32 | Ajakan Makan Bersama

Masih jam 9 pagi, dan suasana di lantai bawah terdengar sangat ramai. Doni pada saat itu sedang berbicara dengan Jeffrey perihal pemasaran yang berada di lantai sepuluh kemudian mendecak. "Miko tuh ya bener-bener... rontok rambut gue ngurus anak itu lama-lama!" Doni mengambil langkah lebar mengomeli anak buahnya yang masih seumuran jagung itu. Jeffrey tertawa diam-diam di belakang. Bersyukur juga dia tidak bertemu dengan Miko setiap jam seperti Doni, beneran bisa gila nanti gue.

"Kenapa teriak-teriak?" Doni masuk ke dalam kerumunan dan tiba-tiba raut wajahnya melunak ketika dia menemukan Athena yang melihatnya. "Eh, Ibu." Doni sedikit menundukkan kepalanya kemudian. "Saya penasaran kenapa ribut-ribut di sini. Suara Miko kedengaran melengking sampai atas soalnya," lanjut laki-laki itu.

Miko terlihat sedikit bersalah, tapi ketika dia melihat Jeffrey di belakang, kembali dia tersenyum lebar. "Mas Ganteng hari ini ganteng banget siiihh, gimana kepalanya? Udah baikan? Sini deh, kita-kita lagi liatin video sistahㅡIbu Athena maksudnya, di Grand Opening kemarin. Cantik banget boorr." Miko memukul lengan Athena seperti ibu-ibu arisan dan karyawan wanita yang mengelilingi sedikit terkejut bagaimana tingkah Miko yang terlihat akrab dengan CEO mereka.

"Kepala saya sudah nggak apa-apa." Jeffrey mendekat dan memerhatikan hari ini Athena menggulung rambutnya dengan kemeja satin cokelat tua yang digulung hingga siku. Kenapa makin cantik aja, sih. Wajah Jeffrey sekarang terlihat tenang, tapi hatinya meraung-raung setiap kali dia melihat wanita itu. Disisi lain ada perasaan lega ketika dia tidak menemukan koyo-koyo di leher wanita itu lagi.

Miko mengambil posisi mendekati Jeffrey dan Athena menahan tawa ketika melihat wajah Jeffrey sedikit tegang. Miko terlihat sengaja merangkul punggung Jeffrey dengan satu tangannya. Athena tahu Jeffrey tidak suka dengan itu, jadi dia bertindak impulsif. "Don, saya mau lihat laporan kamu di proyek Brazil." Athena melewati Miko dari belakang dan memukul pelan telapak tangan laki-laki itu yang berada di punggung Jeffrey. Mine, kata Athena kepadanya tanpa suara. Miko tertawa lagi.

"Lihat deh." Miko menurunkan tangannya dari punggung Jeffrey dan memperlihatkan video yang sebenarnya sudah Jeffrey lihat di televisi. Yah, Athena terlihat cantik di sana dengan jas putihnya. Di menit berikutnya Jeffrey tidak menyukai bagaimana Jakarta News mengambil gambar Athena berbicara begitu akrab dengan Joseph Gelion. Komentar-komentar di video itu begitu antusias tentang hubungan Athena-Joseph. Hingga sampai menjadi berita di Line. Hhhhh, jengah Jeffrey sebenarnya.

"Mereka ngomong pakai bahasa Perancis tapi keliatan kayak sudah akrab banget, ya?" salah satu karyawan wanita berkomentar di sebelah Miko. Dan yang lain mengangguk.

"Ibu Athena punya riwayat kuliah di Perancis, 'kan? Apa pernah ketemu sama Joseph juga nggak, ya?"

"Beda kampus. Aku pernah baca profile Joseph Gelion. Athena dan Joseph sudah ketemu empat kali. Tiga kali di museum seni, satunya yang kemarin. Menurut aku, Joseph kelihatan ngejar-ngejar Ibu Athena, sih."

"Tapi Ibu Athena juga belum kelihatan tertarik sama siapa-siapa, ya. Andrea hot man banget soalnya. Kalau Joseph itu kelihatan lebih kayak playboy mungkin? Pas berita hubungan mereka sudah selesai, banyak wanita mengantre untuk Andrea tahu! Sampai ada yang bela-belain menggunakan jasa perusahaan Andrea untuk hal-hal yang nggak penting banget."

"Tapi Andrea juga kelihatan belum mau cari pengganti Ibu Athena. Iyalah, Ibu Athena itu pokoknya masuk kriteria para mertua. Sudah kaya, cantik, pintar pula. Siapa coba yang nggak mau sama dia?"

Miko melirik Jeffrey dan menemukan wajah laki-laki itu sangat masam. Walau dia terlihat cuek dan mendengarkan yang lain berbicara, tapi sepertinya Miko tahu betul Jeffrey ingin mengatakan, Athena punya gue ya sekarang.

Kemarin Ema bercerita kepadanya mengenai Athena dan Jeffrey, Miko tentu menganggapnya adalah gosip semata. Tapi ketika Athena mengatakan satu kata tadi kepadanya, dia tahu sekarang. "Duh, kalian berdua sudah kayak backstreet aja," Miko bersuara kecil memastikan hanya Jeffrey yang mendengarkannya. Dua detik kemudian, Jeffrey menatapnya dengan alis mengerut.

"Eh tapi, bapak pernah bertengkar sama Andrea, kan? Di parkiran." Salah satu karyawan wanita bertanya kepada Jeffrey. "Saya ada di sana waktu itu, pak. Ibu Athena sampai teriak misahin bapak sama Andrea."

Jeffrey tertawa sebentar, "Waktu itu saya salah paham sama dia. Sekarang saya sama dia sudah baik-baik aja, kok. Malah kita temenan." Temenan apanya, Jeff? Andrea ngirim email ke lo aja, nggak lo balas karena iri sama dia yang ganteng, yang tajir daripada lo.

Andrea mengirim email kepadanya dua hari yang lalu. Isinya ajakan makan bersama sebelum laki-laki itu kembali ke Jakarta. Ngapain coba, ngajak gue makan-makan segala. Dikira gue cewek yang diajak nge-date apa.

"Salah paham apa ya pak, kalau boleh tahu?" tanya wanita itu lagi. Miko sudah menutup ponselnya dan ikut mendengarkan karena dia baru megetahui tentang ini. Jeffrey bingung harus membalasnya, dan pada saat itu Doni kembali bersama Athena. "Heh, masih di sini aja kalian. Kerja sana. Kalian digaji bukan ngumpul-ngumpul cantik tahu."

Ketika Miko dan karyawan wanita kembali ke mejanya, Doni memasukkan satu tangannya ke saku celana dan melihat Jeffrey. "Gih, ke ruangan lo sana. Hokage sudah jalan duluan, tuh. Nggak mau naik lift barengan kalian?"

"Kan, gue belum selesai ngomongin yang tadi sama lo di atas. Gimana sih, Don?" Jeffrey tertawa ketika Doni menepuk dahinya sendiri.

"Iya ya. Sorry, lupa gue. Kebanyakan yang dikerjain. Haha. Ayo ke atas."

"Wandi kemana? Di grup chat nggak ada nongol." Jeffrey menaiki tangga bersama Doni yang terlihat mengusak rambut belakangnya sedikit stres.

"Kata Fanya, lagi survei empat hari ke Amerika sama anak-anak advertising." Karena pemasaran luar kali ini ada di Amerika, Wandi harus pergi ke sana dan membuat janji temu dengan beberapa stasiun televisi Amerika untuk promosi produk mereka bulan depan. Wandi juga akan bertemu dengan board member Caridad di Amerika membicarakan hal yang sama. "Wandi pakai koyo di dahinya tahu. Fanya ngasih tahu gue sambil ketawa-ketawa. Mak lampir emang si Fanya."

Jeffrey tertawa sebentar, "Nggak lama dia yang pakai, liha aja nanti. Eh iya, Ema masih di tempat lo?"

"Masih. Rumah gue makin hancur waktu ada Miko juga di sana. Sumpah Jeff, itu dua manusia kalau di rumah gosip mulu kerjaannya sampai keganggu tidur gue." Doni mendesah frustasi ketika ingat bagaimana Miko datang ke rumahnya dan mengatakan dia tidak mempunyai tempat tinggal di Yogyakarta. Ema menawarkan tempat tinggal Doni dan Miko menerimanya. Sekarang Jeffrey mengerti darimana Doni mendapatkan kantung mata itu.

"Kenapa nggak lo cariin kosan buat dia?"

"Sudah. Dianya bilang, sambil kerja mau nabung buat nyari kontrakan juga. Jadi sementara dia tinggal di tempat gue. Malamnya Hokage nelpon gue minta maaf soal Miko itu."

"Loh? Kenapa?"

"Ya, Miko awalnya mikir bakal tinggal sama Hokage lagi di sini. Tapi kan, Hokage tinggal sama Eyangㅡmaksud gue pak Hery. Pak Hery susah nerima orang baru, Jeff. Apalagi modelan kayak Miko. Habis disepak dari rumah ntar."

Jeffrey spontan meneguk air liurnya sendiri. Anjir sudah susah dapat cucuknya susah pula deketin Eyangnya. Sekarang Jeffrey berpikir betapa hebatnya Andrea mendapatkan hati Athena sekaligus Hery hingga sampai kepada hubungan pertunangan itu. Lalu Jeffrey teringat ajakan makan bersama dari Andrea di email-nya. Terima aja kali, ya? Sekalian gue bisa tanya-tanya soal itu kalau ketemu sama dia. Eh, Mamah sama Oma gimana? Aduh Tuhan kenapa pada nabrak gini jadwalnya. Kembali Jeffrey menggerutu sendiri.

"Susah banget ya, kalau mau deket sama Eyang-nya?" Jeffrey sedikit merendahkan suaranya ketika dia mengambil kursi lain dan duduk di depan meja Doni.

"Pak Hery marah kalau orang nggak deket sama dia manggil Eyang, Jeff." Doni memperingkatkan laki-laki itu dengan suara tenang. Duduk di kursinya sendiri dan memasangkan kacamatanya. "Gue aja dulu bisa deket sama pak Hery ya karena temenan Ema. Sumpah susah banget bisa ngobrol sama dia. Pertama kali ngobrol, gue diajak ngomong pakai bahasa Jawa coba. Padahal gue udah kenalin diri gue orang Kalimantan, mana gue masih baru tinggal di sini waktu itu. Si Ema malah ngetawain gue coba. Kampret emang itu cewek."

"Seriusan pakai bahasa Jawa?" Jeffrey reflek melebarkan matanya menatap Doni. Ketika Doni mengangguk, Jeffrey mengacak rambutnya sendiri dan menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. "Bahasa Jawa gue cuma di level opo, yo wes, piye, gitu-gitu aja, Don. Masa iya gue harus kursus bahasa Jawa dulu biar bisa nyambung ngobrol sama pak Hery?" Jeffrey sudah lama tinggal di Yogyakarta, tapi sejujurnya dia hanya bisa menggunakan kata-kata umum yang sering dia dengarkan. Jika orang berbicara bahasa Jawa dia masih bisa mengerti. Itu juga masih paham-paham sedikit. Tuhan gini amet perjuangan gue, batin Jeffrey.

"Sampai kadang gue mikir, apa Andrea juga ikut kursus bahasa Jawa biar bisa dapat hatinya pak Hery. Soalnya Andrea kan, anak Ibu kota." Doni ingat, ketika dia menghadiri acara barbeque sederhana di pekarangan rumah belakang Hery, dia mendengarkan Andrea berbicara dengan Hery dan benar-benar terkejut karena Andrea berbicara begitu fasih dengan bahasa Jawa bersama Hery waktu itu. "Jeff, seriusan lo kalau mau deketin Hokage harus terima banyak saingan, banyak perjuangan, banyakin sabar. Lo juga kayaknya harus berguru sama Andrea. Ini gue serius kasih saran ke lo."

Jeffreh menutup wajahnya dengan telapak tangan lalu mendesah panjang. "Terus lo akhirnya bisa ngomong sama pak Hery?"

"Iya. