33 | Jam 11 Malam

Athena baru tiba di rumah pukul sembilan malam karena sebelumnya dia mengunjungi Ema di rumah Doni dan berbicara banyak hal di sana. "Ada Bude Tiana baru datang, non," kata Dito salah satu ART rumah yang membukakan pagar untuknya. Athena memberikan kunci mobilnya kepada Dito meminta tolong untung memasukan mobilnya ke garasi. Athena kemudian melepas sepatu haknya dan mendengar suara Budenya yang tengah tertawa bersama Hery.

"Riza!" Tiana melihatnya dan tersenyum lebar. "Sehat, sayang?"

Athena duduk di sebelahnya dan memeluknya seperti seorang Ibu. "Sehat, budhe."

"Kamu kemarin sempat ke Jakarta, kan? Kok nggak mampir ke rumah bude dulu?"

"Waktunya mepet, budhe. Riza ke sana cuma liat acara Grand Opening Nero aja. Besoknya pulang."

Tiana mengusap punggung Athena dengan pandangan sendu. Ketika Hery berdiri dari kursi pergi menuju ke dapur, wanita itu melanjutkan perkatannya, "Pasti capek ya sayang, punya tanggung jawab besar untuk keluarga."

Tiana sangat tahu bagaimana kehidupan Athena dari kecil. Ketika Reala Jovianka meninggal, Hery kembali mengurus perusahaan Caridad sementara menyiapkan Athena untuk menjadi pengganti Reala selanjutnya. Tiana selalu ke rumah dan mengasuh Athena seperti anaknya sendiri, membiarkan Tevanㅡanak semata wayangnya, juga menemani masa kecil Athena. Athena tidak bersekolah seperti anak pada umumnya. Dia melakukan home schooling dengan pengajar yang dipilih langsung oleh Hery. Mengikuti perkataan Hery untuk mengambil kuliah di Perancis hingga mendapatkan gelar Master di sana. Kembali ke Indonesia untuk mempersiapkan diri sebelum pada akhirnya dia berada di posisi teratas seperti sekarang.

Tiana tidak pernah melihat Athena mengeluh, menangis apa lagi. Ketika mainannya direbut oleh Ema, Athena diam saja dan Tevan yang pada akhirnya berseteru dengan Ema. Athena tidak melerai keduanya, hanya memperhatikan dengan pandangan datar. Dari situ Tiana tahu bahwa Hery mungkin berhasil membuat Athena menjadi sangat pintar, tapi tidak untuk beberapa hal. Athena tidak pintar dengan bagaimana dia menujukkan ekspresi senang atau sedih, juga tidak pintar mengutarakan perasaannya. Orang-orang akan mengira dia akan selalu baik-baik saja ketika sesuatu diambil darinya. Orang-orang akan mengira bahwa setiap perkataan mereka yang terlontar akan baik-baik untuknya. Nyatanya Tiana tahu ketika Athena menatap kolam ikan koi di belakang rumah, wanita itu merenung. Bingung harus apa dengan perasaannya sendiri. Hery benar-benar mendidik Athena seperti mesin yang siap untuk pekerjaan besar.

Athena tersenyum, seperti sudah biasa mendengar kalimat itu. "Sudah kewajiban Riza, budhe." Tiana tersenyum masam. Mengambil salah satu tangan wanita itu dan menggenggamnya erat. "Kamu sudah melakukan yang terbaik untuk keluarga, Riza. Sekarang ambil waktu istirahat kamu. Pikirkan masa depan kamu sendiri."

"Masa depan Riza adalah ini, budhe." Tiana mengerut tidak mengerti. "Riza bekerja untuk keluarga kita. Eyang bilang, Riza punya tanggung jawab yang tidak dapat almarhum Mama selesaikan. Ini salah satunya. Masih banyak yang harus Riza lakukㅡ"

"Riza, kamu bekerja untuk hidup. Bukan hidup untuk bekerja. Apa kata-kata budhe sudah sangat jelas untuk kamu?" Tiana bisa menemukan wajah Realaㅡkakak iparnya di wajah Athena. Sangat ambisius dan mendominasi secara bersamaan. "Ketika bude tahu kamu dan Andrea sudah selesai, bude sangat panik."

"Kenapa?"

"Kenapa?" Tiana mengulang dengan nada sedikit heran. "Karenaㅡdemi Tuhan, Riza. Dia satu-satunya pria yang ada di samping kamu ketika yang lain menganggap kamu baik-baik saja." Tiana tahu betul bagaimana Andrea sangat mencintai keponakannya ini. Dia bisa mengetahui bagaimana kehidupan Athena setelah mengambil posisi besar di perusahaan itu dari Andrea. Athena terlihat bisa tertawa, tersenyum, atau menunjukkan semburat merah di wajahnya ketika menceritakan Andrea kepadanya. Athena jauh lebih terlihat hidup ketika bersama Andrea. Dan ketika dia tahu keduanya sudah selesai, dia sangat takut. Takut Athena yang dulu akan kembali.

