35 | Untuk Olivia

"Saya ganti bensin kamu ya, Rindra?" Athena memegang helm yang diberikan Rindra padanya. Rindra akan mengantarkannya pulang ke rumah karena Jeffrey meminta bantuannya. Tapi mahasiswa semester empat itu melihatnya dengan cengengesan lucu. "Mekdi aja gimana kak?" tawarnya dengan logat Jawa kental. "Aku laper e, tanggal tua belum dikirim orangtua."

Athena memutar matanya tapi tersenyum. "Iyaudah ayo ke sana." Rindra membawa motor matic itu dengan siulan senang, ketika lampu merah menyala, dia bertanya, "Rumah kakak di mana? Biar nyari mekdi deket sana aja gitu."

"Kalau di malbor(*) aja gimana Rindra? Di Sudirman agak jauh, rumah saya di belakang keraton, di altar-nya," balas Athena. Rindra mengangguk.

Butuh waktu satu jam untuk sampai ke sana melewati jalan Malioboro yang ramai. Athena sudah menutup jas yang dipakainya dengan hoodie Jeffrey, tapi Rindra menemukan beberapa orang di dalam restoran cepat saji itu masih menatap wajah Athena. "Rindra kamu mau pesan apa?" Lalu perhatiannya teralihkan ketika Athena menanyakan makanan yang dia inginkan.

Ketika mereka sudah menemukan tempat yang tersedia Athena memperhatikan Rindra yang berdoa lalu tersenyum padanya. "Kamu ambil jurusan apa Rindra, kalau saya boleh tahu." Athena bertanya di sela-sela laki-laki itu memisahkan daging ayam dengan kulitnya. "Ilmu Komunikasi, kak," balas Rindra.

"Saya tebak kamu sering dengar komentar 'ngapain belajar hal yang sudah biasa dilakukan manusia sehari-hari' kan?" Athena tersenyum karena Rindra mengangguk semangat seolah wanita itu sangat tahu penderitaannya.

"Bener banget! Padahal ya kak, ilkom nggak cuma ngobrol, nulis, atau cerita doang. Ya bener sih kalau semua manusia itu bisa komunikasi tapi nggak semua mereka paham gimana caranya. Komunikasi itu kayak pisau bermata dua. Dia bisa jadi solusi dan konflik."

"Saya suka pemikiran kamu." Rindra tertawa ketika Athena memujinya. Dilihatnya wanita itu hanya memesan kentang goreng berserta soda. "Kakak nggak makan nasi?"

Athena menatapnya sebentar sebelum kembali mencolek kentang gorengnya dengan saus sambal. "Sebenarnya jam segini saya sudah nggak makan apa-apa lagi. Tapi untuk kamu, saya rela makan kentang goreng besar sama soda."

"Bisaan banget dah." Rindra terkekeh dan kembali bertanya, "Menurut kakak sendiri jurusan aku itu gimana?"

"Saya lebih melihat ilkom itu susah sih." Athena mengunyah dengan menopang dagunya membuat kesan imut dimana Rindra tanpa sadar menatap wajahnya. "Apalagi tugas memproduksi penyiaran televisi. Kamu harus memikirkan bagaimana program-program itu dieksekusi, mulai dari tahap praproduksi sampai pascaproduksi. Itu belum ditambah dengan tugas-tugas dari mata kuliah lainnya." Athena dan Rindra berdecak seperti cicak secara bersamaan membayangkan hal itu lalu keduanya tertawa ketika menyadarinya.

"Kakak dulu jurusan ilkom juga? Keliatan tahu banget derita anak-anak di jurusan aku."

"Sepupu saya pernah mengambil jurusan itu. Jadi saya sedikit-sedikit paham," jawab Athena sambil mengingat Tevan dulu yang mengambil kosentrasi Ilmu Komunikasi di tingkat Sarjana. "Saya punya beberapa pemahaman kasar kalau ingat sepupu saya dengan ilkom, itu saya gunakan sampai sekarang saya bekerja," lanjutnya.

"Oh ya? Apa kak?"

"Ambil contoh ketika meeting saja, ya. Ketika komunikasi berlangsung, saya akan melihat siapa yang terlibat, bagaimana prosesnya, melalui apa, mengapa itu bisa terjadi, lalu apa akibat yang ditimbulkan. Dengan mempertimbangkan aspek-aspek itu, saya membuat pesan atau keputusan yang efektif—alias yang bisa dimaknai dan dipahami dengan baik oleh orang lain. Ketika saya memberi pesan atau keputusan yang efektif, saya berharap mendapat feedback yang baik dari para pendengar."

Rindra terpana dengan kata-kata Athena sebentar lalu menepuk tangannya yang berminyak karena ayam. "Orang-orang harus tahu kalau aku baru aja ngobrol tentang jurusanku dengan seorang CEO."

Athena terkekeh. "Saya kira kamu nggak tahu saya."

"Tahu lah. Aku lihat kaka di televisi, kok. Kalau anak kos lagi ngumpul, Mas Rudi juga sering cerita kalau anaknya Olivia nge-fans sama kakak."

"Mas Rudi ini satu kosan sama kalian?" Rindra mengangguk dengan pertanyaan Athena. "Dia sering cerita kalau anaknya pengen ketemu kakak. Tapi karena anak istrinya di Solo sementara dia di sini kerja di kantor swasta gitu, agak susah. 'Aku nggak punya orang dalam atau teman yang kerja di sana buat bantu ketemu Athena' kata mas Rudi. Eh nggak tahunya, temen kamarnya di sebelahㅡbang Jeff, ternyata sekretaris kakak. Padahal bang Jeff sama mas Rudi paling jarang ngomong. Plot twist banget 'kan?" Rindra tertawa dengan kata-katanya sendiri.

"Kalau gitu, kenapa nggak bawa anak istrinya ke Yogya? Solo-Yogya naik kereta dekat, kok. Saya bisa luangkan waktu untuk ketemu mereka di kantor atau akhir pekan." Athena tersenyum sedikit lebar membayangkan fans pertamanya yang menatapnya dengan sumringah. Pasti sangat menyenangkan, pikirnya.

"Aku juga pernah ngomong gitu sih kak. Tapi mas Rudi nunjukkin foto anaknya pakai kursi roda. Aku nggak ngerti maksud dia nunjukkin foto itu apa. Entah karena anaknya malu nunjukkin diri, atau justru mas Rudinya yang nggak bisa bawa anaknya ketemu kakak. Kakak 'kan, ya .... ngerti 'kan kak?"

Athena mengangguk beberapa kali. Di bidang pekerjaannya, Athena berpikir sepertinya Rudi tidak ingin menjual anaknya yang menggunakan kursi roda sebagai alasan Athena harus bertemunya. Dia tidak mau dinilai penjilat, pikir Athena. "Jeffrey nggak pernah cerita soal ini ke saya, sih. Jadi saya nggak tahu."

"Kamu bisa cerita sedikit soal Rudi ini nggak?" Athena masih penasaran.

Rindra mengingat-ingat sebentar. "Seingat aku mas Rudi sekarang lagi cari pinjaman untuk kursi roda listrik buat Olivia. Soalnya, anaknya mau masuk kuliah susah kalau harus dorong pakai tangan. Tapi di kantornya juga agak gimana gitu. Katanya, dia agak tertekan lah."

"Bisa saya minta nomor telepon Rudi?" Athena menyalin nomor ponsel Rudi yang ada di ponsel Rindra. "Kapan-kapan saya coba telpon dia. Ngomong-ngomong pembicaraan kita ini rahasia ya, Rindra." Athena menyipitkan matanya dengan senyuman miring. Rindra mengangguk menahan mulutnya yang mengunyah agar tidak tertawa.

"Oh, satu lagi terima kasih sudah kasih tahu soal ini. Kalau kita nggak ketemu malam ini mungkin saya nggak tahu kalau ada fans yang mau ketemu saya."

Rindra mengancungkan ibu jarinya yang kotor. "Imbalannya nanti terima CV aku kalau ngelamar di perusahaan kakak ya?" katanya setelah menelan makanannya.

"Kamu harus berhadapan sama HRD Caridad yang galak, Rindra. Saya takut sebelum interview mulai kamu sudah ciut duluan."

"Dih, jangan gitu dong, kak. Harga diriku jangan dipandang sebelah mata gitu ah!" Athena tertawa dengan nada kesal dibuat-buat oleh Rindra.

*

Tiga hari kemudian, ketika Wandi selesai membicarakan protokol dan strategi pasar di Amerika untuk peluncuran produk baru, dia menemukan Athena tidak berdiri di kepala meja sehingga dirinya bersama tiga puluh enam orang lain di dalam ruangan masih terdiam sampai Diniㅡasisten sementara yang mengganti Jeffrey mengetuk pundaknya dari belakang. "Bu, apa masih ada hal yang belum selesai?" tanya Dini.

Athena mengangkat kepala dan menemukan semua orang menatapnya termasuk Kirnawan di sana. "Terima kasih untuk rapat siang ini. Kita akan bertemu dua hari lagi di ruangan yang sama. Sekarang, tolong tinggalkan saya bersama dengan bapak Andi Kirnawan seorang," katanya. Lalu semua orang termasuk Dini dan Yogaㅡsekretaris Andi Zulfikar Kirnawan keluar dari ruangan. Keduanya menungu di depan pintu masuk. Athena mengambil duduknya di seberang meja Andi dengan laptop di tangan. "Terima kasih sudah membantu saya sampai sejauh ini, bu Athena," kata Andi.

"Athena saja." Andi tersenyum canggung ketika wanita itu meliriknya. "Kalau begitu silakan panggil saya dengan Andi," balasnya. Andi untuk beberapa detik lupa kalau dia sekarang berusia enam puluh tahun dan sebentar lagi akan mempunyai cucu karena Athena duduk di depannya dengan anggun.

"Andi, saya ingin Anda melakukan sesuatu."

"Promosi besar-besaran? Itu sudah pasti dilakukan setiap peluncuran produk baru, bukan?" Andi masih menatapnya sedikit heran sekarang. "Saya punya divisi marketing yang ahli mengenai ini, kalau Anda inginㅡ" Andi tidak dapat menyelesaikan kata-katanya karena Athena menggeleng. "Ini bukan sejenis promosi di iklan atau undian berhadiah. Bukan itu yang saya inginkan."

"Jadi?"

Athena menunjukkan layar laptopnya kepada Andi. Menunjukkan beberapa berita miring mengenai Kirnawan sebagai parasit. "Saya ingin Anda melakukan sesuatu dengan ini. Anda, Kirnawan, perusahaan Anda, pabrik Anda, sedang dipandang sebelah mata oleh orang-orang setelah pers pertama Caridad diumumkan kemarin. Saya pikir pers kemarin akan memperbaiki berita-berita ini, nyatanya tidak. Jadi, saya memikirkan cara lain."

"Meminta jurnalis untuk berhenti menulis itu dengan pemberian sepadan?" Andi menebak. Kembali Athena menggeleng. "Saya tidak suka menyuap mereka dengan uang tidak berguna."

"Andi, saya tidak tahu kenapa alasan Anda membuat kerjasama ini, yang saya tahu adalah, masalah Kirnawan sekarang adalah masalah Caridad. Setiap partner yang ada bersama kami, setiap berita miring, setiap masalah yang ada, Caridad akan mengusahakan menyelesaikan semuanya yang terbaik. Caridad tidak bersifat heroik disini. Hanya saja masalahnya satu, kalian adalah partner kami."

Andi sebentar terkesima dengan kata-kata logis yang Athena utarakan, lalu laki-laki itu membalas, "Anak pertama saya sedang hamil dan hal pertama yang dia alami sebagai ibu hamil adalah mengidam cokelat kalian. Lalu setiap hari cokelat itu semakin banyak di rumah, saya kemudian melihat bungkusnya. Alasan saya tidak pernah memakan cokelat produksi kalian bukan karena iri, tapi karena kata-kata yang ada di bungkusan itu menyindir saya. Lalu kata-kata itu membuat saya berpikir untuk menjadikan Caridad sebagai partner yang memungkinkan terbaik untuk kedepannya."

Athena tersenyum. "Le plus grand inconvénient de l'homme est son plaisir de vivre(1)", kata Athena menyebutkan kalimat yang menjadi icon cokelatnya. "Saya tidak meminta maaf untuk itu Andi. Sebelum saya lahir, kata-kata itu memang sudah ada. Saya tidak bisa mengubahnya."

"Jadi apa yang bisa saya lakukan?" Andi kembali ke pembicaraan awal mereka. Dan Athena memberikan kartu nama seseorang kepadanya.

"Apa kita akan mendonasikan sebagaian pemasukan kepada orang-orang ini?" Andi melihat kartu nama yang merupakan seorang pemilik rumah tempat orang-orang disabilitas lalu dia memekik senang sebentar. "Anda ingin kamera menyorot Kirnawan ketika mendonasikan ini? Jadi nama Kirnawan akanㅡ" Athena mengerutkan dahi dan kembali menggelengkan kepalanya.

"Saya tidak menjual kekurangan orang untuk meninggikan derajat atau konsumsi publik Andi. Maksud saya di sini adalah, Anda sebaiknya memiliki acara amalan sendiri. Kirnawan tidak punya yang seperti itu bukan?" Ketika Andi mengangguk Athena melanjutkan, "Hery, Eyang saya menjadi kepala amal untuk Caridad, saya akan meminta izin kepadanya untuk membantu Anda memilikinya. Saya ingin Anda membuat acara amal yang terfokus kepada orang disabilitas ini."

Athena meneruskan, "Tidak perlu sorotan media untuk ini. Orang-orang akan tahu dengan sendirinya. Caridad akan bergabung dengan kegiatan amal Kirnawan lalu tidak menunggu waktu lama semua orang akan tahu dan masalah miring ini akan selesai."

"Tapi untuk membuat acara ini sangat sulit, dana yang dibutuhkan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya ... Athena, saya tidak yakin orang-orang akan bergabung dengan ini."

"Beri saya waktu satu hari untuk menyelesaikannya." Saat itu Andi tidak mempercayai kata-kata Athena tapi Andi kembali bertanya, "Kenapa harus mereka? Orang-orang disabilitas ini maksud saya."

Athena tidak menjawabnya dan tersenyum.  Tentu saja alasan utama Athena melakukannya adalah untuk fans-nya yang membuatnya begitu penasaran. Olivia.

*

"Aku di lantai satu kantor kamu sekarang." Athena tersenyum ketika Bandra Matius Widjanarko mengirimnya pesan pada saat makan siang. "Dini, terima kasih untuk siang ini, silakan ambil waktu kamu," katanya pada asistennya yang duduk di depannya dengan tab.

Athena berjalan dengan langkah panjang dan sangat mudah menemukan Bandra yang sangat mencolok di tengah-tengah keramaian. Athena masih ingat betul Bandra tidak memiliki rambut gondrong yang diikat rapi ke belakang seperti sekarang. Rambut Bandra yang dulu cepak dengan gigi yang terpasang behel. Sementara Bandra yang sekarang sangat mendominasi seperti mafia yang dia baca di novel fiksi. Sangat menawan, pikir Athena.

"Apa aku menganggu jam sibuk Anda bapak calon direktur?" Athena menyindir Bandra yang sebentar lagi akan menjadi kepala direktur di perusahaan firma hukumnya sendiri. Lawan bicaranya menatapnya geli dan dengan sopan membuka pintu mobil untuk Athena ketika mereka di parkiran. "Untuk teman lama aku di Prancis, untuk teman seperjuanganku mengejar gelar Master di sana, untuk CEO Caridad, untuk calon mitra aku di masa yang akan datang, aku bisa meluangkan waktu kapan pun itu."

"Sangat gombal ya, Bandra." Athena menatapnya dengan senyuman khas wanita itu. "Aku seperti berbicara dengan mafia di dalam mobil sekarang."

"Tapi aku tidak bawa pisau atau senjata, atau bodyguard. Aku hanya membawa dompet dengan kartu-kartu ajaib. Bagaimana?"

Athena tertawa. "Kamu tidak berubah. Masih sangat sombong."

"Ini percaya diri. Bukan sombong." Bandra memperhatikan rambut wanita itu yang digulung ke belakang yang membuatnya menjadi sangat elegan dan cantik. "Dulu rambut kamu masih pendek ya, Athena. Sekarang sudah bisa diikat seperti nenek aku."

"Dulu kamu bilang rambutku kering seperti sapu penyihir, sekarang seperti nenek kamu. Cuma kamu yang mengejek aku seperti ini, Bandra."

"Yang lain terlalu takut untuk mengejek kamu. Padahal kalau mereka tahu kamu takut dengan suara pecahan balon mereka pasti akan tertawa."

"Kita bertemu untuk membicarakan aib aku atau reunian?"

"Dua-duanya."

Athena memutar kedua matanya ketika Bandra tertawa. "Bagaimana Itali? Aku dengar kabar, perusahaan besar berlian di sana menjadikan kalian sebagai firma hukumnya. Selamat untuk kamu."

"Orang di sana sangat keras. Aku juga tidak suka wanita di sana. Yang lokal memang yang terbaik. Dan ya terima kasih untuk ucapannya."

"Aku ke Yogya sebenarnya juga ada urusan, jadi karena aku ingat ada teman lama aku di sini sekalian berkunjung," lanjut Bandra. Lalu Bandra mengerutkan dahinya karena Athena hanya meminum jus buah yang dibawa wanita itu sendiri dengan botol bening. "Kamu tidak makan sesuatu? Ini sudah siang."

"Aku akan melakukannya nanti. Apa firma kamu menerima tawarannya sampai kamu harus ke Yogya? Aku tebak, Sri Sultan Hamengku Buwono X?"

Bandra menggeleng dengan kekehannya. "Kalau itu terjadi, Sri Sultan adalah prioritas pertama aku daripada keluarga kerajaan Inggris sekali pun."

"Jadi siapa orang ini? Sangat hebat sekali berhasil membuat calon direktur turun ke lapangan untuk bertemu dengannya."

"Partner kamu untuk peluncuran produk baru tahun ini. Kirnawan. Alasan aku menerimanya karena melihat kalau mereka sedang bekerja sama dengan Caridad. Aku pikir sekalian bertemu dengan teman lama juga tidak buruk. Lihat, aku sangat baik dan peduli kepada kamu, Athena." Kembali Bandra berkata dengan sombong membuat Athena mendengus kesal dibuat-buat.

"Kami baru menyelesaikan rapat tadi. Mungkin kamu akan mendengarkan beberapa pesan dari sekretaris mereka nanti. Dan aku sangat yakin kamu akan sibuk setelahnya."

"Terima kasih sudah menambah pekerjaan aku ibu Athena yang sangat baik." Bandra menekan kata-kata terakhirnya dengan maksud sarkas. "Kamu tidak keberatan kalau aku memesan makanan take away? Aku ingin bertemu dengan adik tingkat aku ketika aku masih Sarjana dulu."

Athena menaikan satu alisnya. "Aku akan menjadi patung diantara kalian karena aku orang asing."

"Dia sangat ramah. Kamu hanya makan dan dengarkan kami berbicara. Aku sangat yakin kamu akan tertawa karena humor sense-nya."

Lalu Athena mengangguk seadanya. "Kalau begitu sekarang kita akan ke restoran cepat saji?" Athena memikirkan rasa ayam di dalam mulutnya sekarang. Tapi Bandra menggerakan satu jarinya ke kiri dan ke kanan.

"Adik tingkat aku itu sedang sakit sekarang. Jadi aku tidak berpikir untuk ke sana. Kita mencari makanan yang bisa dikonsumsi orang sakit saja. Kamu mau nasi padang? Aku memikirkan nasi padang untuk perutku siang ini."

"Sound's good," kata Athena. Sementara kata-kata Bandra sebelumnya membuatnya mengingat Jeffrey yang sekarang sedang sakit. Lalu dia baru menyadari kalau tiga hari ini Jeffrey tidak membalas pesan terakhirnya yang mengirimkannya foto. Dia tidak membacanya. Athena melihat chat-nya yang belum berwarna biru dari Jeffrey. Apa dia istirahat total, ya? Athena menebak-nebak sekarang.

"Bandra, menurut kamu kalau orang sakit apa mereka bisa melihat notifikasi ponselnya?"

Bandra yang sedang mengganti playlist lagu di mobilnya melirik Athena sebentar. "Untuk zaman sekarang tidak mungkin mereka tidak melihat ponselnya. Kalau tidak parah seperti habis operasi atau sakit berat. Kenapa?"

"Cuma tanya." Athena melihat jalanan di luar dengan helaan napas samar. "Apa Andrea sakit?" tanya Bandra yang membuat Athena melihatnya. Lalu laki-laki itu ingat kalau Andrea dan temannya sudah berpisah. "Maaf, aku lupa kalau kalian sudah tidak bersama." Bandra menunjukkan raut wajah merasa bersalah.

"Bukan Andrea yang aku pikirkan sekarang. Sekretaris aku sedang sakit. Aku mengirimkannya pesan tiga hari yang lalu tapi sampai sekarang tidak ada balasan."

Bandra terdiam sebentar dengan alis berkerut hingga Athena memanggilnya. "Bandra kamu dengar aku?"

"Ya, aku dengar." Bandra menyembunyikan senyumannya ketika dia menyadari sesuatu. "Pesan apa yang kamu kirim kepada sekretaris kamu? Mungkin dia tersinggung dengan kata-kata kamu di sana."

"Dia bahkan belum membacanya."

"Bisa jadi dia mematikan laporan dibacanya. Jadi kamu tidak tahu soal itu." Bandra melirik Athena yang mengigit kukunya, sangat tahu ketika wanita itu melakukannya kecemasannya meningkat. "Menurut kamu begitu," kata wanita itu.

"Berhenti mengigit kuku kamu. Kamu bukan anak kecil lagi, Athena." Bandra menarik tangan wanita itu agar berhenti mengigit kukunya dan sebagian kutesknya mulai rusak. "Aku hanya menerka. Menurutku dia tidak membalas pesanmu karena takut kamu akan memberikannya pekerjaan disaat dia sakit."

"Aku tidak sejahat itu." Athena tertawa masam. "Tapi semoga saja dia berpikir seperti itu."

"Kalau bukan kenapa?" Athena melirik Bandra yang sangat penasaran dengan sekretarisnya. "Kalau bukan...." Kalau bukan aku tidak bisa menarik pesanku, fotoku tidak bisa dihapus di pesannya, sudah terlanjur dikirim. Aku malu. "Aku tidak tahu," lanjut Athena.

Bandra mendengus. "Berhenti overthinking, sekarang kita cari makanan untuk orang sakit dulu."

Setelah mereka membeli makanan untuk adik tingkat Bandra yang sakit dan nasi Padang, Athena memperhatikan kalau Bandra juga membawa beberapa kue di plastik besar. "Kamu mau pesta di tempat adik tingkat kamu?" tanya Athena.

"Tenang saja, aku tetap akan mengantar kamu kembali ke kantor. Kita hanya sebentar, karena aku juga punya janji dengan pak Andi setelah ini." Kemudian tidak membutuhkan waktu yang lama untuk Bandra menghentikan mobilnya di depan wisma. Bandra mengetik pesan sebelum dia keluar dari mobil dengan bawaan yang banyak bersama Athena. "Tidak, kamu jangan pegang apa pun, biar aku saja," kata Bandra menghentikan Athena untuk membantunya.

"Teman kamu tinggal di wisma? Lagi liburan?" Athena mengikutinya dari samping lalu menyadari kalau ada kendaraan yang dikenalinya di sana. Seperti punya Jeffrey dan Doni, Athena menemukan dua mobil yang sangat mirip seperti milik sekretaris dan staff-nya.

"Orangtuanya lagi liburan di sini. Kebetulan Mamahnya ulang tahun hari ini jadi ada acara kecil-kecilan," jawab Bandra. Lalu dia meletakkan semua barang di teras setelah melepas sepatunya. "Aku ke dalam sebentar, kamu tunggu di sini." Tapi Athena tidak mendengarkan, wanita itu justru melepas hak tingginya dan berpikir untuk membawa tiga plastik besar itu ke dalam wisma.

"Don, bantu gue bawa ini!" Athena mengangkat kepalanya menyadari kalau orang di sebelahnya adalah Wandi. "Loh, kamu kok di sini, Wan?" Athena mengerutkan dahinya menatap Wandi yang melongo sebentar.

"Ih ada Sistah!" Lalu Miko muncul di depan pintu bersama Doni. "Sist, sini deh, ini Sistah dateng juga ternyata." Miko memanggil Ema dan wanita itu berlari menemukan sepupunya Athena berdiri sangat konyol dengan plastik besar di tangannya. "Ih iya, Mik! Jadi tukang angkat barang lagi," kata Ema dengan kunyahan apel di mulutnya.

"Sebentar, kalian kenapa ada di sini?" Athena melihat satu per satu mereka semua dengan kerutan di dahi. "Aku ke sini bersama teman aku Bandra. Bandra sedang bertemu dengan adik tingkatnya di sini."

Doni melirik ke kiri dan ke kanan, dan mengambil satu plastik besar lalu meninggalkan semua orang di sana untuk masuk ke dalam dan mencari Jeffrey. "Jeff, hokage datang!" Doni memekik tertahan memastikan Oma Jeffrey di dapur tidak dapat mendengarkannya.

"Serius lo?" Jeffrey menatapnya tiba-tiba lalu berdiri dari sofa dan melihat Bandra kakak tingkatnya dulu di kampus sedang melonggarkan ikatan dasinya. "Jadi dewi yunani yang lo bilang tadi itu, Athena bos gue?" Bandra mengangguk dengan senyuman isengnya. Sama sekali tidak merasa bersalah. "Anjir, kok nggak bilang daritadi?!" Sekarang Jeffrey menjadi panik ketika Omanya berjalan ke pintu depan karena mendengarkan keributan tidak berarti.

Mampus gue. Mampus gue.

*

(1) Kekurangan paling besar manusia adalah, kesenangannya pada kehidupan.

(*) Aku nggak tahu kalau "malbor" ini singkatan mall malioboro atau malioboro itu sendiri. Kalau temen ngajak kesana ngomongnya pasti malbor, jadi ya akunya ngikut aja. Tolong koreksi kalau salah ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top