wandi yang keluar bersama beberapa staf yang lain dan ketika Linda melihat Dini datang mendekati mereka, Linda menggeser duduknya untuk wanita itu. Linda melanjutkan, "Kalau yang baru datang ini nih, kayaknya bau-bau bakal jadian ama Jeffrey."

Ema dan Miko sontak menatap Dini yang duduk tersipu malu. "Kok bisa?" Ema bertanya dengan senyuman antusias dibuat-buat. Walau dalam hati ia mulai menerka kalau Jeffrey bermain di belakang sepupunya. Awas aja!

"Tadi pagi pas baru markir motor, gue liat Jeffrey datengin Dini. Kebetulan Dini juga baru markir motor. Terus apalagi, Din?" Linda melirik Dini meminta wanita itu untuk menceritakan hal selanjutnya. Karena sekarang mata Linda sedang melakukan scan kepada staf pria yang terus keluar dari lift bak model. Siang bolong begini memang paling mujarab kalau melihat hal yang menyejukkan mata. Angin segar, angin segar. Linda mengusap dadanya takjub melihat pemandangan indah yang berlalu lalang di depannya.

"Dia mau ketemu sama gue siang ini. Jadi dia minta ketemuan di lantai satu. Gue agak grogi kalau sama dia doang, makanya gue bawa Linda," kata Dini sambil memperhatikan pakaiannya apakah masih terlihat rapi atau tidak. Ema ber-oh seadanya. "Lo sama Miko di sini ngapain?"

"Nunggu mas go-food datang. Tapi kenapa musti grogi sih, Din? Kan ketemuannya juga di tempat ramai begini dan Jeffrey nggak main terkam manusia juga," balas Ema.

"Naksir mas Ganteng ya?" Miko menunjuk Dini dengan genit. "Iih mukanya ketahuan banget. Hi hi hi." Linda tertawa, Dini memukul Miko untuk menyembunyikan salah tingkahnya.

"Lo nggak ikutan demen sama Jeffrey juga, Lin?" Sekarang Emang beralih kepada Linda. Wanita itu menggeleng dengan mulut mengerucut. "Jeffrey itu hmm gimana ya ... sekali lo lihat lo bakal sadar diri gitu. Sadar diri kalau lo cuma bisa lihat dia yang terlalu bersinar. Sebatas kagum sama ciptaan Tuhan. Nggak ada niat untuk memiliki seutuhnya. Anjay kata-kata gue iuh banget." Ema tertawa di sana ketika Linda geli sendiri dengan ucapannya.

"Kenyataannya kalau lo di Indonesia, lo juga nggak bakal bisa sama dia. Beda keyakinan. Bubar-bubar." Ema membuat suasana semakin riuh dengan kata-kata menyindir pasangan beda agama di luar sana.

"Berarti kalau di luar Indonesia jadi dong, ya? Oh, wait. Setahu gue sudah ada deh lembaga atau apalah itu sebutannya yang bisa buat pernikahan beda agama di sini. Tapi gue kurang update infonya lagi." Linda melirik Dini dengan ekspresi menggoda. "Wah, Din. Gue kayaknya bisa nikung lo."

"Nyerocos aja lo monyet betina." Ema menggelitik pinggang Linda hingga wanita itu meminta ampun.

"Eh, mas Ganteng umurnya berapa deh? Seumuran kalian 'kan, ya?" Ema menggeleng denga pertanyaan Miko. "Setahun dibawah kita," jawab Ema.

"Widih, lo demen timun muda ternyata, Din." Linda menyenggol lengan Dini. "Beda setahun doang," sanggah Dini cepat.

"Berarti kalau udah bau-bau bakal jadian, lo ama Jeffrey sudah sering jalan dan follow-an instagram dong, ya?" Ema kembali kepada Dini. "User name lo apa? Ayok saling follow sama gue." Ema mengeluarkan ponselnya ingin menilai feed instagram Dini. Karena begini-begini, Ema sedikit ahli mengetahui sifat orang hanya dari postingannya. Sebenarnya tidak seratus persen akurat, tapi setidaknya dia tahu hal apa yang wanita itu sukai.

Ketika melihat feed milik Dini yang dominan berisi foto tumbuhan, dan langit, Ema berpikir kalau memang Dini orang yang sederhana, dan pemalu. Padahal kalau dia mau post wajahnya yang manis khas orang Jawa itu, Ema yakin banyak pria yang lengket dengannya. Belum lagi suaranya yang lemah lembut. Beeh, cowok yang pakai seragam juga bakal klepek sama dia. Sesuai sekali dengan feed-nya.

Membandingkan dengan akun Jeffrey sebenarnya tidak berbeda jauh. Hanya saja beda objek. Jeffrey lebih sering memakai warna hitam, putih, dan abu-abu untuk feed-nya. Objek fotonya juga tidak jauh dari view kantor, benda mati, kota, dan jalanan yang orang-orangnya terlihat buram. Tidak ada foto wajah Jeffrey maupun orang yang dikenalnya di sana, tapi sekali lihat feed-nya orang akan tahu Jeffrey adalah pria yang berkelas. Ema berdecih dalam hati. Belum tahu aja mereka kalau dia tukang nyungsep.

"Baru follow-an instagram aja sih. Kita belum sedekat itu buat jalan. Gue aja bisa follow-an sama dia karena dulu pas dia masih baru di sini, kita sering makan siang bareng. Nah emang karena banyak proyek belakangan ini, kita jadi makin berjarak gitu. Ngobrol juga seputar kerjaan." Dini tersenyum masam.

Ema kemudian baru ingat. Dini adalah asisten manajer dimana ketika sekretaris cuti maka dia akan menggantikannya. Wajar saja dulu Dini dengan Jeffrey dekat. Dini yang memperkenalkan seluruh pekerjaan baru Jeffrey dan seluk-beluk kantor.

"Lo deket sama temen-temennya Jeffrey 'kan, Em? Kali lo tahu gitu tipenya Jeffrey gimana biar Dini bisa nyesuain." Linda mengalihkan pemikirannya sebentar. Dan mencoba membantu Dini yang sudah terlihat down duluan. Padahal perang saja belum, sudah kalah telak. Tapi percuma juga kalau mau berjuang, karena orang yang dia suka sudah bucin dengan atasan sendiri.

Tapi masih bisa ditikung, sih. Toh, Jeffrey belum punya siapa-siapa. Athena juga kelihatan mau dikejar terus. Bosan juga Ema melihat keadaan begitu.

"Mending lo tanya ke Wandi aja atau Doni."

"Dih, malas banget. Eh, tapi Jeffrey lagi belum naksir siapa-siapa, 'kan? Gue agak wanti-wanti dia bakal naksir bu Athena. Soalnya ya gila aja gitu loh cowok nggak naksir dia. Gue yang cewek aja kalau lihat dia jalan, rasanya mau sungkem takjub gitu. Aura keratonnya berasa banget borr. Mana sekarang dia single 'kan. Duhh, Wandi sama Jeffrey bisa profesional banget kerja sama dia nggak bawa perasaan."

Ema melirik Miko yang terlihat memperhatikan kukunya sendiri berpura-pura sibuk padahal telinganya jelas terpasang lebar mendengarkan kata-kata Linda.

"Lo ngomong gitu, malah buat Dini makin down tahu." Linda tersentak dengan kata-kata Ema dan meminta maaf kepada Dini. Sementara Ema mendengarkan Linda menghibur Dini yang sudah tersenyum palsu, matanya melirik kepada Jeffrey yang keluar dari lift. Miko yang semula kalem, menjadi histeris ketika melihatnya.

Miko menjerit tertahan ketika menemukan Jeffrey tengah sibuk menggulung lengan kemejanya lalu melihat jam tangannya. Semua orang pagi tadi menyadari sekretaris itu menggunting rambut hitamnya sedikit lebih pendek dan membuatnya menjadi lebih segar. "Oemji! Ganteng banget, sih! Ya ampun! Mas Ganteng!" Miko pada akhirnya memanggil Jeffrey dan laki-laki itu menoleh. Awalnya mengerutkan dahi lalu Linda hampir menyemburkan minumannya ketika dia melihat Jeffrey membalas lambaian tangan dari Miko. Anjir yang bener aja?!

"Cie saling melambaikan tangan dari kejauhan," goda Ema kepada Dini yang ternyata membalas lambaian tangan Jeffrey. Diperhatikannya Jeffrey membawa tas karton berukuran sedang dan tidak butuh waktu lama untuk Ema dan semua orang di sana bisa menemukan aroma parfum Jo Malone menyeruak masuk ke dalam hidung. "Halo, Dini." Jeffrey berdiri di sampingnya sedikit membungkuk agar dapat melihat wajah asistennya yang sudah menggantikannya selama cuti. Angin segar, angin segar, batin Linda. "Eh, ada Linda sama Miko juga. Halo." Jeffrey menyapa ramah.

"Saya nggak disapa juga, Pak?" Ema memotong. Jeffrey meliriknya dan menyeringai.

"Wah, pak Jeffrey sudah masuk lagi. Sudah baikan, Pak?" tanya Linda. Tanpa sadar menyisir rambut panjangnya ke belakang. Tipikal perempuan ketika tertarik dengan suatu objek. Jeffrey menyadarinya, tapi dia akan diam saja.

Lima hari sepertinya membuat Jeffrey lebih berbeda dari sebelumnya. Linda sudah sering melihat Jeffrey, tapi untuk melihat dari jarak dekat seperti ini rasanya ingin menikung temannya saja. Alis Jeffrey yang tebal, bibirnya yang berbentuk khas dan sisi-sisi wajahnya nampak bulu-bulu halus membuat Linda ingin menyentuhnya, lalu dia cepat-cepat beristigfar dalam hati. Astagfirullah, Ya Allah kenapa yang beda iman lebih menggoda. Kuatkan Linda Ya Allah.

"Kalian lagi pada ngapain ngumpul di sini? Nggak makan siang?" tanya Jeffrey. Miko mengambil alih. "Sudah kenyang kalau lihat mas Ganteng."

Jeffrey mencoba tersenyum walau kesannya dipaksakan. Lalu ketika Dini berdiri dan menatapnya, dia berkata, "Saya sudah cek semua laporan kamu. Agenda kemarinㅡrapat kembali dengan Kirnawan, diundur menjadi besok pagi karena Kirnawa berhalangan. Rapat kali ini adalah final, saya ingin melakukan follow up akhir dengan pasti." Jeffrey memberikan tas karton yang dia bawa kepada Dini. "Terima kasih sudah menggantikan saya selama saya sakit, Dini. Seharusnya saya melakukan perjanjian lebih dulu untuk cuti, tapi kemarin sangat mendadak. Pasti sulit menggantikan saya tiba-tiba." Jeffrey mengusap tengkuknya tak nyaman setelah Dini menerima bingkisannya. "Saya minta maaf sudah merepotkan kamu," lanjutnya.

Dini tersenyum masam. Memang benar pekerjaan Jeffrey lebih mengerikan dibandingkan miliknya. Tapi rasanya semua terbayarkan dengan lima kotak dessert bittersweet di dalam tas karton itu. "Sudah menjadi kewajiban saya, Pak. Saya justru senang mempunyai pengalaman lain dan bertemu dengan bu Athena dalam waktu yang lama adalah hal yang menyenangkan untuk saya."

"Senang mendengarnya," kata Jeffrey. Sekilas laki-laki itu memandang jam tangannya dan Dini kemudian mencoba bertanya ketika Linda meliriknya untuk melakukan tindakan impulsif, "Bapak ada waktu sekarang?"

"Sekarang? Sekarang saya akan mengambil jam makan siang dan ke rumah sakit untuk konsultasi migrain saya kemarin dengan Dokter." Lalu tidak lama Athena keluar dari dalam lift. Athena melihat Jeffrey di sana tapi tidak mendekati laki-laki itu. Dia berjalan lurus setelah tersenyum menyapa mereka. "Saya duluan kalau gitu. Kalian jangan lupa makan siang." Jeffrey menarik diri dan mengambil langkah cepat untuk menyusul Athena.

"Makan siang sama atasan masih masuk akal. Kalau ke RS sama atasan?" Ema bertanya kepada semua orang di sana. Dan Miko seolah mengerti sarkas itu, jadi dia menimpali, "Kayaknya ada sesuatu yang kita lewatkan deh, Sist."

Ema melirik Linda yang masih mengerutkan dahi dan wajah Dini yang sudah diam pasi itu sedikit menyinggung sisi emosionalnya. "Din, nggak usah gue bilang lo udah lihat sendiri 'kan tipe Jeffrey gimana?" Dini melihat ke arah Ema dan ketika ponselnya berdering tanda makanannya sudah tiba, Ema meneruskan, "Mau makan bareng nggak? Kebetulan gue sama Miko mesen banyak."

*

"Jadi aku disuruh perhatiin pola makan, jam tidur, dan jangan terlalu stres, terus obatnya diminum teratur. Gitu-gitu lah." Ketika di dalam mobil, Jeffrey menjelaskan saran Dokter yang sempat dia datangi bersama Athena ketika dia sakit. Athena mendengarkannya di kursi sebelah sambil memperhatikan jalanan yang ramai.

"Berarti kita harus perhatiin makanan kamu sekarang," balas wanita itu.

"Kita?" Jeffrey meliriknya dengan alis terangkat satu. Athena cepat-cepat mengoreksi. "Kamu. Iya, maksud aku kamu harus perhatikan makanan kamu."

Jeffrey tertawa dan menepuk puncak kepala Athena dengan satu tanganya yang bebas. "Aku mau makan gado-gado, sih. Dari tadi malam ngiler terus. Kamu mau makan apa?"

Ahena mengangguk dengan kata-kata Jeffrey. "Aku ikut kamu aja."

"Ke tempat langgananku kalau gitu." Jeffrey membawa mobilnya menuju warung makan dekat kampusnya dulu. Dan seperti dugaan Jeffrey, tempatnya masih ramai dengan mahasiswa. "Kamu nggak apa-apa makan di sini? Atau di tempat lain aja?" Jeffrey memastikan Athena merasa baik-baik saja dengan warung makan yang ramai sebelum dia benar-benar memarkirkan mobilnya di tempat yang tersedia. Athena mengangguk sembari mengganti sepatu hak tingginya dengan sandal.

Jeffrey keluar dari mobil dan Athena tidak bisa untuk tidak tersenyum ketika mendengar percakapan random antar mahasiswa dengan bahasa Jawa kasar. Ketika tiba di warung yang dituju, Athena terkejut ketika seorang perempuan berteriak ke dalam ruangan di belakang warung. "Bu niki mas Jeffrey mampir teng warung!" (Bu, mas Jeffrey mampir ke warung!)

Lalu muncul lagi seorang wanita berusia lima puluhan dan terkejut sekaligus tersenyum begitu lebar dan menepuk punggung Jeffrey ketika Jeffrey memeluknya. "Ya allah sampean malih ganteng, le. Ayok duduk dulu." (Ya Allah kamu makin ganteng). "Sampean pesen opo?" (Kamu mau pesan apa?)

"Gado-gadone kados biasane nggih, bu." (Gado-gado kayak biasa ya bu)

Athena menutup mulutnya. Pengucapan bahasa Jawa Jeffrey sangat aneh untuknya sehingga dia berusaha untuk tidak tertawa. "Ketawa aja. Aku sudah sering diketawain temenku waktu kuliah dulu." Jeffrey menyadarinya dan Athena merasa malu walau ujung-ujungnya dia menundukkan kepala dan terkikik sendiri di sana. Jeffrey memutar kedua bola matanya.

Lalu penjual tadi bertanya kepada Athena, "Le sing Ayu iki pesene opo?" (Yang cantik ini pesan apa?)

"Saya sama kayak dia, bu," balas Athena. Jeffrey menatapnya heran. "Kok nggak pakai bahasa Jawa?"

"Nanti kamu insecure kalau dengar aku pakai bahasa Jawa, Jeff," sindir Athena dengan menaik-naikan kedua alisnya.

"Aku nggak pernah insecure, ya," sanggah Jeffrey. Athena menghela napas tanda malas memperpanjang perdebatan tidak penting. "Kamu mau minum apa?" Jeffrey berdiri dari kursi untuk mengambil minuman di lemari pendingin, Athena menggeleng menunjuk botol yang dia bawa sendiri.

Jeffrey kemudian kembali dengan air mineral dingin di tangannya. Sambil menunggu makanan mereka, Athena tiba-tiba teringat sesuatu. "Pak Firman menghadap aku ketika kamu cuti."

Anjir! Jeffrey hampir tersedak dengan minumannya. Dia baru ingat kalau sebelum cuti, dia sempat meminta Ervan untuk memanggil pak Firman ke ruangannya. Berhubung saat itu dia tidak ada dan di lantai tersebut hanya ada ruangannya bersama Athena, maka pasti pak Firman berterus terang soal dosanya kepada Athena langsung.

"Seharusnya dia bertemu dengan kamu. Tapi karena kamu sakit, dia menghadap aku. Membicarakan pencairan dana." Athena melanjutkan, sementara Jeffrey menegang menunggu omongan pedas apa yang akan wanita itu keluarkan untuknya siang ini.

"Katanya dana itu dia butuhkan untuk istrinya ke klinik kecantikan. Sementara itu tidak ada di prosedur kita. Aku sudah mengambil tindakan untuk pak Firman." Athena menemukan Jeffrey hanya diam dan tidak membalas kata-katanya. "Kamu nggak mau bicara sesuatu gitu?" Athena mengerutkan dahi.

"O-oh. Itu ... saya minta maaf. Harusnya itu jadi tugas saya. Harusnya saya juga bilang duluan ke Ibu soal pencairan dananya. Tapi karena saya sakit, semuanya jadi diluar kendali saya."

Athena menatapnya heran, lalu tertawa menepuk lengan Jeffrey. "Apa sih. Kenapa kamu ngomongnya jadi pakai 'saya' lagi? Aku nggak lagi marahin kamu kali."

"Eh? Terus apa?"

Jeffrey menahan napasnya ketika tangan Athena bergerak memperbaiki rambutnya yang menghalangi pandangan wanita itu padanya. Athena tersenyum ketika sudah melakukan pekerjaannya dengan benar. "Malah aku berterima kasih sama kamu. Karena hal itu, aku bisa tahu kalau pak Firman punya rasa tanggung jawab. Aku suka dia jujur. Kebanyakan staff di kantor 'kan lebih sering ketemu kamu daripada aku, Jeff. Jadi aku merasa agak sedikit dekat dengan pak Firman ketika dia cerita."

"Makanya aku bilang juga apa 'kan. Sering-sering keluar dari sarang." Jeffrey mengontrol detak jantungnya dengan mengusap kepala Athena. Tidak peduli dengan mata-mata mahasiswa yang melihat mereka seperti ABG. "Lain kali, kalau jam istirahat makan siang jangan sama Fanya aja. Sama yang lain juga."

"Loh, ini aku lagi makan siang sama kamu."

"Ya ini 'kan hitungannya nyari waktu berduaan gitu. Kamu gitu aja nggak ngerti ah beteh ah. Aku malu tahu kalau ngejelasin apa-apa harus detail." Jeffrey membuang muka dengan telinga yang memerah.

"Lihat sini kalau ngomong, aku di sini bukan ke mahasiswa cewek itu." Athena melambaikan tangannya pada wajah Jeffrey agar laki-laki itu menoleh padanya. Dan Athena tertawa untuk kesekian kalinya menemukan wajah Jeffrey bersemu. "Ya ampun. Muka kamu kayak tomat."

"Kelakuan siapa mukaku kayak tomat?"

"Aku." Athena tersenyum tanpa dosa. Jeffrey menutup muka dengan satu tangannya mencoba untuk tidak menjerit. Rasanya kalau ini bukan di tempat umum, Jeffrey ingin memeluk Athena erat-erat saking gemasnya. Sabar Jeff. Ihh, tapi dia bisa lucu banget please! Gue nggak kuat! Tapi gue nggak boleh nyosor anak orang. Sabar! Sabar!

*

"Kayaknya aku bakal langganan gado-gado di tempat tadi, deh. Enak banget." Jeffrey terkekeh mendengar Athena berkomentar ketika mobil baru berhenti di pinggir jalan karena Athena ingin melakukan touch up.

Padahal di toilet kantor 'kan bisa. Dasar cewek pikirannya ribet mulu.

"Iya 'kan. Nanti aku bawa kamu ke tempat sate favorit aku. Dijamin kamu bakal suka satenya." Lalu laki-laki itu mengambil paper bag berisi sepatu hak tinggi Athena di belakang dan memberikannya kepada wanita itu. "Thanks," kata Athena.

"Ngomong-ngomong, Sabtu ini kamu ada acara?"

Athena menangkap arah pembicaraan yang dimaksud Jeffrey. "Nggak. Kenapa?" Jadi Athena menjawab apa yang ingin Jeffrey dengarkan darinya. Sembari tangannya mengolesi lipstick-nya lagi di kaca depan mobil.

"Dinner with me?" Tentu saja Athena tidak bisa untuk tidak tersenyum dengan kata-kata sekretarisnya itu. Dia selesai dengan polesan di bibirnya dan mengangguk. "Why not. 8 PM?"

"8 PM. Sebentar." Jeffrey merapikan lipstick Athena yang sedikit tidak rapi dengan ibu jarinya.  Dan Jeffrey tertawa heran pada wajah Athena yang memerah. "Sekarang muka kamu yang kayak tomat."

"Eh, masa sih?" Athena memegang wajahnya sendiri dan menatap kaca depan. Terkejut ketika wajahnya bersemu seperti gadis SMA. Malu, maka dia membuang wajahnya ke arah lain. Tapi kemudian Jeffrey meraih dagu Athena untuk kembali melihatnya. Satu tangan Jeffrey sekarang berada di sisi wajah Athena dan mengusapnya secara halus. Jeffrey tersenyum memandangnya. Sampai wajah mereka mulai mendekat satu sama lain.

"Jeff."

"Hm?" Jeffrey harus berhenti mendekatkan bibirnya pada wanita itu ketika namanya dipanggil. Jeffrey tidak menarik diri, melainkan matanya bergerak mencari mata Athena. "Apa?" Jeffrey bertanya dengan suaranya yang sudah sangat rendah dan berat membuat bulu-bulu halus di sekujur tubuh Athena meremang seketika.

"Mulut aku masih bau gado-gado."

Jeffrey menutup mata, terdiam sebentar, lalu tertawa. Menarik diri kembali ke kursi kemudinya dan menghela napas panjang. "Athena, kamu merusak suasana. Kalau sudah begitu mana sempat kepikiran bau gado-gado. Pikiran kamu random banget serius. Aku sampai bingung harus giㅡ" Athena menghentikan kata-kata Jeffrey dengan kecupan singkat di bibirnya.

"Maaf. Aku juga takutnya lipstick aku belum kering dan ngebekas di kamu. Nanti repot lagi bersihinnya."

Jeffrey meraih tangan kanan Athena dan tersenyum padanya. "Mau french kiss atau single lips?" Jeffrey bertanya dimana lawan bicaranya terkejut dan beberapa detik kemudian menyeringai dengan satu alis yang diangkat.

"Sekarang?" Wanita itu balik  bertanya.

"Answer the question."

"Kalau nggak?"

"You already provoked me."

Athena mengangkat dagunya sedikit sombong. "I am a good kisser, Jeff."

"Itu nggak menjawab pertanyaanku."

"Fine. Single lips."

Jeffrey melepas seatbelt-nya agar dapat mendekati wanita itu dengan leluasa. "Kamu akan mengoles ulang lipstick kamu, Athena."

Pada saat itu, harusnya Athena memilih untuk tidak menjawab pertanyaan konyol Jeffrey. Karena hal yang dia rasakan sekarang adalah malu. Iya, Ema menemukannya di kantor, di toilet wanita, sedang mengoles beberapa kali lipstick agar luka yang dibuat Jeffrey tidak telihat.  Walau sudah tertutup tetap saja nampak jelas jika dari dekat. "Jadi, apa poin yang kamu tangkap dari adegan ciuman siang bolong tadi, Athena?" Ema selesai mendengarkan alasan luka di bibir wanita itu dan menuntut jawaban darinya.

Athena meliriknya dari kaca. Lalu berusaha tenang untuk menjawabnya. Tapi Ema bisa menemukan wajah sepupunya itu merah padam.

"He's a good kisser."

*

A/n: Itu dialog bahasa Jawanya tolong dikoreksi kalau salah ya. Maklum penulisnya bukan orang Jawa XD

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top