"Budhe, Riza baik-baik saja. Riza sendiri yang meminta hubungan kita selesai. Karena ... karena Andrea sangat jelas belum berpikir untuk melanjutkan hubungan kita yang lebih serius. Sementara Riza juga masih terfokus kepada pekerjaan. Tapi kalau boleh jujur, Riza sebenarnya sudah membayangkan akan menikah dan memiliki anak dengannya. Sejauh itu Riza berpikir, dan ketika Riza bertanya mengenai itu juga kepada Andrea, Andrea mengatakan 'aku belum siap dan tidak sampai berpikir ke sana'. Hubungan kami sudah berjalan tujuh tahun dan sangat tidak masuk akal kalau dia tidak berpikir sampai ke sana."

"Riza pikir, cara Andrea mencintai Riza belum jauh sama seperti Riza mencintai dia. Jadi Riza mengambil jalan ini." Athena menjelaskan dengan nada suara tenang seperti tidak ada beban sama sekali. Lalu matanya menatap Tiana. "Riza tahu apa yang Eyang lakukan kepada Riza dari kecil. Sangat tahu. Riza hadir dari pasangan yang tidak menikah, sudah sangat jelas menjelekkan nama kedua belah pihak keluarga. Riza tidak cukup bersujud kepada semua kaki mereka untuk meminta maaf karena sudah lahir ke dunia. Jadi, Riza pikir ini cara lain untuk menebusnya."

Tiana kehabiskan kata-katanya tidak berpikir bahwa wanita itu akan berbicara mengenai hal paling sensitif untuk keluarga mereka. Dengan cepat Tiana menyeka air matanya yang akan jatuh dan Athena tertawa kecil memperhatikanya.

"Seharusnya kamu menunggu Andrea. Tidak mudah untuk pria mengambil keputusan itu. Membangun keluarga, dan bertanggung jawab untuk istri dan anaknya. Seharusnya kamu juga berpikir bagaimana perasaan Andrea."

Athena masih membalas. "Orangtua Andrea terus menekan Riza dengan pertanyaan seperti itu. Maksud Riza, kenapa mereka tidak menekan pertanyaan itu kepada anaknya?"

"Mereka pasti sudah melakukannya juga."

Athena mengangkat kedua bahunya. Dan bersandar ke sofa dengan kedua tangan terlipat ke depan.

"Apa Bapak menargetkan umur berapa kamu menikah?" Seluruh menantu Caridad akan memanggil Hery dengan Papa tapi Tiana akan menggunakan nama Bapa untuknya. Hery tidak masalah dengan itu.

Athena menggeleng, "Riza akan melepaskan jabatan CEO dua tahun lagi. Eyang bilang posisi yang menggantikannya nanti adalah Wildan yang sekarang masih menyelesaikan kuliah S1-nya di Swiss. Yang Riza takutkan adalah, Riza tidak bisa melakukan apapun untuk suami Riza nanti. Tidak ada penghasilan yang bisa Riza dapatkan untuk membantu dia."

"Kamu bisa tetap di posisi itu kalau kamu mau. Bapak tidak pernah meminta kamu untuk turun dari jabatan itu, bukan? Bapak hanya mengatakan kalau kamu turun, maka Wildan akan menggantikannya. Wildan juga tidak mungkin pulang ke Indonesia dan tahu-tahu menerima tanggung jawab sebesar itu di pungunggnya. Dia bukan seperti kamu yang selalu meng-iyakan semua kata Bapak. Dia butuh waktu."

"Lagipula, kalau kamu turun dari posisi yang sekarang, kamu tetap akan memegang saham pertama Caridad. Kamu tetap bisa membantu suami kamu nanti walau kamu cuma di rumah. Yah, tapi budhe tahu kamu bukan wanita yang diam di rumah menonton televisi sambil mengasuh anak. Kamu akan menggunakan semua kemampuan kamu untuk membantu suami kamu nanti. Mengambil posisi lain di Caridad Corp. misalnya. Suami kamu akan beruntung memiliki kamu, tahu," kata Tiana lagi.

"Kenapa kamu ingin turun dari posisi kamu yang sekarang, kalau budhe boleh tahu?"

Karena aku sangat malu. Athena sebenarnya terlalu malu berdiri di depan semua orang dengan identitas bahwa sebenarnya dia adalah aib terbesar untuk keluarganya. Semua orang mungkin tidak tahu. Tapi orang-orang inti yang dekat dengannya sangat tahu tentang ini. Lalu tiba-tiba dia teringat Jeffrey. Apa dia juga tahu?

"Budhe pikir, kamu terlalu terburu-buru mengambil keputusan itu, Riza."

"Keputusan yang mana, budhe?"

"Dua-duanya," jawab Tiana. "Pertama dengan Andrea, seharusnya kamu berdiskusi dengannya mengenai hubungan kalian. Bukannya main bilang 'kita selesai' secara sepihak. Dia pasti sangat terpukul sekarang. Kedua dengan jabatan kamu saat ini, seharusnya kamu memikirkan ulang. Kamu mungkin merasa kamu aib untuk keluarga hingga memutuskan untuk turun dari jabatan ini ketika kamu merasa sudah berhasil membuat nama Caridad besar. Tapi kamu tahu? Dengan cara kamu seperti itu masalah baru akan muncul. Dan yang akan kena imbasnya adalah Wildan. Wildan jelas sama sekali tidak menyukai sesuatu berbau perusahaan seperti kamu dan Tevan. Dia sama seperti Ema yang menyukai seni. Bude tahu dia pasti juga akan menerimanya dengan setengah hati kalau dipaksa terus-terusan. Tapi apa kamu sudah berpikir sampai ke sana?"

Kata-kara Tiana membuat Athena tidak bisa berkata-kata selama beberapa detik. Selain Tiana berhasil menerka pemikirannya, Athena juga tidak memikirkan adik sepupunya Wildan yang sangat menyukai seni. Aku berencana akan memiliki acara sendiri untuk lukisanku, dan aku pastikan itu akan sebesar acara Met Gala di New York, itu kata-kata terakhir Wildan yang dia dengar ketika mereka sedang makan mi rebus pukul dua pagi beberapa tahun yang lalu. Athena akan merusak impian adik sepupunya jika dia turun dari jabatannya saat ini.

"Sebaiknya kamu berhenti berpikir kamu adalah aib keluarga, Riza. Jika tidak, maka kamu akan terus merasa bahwa kamu hidup saja sudah salah. Semua anak yang lahir ke dunia itu hadiah dari Tuhan. Kamu adalah salah satu hadiah terbaik yang keluarga kita terima. Masa kamu menilai diri kamu sendiri sehina itu? Reala akan sangat marah di Surga sana kalau dia mendengar ini dari mulut anaknya sendiri." Athena sedikit tersenyum ketika mendengar kata-kata itu.

"Pikirkan ulang, oke? Budhe tidak mau semuanya menjadi kacau ketika kamu mengambil tindakan gegabah."

"Riza akan memikirkan ulang tentang jabatan itu. Untuk Andrea, Riza sudah sangat yakin dengan keputusan yang sudah Riza ambil."

Tiana melirik ke arah Athena dan pandangan wanita itu tidak main-main dengan kata-katanya tadi. Tiana menyerah dengan helaan napas panjang. "Sudah minta maaf dan menanyakan bagaimana perasaan Andrea setelah kamu memutuskan secara pihak?"

"..." Athena baru sadar, dia sama sekali tidak melakukan itu kepada Andrea. Dia hanya memastikan perasaannya kepada laki-laki itu apakah masih sama atau tidak. Lalu membiarkannya begitu saja. Kenapa kamu terlihat menjadi sagat egois ke semua orang, Athena?

"Kamu nggak ganti baju, Riza?" Hery kembali ke ruang tengah dengan singkong rebus di tangannya. Athena kemudian berdiri dan Tiana tersenyum kepadanya.

*

Hari Sabtu kemudian, Andrea terkejut ketika melihat mobil di depan apartemennya. Mendekat dan kaca mobil terbuka menampilkan Athena dengan kemeja santainya. "Mau ke bandara, kan?"

"Seingat aku, aku tidak meminta kamu untukㅡ"

"Naik. Aku mau ngajak kamu makan siang." Athena melihat jam tangannya dan tersenyum ketika Andrea memasukan kopernya di bagasi dan mengambil duduk di sampingnya.

"Ini balas budi aku antar kemarin?" tanya Andrea setelah mobil berjalan.

"Sekalian mau ngomong sama kamu. Aku dengar habis ini kamu akan kembali seperti robot pekerja di Jakarta." Andrea tertawa dan melihat Athena menggunakan kemeja biru muda lengan pendek dan celana kain berwarna putih. Rambutnya yang memiliki gelombang halus di bawah terurai di punggungnya. Andrea tanpa sadar tersenyum.

"Kenapa? Aku cantik, ya?" Athena melihat Andrea sebentar dan laki-laki itu terkekeh.

"Sangat cantik. Jeffrey akanㅡ"

Athena menyela sebelum Andrea dapat menyelesaikan kata-katanya, "Aku ingin membicarakan masalah kita. Hubungan kita."

Tidak ada yang berbicara hingga pada akhirnya mereka menemukan restoran untuk makan siang. Beberapa orang yang tahu tentang siapa mereka, melihat ke arah mereka dengan pandangan terkejut. Seingat aku mereka sudah selesai, kan? Athena menangkap kata-kata itu setiap dia melewati meja-meja lain.

"Seharusnya kita makan di pinggiran saja." Andrea mengambil duduknya setelah dia menarik kursi untuk Athena. "Orang-orang mengira kita masih...." Andrea tidak melanjutkan kata-katanya ketika Athena melihatnya dengan senyuman wanita itu.

"Aku akan bayar bill-nya hari ini." Athena membalas tidak relevan setelah mereka memesan makanan kepada pelayan yang datang. "Jadi, apa kamu sudah mencari wanita lain?"

Andrea mengerut, "Kenapa dari cara kamu berbicara aku seperti laki-laki berengsek, ya."

"Sadar tidak, banyak wanita yang mengantre untuk kamu? Dan seharusnya kamu tahu kamu lebih pantas menerima mereka yang mencintai kamu."

Andrea masih tidak mengerti kenapa Athena tiba-tiba membahas sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan mereka. Dia membalas, "Jadi aku tidak berhak mencintai orang lain begitu?"

Bibir Athena sedikit mengerucut, "Kamu lebih cocok dicintai. Lebih cocok dikejar. Bukannya mecintai aku selama tujuh tahun, dan mengatakan 'ya baiklah jika itu untuk kebahagian kamu' ketika aku mengatakan kita selesai."

"Athena, ingat apa yang kamu lakukan di parkiran kantor waktu itu? Kamu bilang kamu memastikan sesuatu bukan? Kalau boleh aku tebak, kamu memastikan apakah kamu masih memiliki perasaan dengan aku atau tidak, kan?"

"Ya," jawab Athena. "Dan apa hasilnya?" tanya Andrea lagi.

"Perasaan aku tidak mungkin langsung hilang begitu saja. Tapi setidaknya ketika aku mengambil langkah mendekat... rasanya tidak sama lagi dengan yang dulu. Sepertiㅡ"

"Seperti ada yang menggantikan rasa itu dengan yang baru, kan?" Andrea menyela dengan senyumannya. Athena yang dulu mungkin akan berdebar ketika melihat senyuman laki-laki itu, tapi sekarang tidak lagi. Sekadar kagum, mungkin masih. "Aku tahu kamu tertekan dengan orangtua aku yang menanyakan langkah hubungan kita selanjutnya. Aku juga tahu kamu sudah memikirkan kita menikah dan hal-hal lainnya. Tapi aku minta maaf, tujuh tahun aku bersama kamu tidak pernah aku berpikir untuk melakukan langkah sejauh itu."

"Kenapa?"

"Karena aku ingin menikah satu sekali seumur hidup, Athena. Bukan perempuan saja yang mengingikannya. Laki-laki juga. Walau kita sudah ada ditahap bertunangan, aku terus bertanya kepada diri sendiri 'apa sudah yakin dia pilihanku'. Maafkan aku yang tidak berpikir tentang 'kita sama-sama workholic dan anak-anak pada akhirnya akan berakhir di tangan pengasuh', karena aku sendiri saja masih terus bertanya tentang hubungan kita saat itu. Kamu selalu membatasi aku untuk masuk ke dunia kamu. Ketika kamu diam, aku selalu mencoba untuk melakukan apapun agar kamu berbicara. Kamu tahu, itu melelahkan. Mencoba mengerti posisi orang lain itu hal yang susah Athena. Aku melakukan itu kepada kamu selama tujuh tahun."

"..."

"Dan jujur saja. Aku benar-benar merasa marah ketika aku datang ke kantor kamu dan kamu menyambut aku dengan wajah sangat tidak mengenakan. Padahal kita tidak bertemu dan tidak berkomunikasi selama seminggu. Selama itu aku tetap memikirkan kamu, tapi apa kamu memikirkan aku juga? Tidak, kan? Ya tentu saja, aku mengerti kamu seorang CEO. Aku adalah prioritas sekian di list kamu."

"..."

"Itu diperparah dengan kamu yang mempermalukan aku di kantin kantor. Mengumumkan hubungan kita sudah selesai di kantin seperti itu sangat kekanak-kanakan menurut aku. Secara bersamaan kamu juga sudah menghina aku. Aku sangat malu waktu itu apalagiㅡ" Apalagi Jeffrey dan dua temannya benar-benar memperhatikan. "Aku waktu itu benar-benar tidak habis pikir kata-kata itu keluar dari mulut kamu. Sampai aku mengira sepertinya tujuh tahun itu tidak ada artinya untuk kamu."

Andrea sama sekali tidak meninggikan suaranya. Dia tetap tenang dengan ekspresi wajah yang menunjukkan bahwa dia baik-baik saja sekarang. Tapi Athena menangkap mata laki-laki itu berkata lain.

"Jadi daripada membiarkan kamu terus tertekan dengan pertanyaan orangtua aku, dan membebaskan kamu untuk fokus dengan pekerjaan kamu, akhirnya aku menyetujui permintaan kamu. Ya baiklah jika itu untuk kebahagiaan kamu, kata-kata itu tidak aku katakan secara asal Athena. Aku memikirkan kemungkinan lain yang membuat kamu bahagia tanpa aku."

Lalu makanan mereka datang, tidak ada pembicaraan selama beberapa menit. Athena memikirkan betapa egoisnya dirinya selama ini. Dia mecintai Andrea tapi tidak pernah sama sekali untuk menujukkan rasa itu kepadanya. Athena sangat payah mengutarakan perasaannya kepada Andrea. Mengatakan makan bareng, yuk lebih dulu saja tidak pernah. Semuanya akan Andrea yang selalu memulai, baru dirinya. Andrea selama ini yang sering melakukan tindakan impulsif untuknya. Laki-laki itu akan hilang jika Athena tidak ingin melihatnya, dan akan muncil jika dia sedang sedih atau membutuhkannya. Wajar saja Andrea tidak pernah berpikir sampai urusan menikah karena sikapnya seperti itu selama ini.

"Aku jahat, ya." Andrea mengangkat kepalanya. Itu pernyataan dari Athena dengan tatapan bersalah kepadanya.

"Kalau jahat kamu sudah masuk penjara," jawab Andrea mencoba untuk mencairkan suasana. "Semua orang punya kekurangannya, Athena. Egois mungkin itu kekurangan kamu. Tapi aku melihat dari sisi lain, sangat wajar jika kamu membuat dinding besar agar orang lain tidak bisa masuk ke dunia kamu. Karena dunia kamu itu ya kamu sendiri yang menikmati. Semua orang butuh waktu sendiri, begitu juga dengan kamu. Saran aku, kalau kamu mau menjalin hubungan dengan orang lain, turunkan sedikit sifat egois kamu. Jangan gunakan orang semau kamu saja. Kamu menganggap mitra dan karyawan kamu seperti dewa yang harus didengar dan dipikirkan apa saja saran mereka agar Caridad Corp. semakin berkembang dengan baik. Tapi kamu tidak pernah mau melihat aku yang seperti itu, sementara aku memberi kamu saran agar kehidupan kamu lebih baik. Aku harap kamu ubah sifat kamu juga yang ini, ya? Pelan-pelan aja."

"Andrea, aku serius. Kamu benar-benar harus mencari wanita sepertinya. Karena, kamu terlalu baik. Ini bukan kiasan. Tapi fakta." Athena berbicara dengan makanan di dalam mulutnya. "Aku akan membantu kamu mencari wanita yang sepadan dengan kamu. Beritahu aku bagaimana tipe kamuㅡ"

"Tipe aku itu kamu, Athena." Andrea memotong dan meniru kalimat yang Athena ucapkan di parkiran waktu itu. "Kamu tidak bisa diperkirakan, kamu tidak mencoba menunjukkan seberapa hebatnya kamu di depan orang. Tapi anehnya semua orang tahu seberapa menakjubkannya kamu. Cara kamu berbicara dan memandang orang lain itu sangat mendominasi. Aku tidak pernah melihat wanita seperti ini sebelumnya. Kebanyakan laki-laki akan berpikir beberapa kali jika harus mendapatkan kamu, tapi sepertinya aku, dan Jeffrey sangat gegabah sekali, ya."

"Jangan lupakan Joseph Geliano." Athena menambahkan dengan senyuman miring. Joseph Geliano mengirimkan surat kepadanya, mengundangnya untuk hadir di acara Grand Openinng restoran barunya yang sudah kesekian kalinya. Dan Athena menolak dengan sopan. "Dia bukan tipe aku sama sekali."

Andrea tertawa, "Tipe kamu yang berlesung pipi, kan?" Athena mengangguk. Andrea tahu siapa tipe wanita itu, dia akan diam saja. "Aku akan mencari wanitaku sendiri, Athena. Tidak sekarang mungkin. Tidak mudah untuk aku langsung berpaling dari kamu."

Athena sedikit terbatuk. Merasa sedikit aneh ketika Andrea mengucapkan kalimat terakhir. "Moving on, Andrea. Wanita di luar sana banyak. Jangan cari yang sama seperti aku, nanti kamu bosan."

"Sangat mudah kamu mengatakannya. Sangat sulit untuk aku merealisasikannya." Athena tertawa lagi. Setelah berhenti tertawa dia berkata, "Bagaimana perasaan kamu sekarang?"

"Kecewa, tapi sedikit lebih baik dari hari pertama kamu mengatakan kita selesai." Athena mengangguk dan tersenyum masam.

"Aku tidak bisa mengutarakan perasaan aku secara gamblang, Andrea," Athena berkata lagi. "Setiap aku mencoba mulutku seperti kehilangan cara untuk berbicara."

"Aku tahu. Karena itu aku harus bertindak duluan, kan. Memancing pembicaraan apapun agar kamu ingin berbicara." Andrea mengambil gelasnya dan meminumnya. Athena di seberang sana menggunakan warna lipstick yang sangat gelap. Andrea perhatikan belakangan wanita itu jarang menggunakan warna merah pekat lagi. Membuatnya sedikit bertanya-tanya.

"Maaf untuk sifatku selama ini." Athena tidak akan memperpanjang pembicaraan mereka. Karena dia sendiri juga sadar sebagian besar ini kesalahannya, dia sudah mengetahui alasan kenapa Andrea tidak pernah berpikir sampai ke tahap yang lebih serius dengannya. Tujuannya siang ini juga hanya ingin mendengarkan bagaimana perasaan Andrea dan meminya maaf kepada laki-laki itu. Ketika Andrea mengangguk dan mengusap punggung tangannya, Athena mengerti. Mereka sudah menyelesaikan hubungan mereka dengan baik sekarang.

Lalu mata Athena mengarah ke meja yang dekat dengan jendela dan menemukan Jeffrey bersama keluarganya di sana. Athena sedikit kesusahan meneguk air liurnya ketika Jeffrey melihatnya.

Daritadi, dia lihat ke sini?

*

"Kenapa, Dit?" Athena membuka pintu kamarnya ketika Dito mengetuk pintu kamarnya.

"Ada tamu di depan, non." Athena mengerutkan dahi, lalu melihat jam dinding di kamarnya. Siapa coba yang datang ke rumah jam 11 malam?

"Siapa?" Athena mengikat rambutnya asal dengan wajah mengantuk. Lalu memastikan matanya tidak ada kotoran sama sekali. "Rekan kerja non di kantor katanya," balas Dito.

Masa Jeffrey? Yang bener aja. Athena akan tertawa jika laki-laki itu benar-benar muncul di depar pagar sana pada pukul 11 malam. Dan benar saja! Jeffrey berdiri di sana dengan plastik hitam di tangannya. Athena mengedipkan beberapa kali matanya kemudian tertawa heran.

"Eyang sudah tidur, Dit?" tanya Athena lagi.

Dito mengangguk sambil menutup mulutnya karena menguap, "Sudah, non. Apa perlu saya bangunㅡ"

"Eh, jangan! Nanti kita berdua kena semprot. Kamu jangan bilang ada tamu aku yang datang malam ini, ya?"

"Upahnya apa, non?"

Athena memutar kedua matanya, "Ya nanti pilih aja album koreaan yang kamu mau. Dua aja tapinya."

Dito menahan teriaknya dan Athena memintanya menyediakan minum untuk tamunya malam ini. "Kebangun, ya?" tanya Jeffrey ketika Athena membuka pintu pagar perlahan mencoba untuk tidak membangunkan Eyang-nya.

Athena mengangguk, "Kenapa datang jam segini coba?"

"Jalan-jalan sama keluarga, kelupaan waktu. Padahal niatnya aku mau ngajak kamu malam mingguan sekalian tapi malah nggak ingat waktu." Jeffrey kemudian memberikan plastik hitam yang ada di tangannya. "Kamu nggak lagi diet, kan? Aku bawa sate padang soalnya."

Athena menerima dengan dengusan, "Mau lagi diet atau nggak juga, makan jam 11 malam nggak baik, Jeff. Masuk dulu, di luar berangin."

Jeffrey menggeleng, "Di luar aja. Aku mau ngomong sebentar sama kamu boleh?"

Athena kembali meneguk air liurnya sendiri. Dia tahu Jeffrey akan membahas urusannya siang tadi dengan Andrea. Kemudian Dito keluar dengan secangkir teh hangat. "Ini tehnya, mas." Jeffrey tersenyum dan mengatakan terima kasih.

"Kan bisa chat, Jeff." Athena mengambil duduk di sebelah Jeffrey setelah Dito masuk ke dalam membiarkan keduanya duduk di teras menikmati angin malam. Jeffrey melihat Athena sebentar memerhatikan wajah wanita itu dari samping. Ketika Athena melihatnya, Jeffrey tersenyum.

"Pembicaraan aku lebih enak disampaikan secara langsung daripada chat." Jeffrey kembali melihat ke arah depan.

Athena diam menunggu Jeffrey membuka pembicaraannya lagi, sementara lengan mereka tidak sengaja bersentuhan. Membuat Athena sedikit bergeser menjauh.

"Tadi siang jalan sama Andrea?"

Kan! Athena sudah menduganya. "Aku ngantar dia ke bandara, sekalian makan siang. Kamu sendiri tadi kemana aja jalan-jalan sama keluarga? Aku kaget ketemu kamu di restoran tadi."

"Yah, jalan-jalan sekitaran kota aja. Oma kalap banget belanjanya. Murah-murah katanya. Padahal aku sudah nangis ngeluarin uang yang baru turun kemarin."

Athena tertawa dengan tangan yang menutup mulutnya. Kemudian dia berhenti tertawa dan memperbaiki ikatan rambutnya yang sedikit berantakan. Dengan kaus besar bergambarkan sepeda ontel dan celana training, Jeffrey tidak tahu kenapa Athena selalu terlihat cantik hanya denga pakaian biasa seperti saat ini.

"Kamu nggak usah takut aku bakal mikir yang aneh-aneh soal kalian yang makan siang itu. Apalagi Andrea pegang tangan kamu." Jeffrey menghela napas samar. "Aku tahu kalian sudah selesai. Kalian pasti cuma mau punya akhir yang baik."

Athena membalas, "Dia satu-satunya orang yang tahu aku gimana, Jeff. Aku mungkin nggak bisa hidup bersama dia, tapi seenggaknya aku masih berteman dengan orang baik seperti dia."

"Kamu bisa kembali Athena." Jeffrey kembali melihat ke depan, "Dia masih kelihatan berharap."

"Ya, tapi aku sudah bukan yang dulu lagi. Yang selalu gugup kalau di dekat dia. Sudah beda."

"Kalau sama aku?"

Athena menoleh dan menemukan Jeffrey bertanya dengan senyuman. "Sedikit," jawab Athena. Jeffrey tertawa dan mengusak kepala wanita itu.

"Kalau aku begini di kantor, pasti kamu bakal bilang Jeff, ingatkan saya untuk potong gaji kamu, gitu. Padahal di luar itu kamunya mau aja ternyata." Athena tertawa lagi dan Jeffrey tersenyum melihatnya.

"Kan beda. Kalau orang-orang tahu kita ada hubungan kan nggak enak."

"Nggak enak karena aku sekretaris kamu, ya? Di bawah kamu?" Jeffrey menerka sedikit dengan nada suara berat. Itu adalah pertanyaan yang sering menganggunya. Salah satu yang sering membuatnya ragu untuk mengambil langkah mendekati Athena.

"Bukan. Tapi profesional aja. Ya kalau semisal orang-orang tahu kita ada hubungan yasudah, tapi aku nggak mau jadi heboh aja. Nanti kalau aku bicara sama kamu soal kerjaan mereka merhatiin terus sambil mikir di luar konteks itu. Kan ujung-ujungnya kita juga yang serba salah, Jeff."

Jeffrey mengangguk, sedikit lega Athena menjawab pertanyaan yang sudah lama menganggunya itu. "Jadi kalau kita hmm, pacaran gitu kamu nggak masalah?"

"Ini kamu mau nembak aku judulnya?" Athena bertanya dengan senyuman heran.

"Ya menurut kamu aja aku sampai jam 11 malam ke sini. Masih pakai baju yang sama. Rencananya aku mau ngomong ini memang." Jeffrey kembali melihat Athena dengan pandangan serius. "Jahat nggak sih, kalau aku mau kamu cepat-cepat jadi punyaku aja?"

Athena masih dengan ekspresi yang sama. Kalau Andrea akan mengatakan hal ini dengan kata-kata yang membuat Athena terpana, maka Jeffrey akan mengatakannya dengan polos membuatnya geli sekaligus senang.

"Terlalu cepat kalau kamu bertanya soal ini, Jeff." Athena mencoba menjawab diplomatis. "Aku baru saja selesai dengan Andrea. Kalau aku menjalin hubungan dengan kamu, gimanapun caranya aku jelasin, semua orang akan mengira kamu orang ke tiga yang merusak hubungan aku dengan Andrea. Aku nggak mau kamu dinilai seperti itu."

"Kalau mereka mengira aku orang ke tiga, memang kenapa? Kan yang jalanin kita. Yang tahu gimana kejadian aslinya juga orang-orang dekat kita. Pengamat berita kayak mereka ituㅡnetizen maksud aku, ujung-ujungnya akan beropini soal ini-itu seoalah-olah nunjukkin mereka benar, mau segimanapun jeleknya nama aku nanti, toh lama-lama mereda sendiri. Nanti kalau ada berita lain yang baru lagi, mereka mulai lagi tuh beropini, terus reda lagi. Siklusnya netizen kan begitu."

"Athena, kayaknya kamu harus mengurangi pemikiran gimana kalau. Kamu terlalu berlebihan memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang sama sekali belum kejadian. Kamu bisa aja menyiapkan plan A, plan B untuk menghadapi masalah apa yang akan terjadi nanti. Tapi nggak harus memikirkan sampai komentar-komentar orang juga. Tangan kamu cuma dua, sedangkan mulut netizen ribuan di luar sana. Gimana coba caranya kamu diemin mulut sebanyak itu?"

"..."

"Makanya, kadang jadi bodo amat itu penting. Biar nggak jadi tekanan di diri sendiri." Jeffrey melanjutkan, "Ini maksud aku bukan cuma ke hubungan kita loh ya, kamu kalau kerja juga gitu. Terlalu kritis sampai hal kecil yang nggak akan kejadian aja kamu mikirin jalan keluarnya."

"Aku ada dari keluarga yang tidak menikah, Jeff." Jeffrey menoleh tidak menyangka Athena akan mengatakan ini sendiri kepadanya. "Menjadi aib untuk keluarga sudah beban untuk aku. Jadi cuma ini yang bisa aku lakukan untuk keluarga aku."

Athena sudah mengingat betul-betul nasihat Tiana dua hari yang lalu. Tapi sepertinya Jeffrey harus tahu alasan kenapa dia menjadi sangat ambisius dengan pekerjaannya. Dia tidak ingin Jeffrey salah mengartikan maksudnya selama ini.

"Kamu sadar nggak banyak orang di sekitar kamu yang peduli sama kamu? Kalau dulu aku ngiranya kamu seperti itu karena merasa tulang punggung utama keluarga, sekarang kamu sudah kasih tahu aku, jadi aku ubah presespsi aku itu. Apa kamu merasa sangat malu dengan itu Athena? Ibu kamu sudah melahirkan kamu dan kamu mengganggap diri kamu sendiri aib. Kamu nggak mikir perasaan Ibu kamu kalau dia dengar ini?"

Kenapa kata-katanya mirip dengan bude! Athena mengerut samar.

"Lagian seingatku, orangtua kamu menikah, kok. Baru kamu lahir. Urusan hamil duluan baru menikah itu sudah umum, menurut aku. Ya walau memang salah sih, sebenarnya." Jeffrey kali ini benar-benar berbicara santai sesekali mengawasi ekspresi Athena yang memerhatikannya. Dia akan menggunakan kesempatan ini untuk memberitahu wanita itu bahwa bayi yang lahir ke dunia bukan aib, dan tidak ada yang salah dengannya. "Maaf kalau aku ngomong gamblang begini. Tapi memang kenyataannya begitu. Kalau di Indonesia mungkin masih tabu, tapi ketika aku di Jepangㅡkota besar terutama, sudah hal yang lumrah. Di Amerika juga apalagi. Kalau kamu bilang diri kamu sendiri aib, sama aja dong kamu menilai bayi-bayi yang lahirnya sama dengan kondisi kamu itu aib? Apa aku salah?"

"Aku nggak kepikiran sampai ke sana." Athena membalas dengan suara sedikit gugup. Jeffrey yang seperti ini tidak pernah dia lihat sebelumnya. "Kamu aslinya kayak gini, Jeff?"

"Hah?" Sekarang Jeffrey yang mengerutkan dahi. Athena selalu berhasil membuatnya gagal memperkirakan kemungkinan apa saja yang akan wanita itu katakan kepadanya. "Kamu selama ini ngelihat aku tukang kesandung sama gugup aja gitu?" Jeffrey bertanya balik dan memutar kedua matanya ketika Athena mengangguk.

"Kalau kesandung, seriusan kayaknya aku lagi apes aja. Kalau gugup ya karena tingkah kamu di luar perkiraan aku. Jadi kalau aku nggak bisa ngerespon karena malu, ada bukti kebenarannya kok, dua telinga ini, nih." Jeffrey melirik ke kiri dan ke kanan melihat telinganya. Athena tersenyum dan mengangguk.

"Kamu punya lesung pipi itu dari Ayah kamu?" Athena ingat ketika dia bertemu Ibu Jeffrey, dia tidak menemukan hal yang sama dengan Jeffrey pada saat tersenyum. Jadi Athena menyimpulkan mungkin Jeffrey mendapatkan dari Ayahnya, dan laki-laki itu mengangguk.

"Aku sering dibilang salinan Papa aku karena saking miripnya. Mama aku dikatain cuma mesin cetakannya coba sama Oma." Athena tertawa untuk kesekian kalinya tapi dengan tangan yang menutup mulutnya. "Oma aku memang mulutnya agak menyayat hati tapi sebenarnya dia nggak bermaksud begitu, kok. Cuma kadang dia kalau ngelihat orang sudah punya panggilan sendiri aja gitu. Kayak kamu dipanggil antena sama dia. Bisa-bisaan kan dia manggil kamu begitu."

Ketika Jeffrey meminum tehnya, Athena membalas, "Nggak apa-apa, aku suka kok panggilan itu. Daripada cucuknya, ABC."

Jeffrey menahan dirinya untuk tidak menyemburkan isi tehnya. "Tahu darimana?" tanyanya setelah meneguk tehnya.

"Wandi. Katanya dia lihat kamu chatting-an sama aku di kantin. Waktu itu kamu pakai kacamata jadi pantulannya kebaca sama Wandi." Anjir si mulut ember! Jeffrey benar-benar akan meninju kembali perut laki-laki bermata sipit itu. Sepertinya itu tidak cukup, Jeffrey berpikir mulut Wandi memang harus dia jahit saja senin nanti.

"Ya, nama kamu kepanjangan. Unik juga kalau disingkat kan jadi mirip sama merek minuman kesukaan kamu itu, buto ijo."

"Kacang ijo, Jeff." Athena memukul lengan Jeffrey dan Jeffrey terkekeh. Ketika keduanya berhenti tertawa, Jeffrey mengambil salah satu tangan Athena dan menautkannya dengan jari-jari panjangnya.

"Aku menyukai apapun dari kamu, Athena. Jadi jangan benci diri kamu sendiri. Kamu bukan aib keluarga kamu. Malahan rasanya aku mau sungkem sama orangtua kamu sudah buat aku bucin sama anak mereka."

Athena tersenyum dengan deretan rapi di giginya. Kemudian mengeratkan genggaman tangan Jeffrey di tangannya. "Makasih, Jeff."

"Anytime." Jeffrey menatap Athena. "Ingat, kamu punya banyak orang peduli di sekitar kamu. Berhenti terlalu berpikir berlebihan tentang hal yang nggak penting. Itu cuma akan membuat kamu stres sendiri dan ngerasa nggak ada orang yang peduli sama kamu. Padahal kamunya aja yang nggak tahu."

Athena mengangguk. Ucapan Jeffrey hari ini membuatnya banyak berpikir kembali. Dia tidak akan membuat kesalahan yang sama dia lakukan dulu kepada Andrea. Athena akan menerima dirinya sendiri terlebih dahulu, baru perlahan-lahan membuka dirinya untuk orang lain. Kemudian soal perasaan dengan Jeffreyㅡ

"Jeff, soal pertanyaan kamu tadi..." Athena tiba-tiba tidak menemukan kata-katanya. Dan Jeffrey sepertinya sudah tahu jawaban wanita itu.

"Kamu jangan menyuruh aku untuk mencari wanita yang lain, ya. Aku sudah menemukan kamu itu rasanya kayak menemukan harta karunㅡlebih malah."

"Aku nggak minta kamu menjawab pertanyaan aku sekarang, Athena. Tapi aku tetap menunggu kamu. Aku mempersilakan kamu untuk berpikir. Dan kalau kamu sudah mengizinkan aku untuk mengambil langkah lebih serius, aku nggak akan kasih kesempatan kamu untuk menghindar atau mundur dari aku."

"..."

"Satu hal yang aku minta sama kamu. Pilih aku dari banyaknya laki-laki terbaik yang berderet rapi di depan kamu. Jadi akuㅡorang biasa ini, bisa merasa bangga karena Athena Briza Caridad memilih Jeffrey sebagai pilihan terbaiknya diantara laki-laki terbaik di depannya."

Sekarang bibir Athena tertutup rapat dan otaknya tiba-tiba merasa seperti berhenti bekerja. Tidak tahu harus memberi respon apalagi bahkan ketika Jeffry bergerak implusif memeluknya. Satu hal yang Athena tahu saat itu. Jantung Jeffrey berpacu sangat cepat sama dengannya sekarang

Angin malam ini sepertinya tidak membuat mereka merasa kedinginan. Atau ini angin panas, ya? Terka Athena.

*

A/n : saking enjoynya aku nulis part ini nggak kerasa 6000 wordsㅡtapi sebagian aku potong ke chapter selanjutnya kok hehe.

Banyak banget yang nanya visual Andrea gimana. Jadi aku kasih tau aja deh dari segi visual menurut aku itu siapa.

Andrea pertama kali aku mikirnya itu Lucas. Serius ini cuma pemikiran ngasal aja. Terus karena karakter Andrea terus berkembang akhirnya visualnya aku ubah yang lebih bukan grup boy band lah. Siapa dia?

Henry Golding. Hahahaha (eh itu nggak sih namanya?) Yah pokoknya dia tokoh utama cowok yang di film crazy rich asians itu. Searching aja di google mukanya ya. XD

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top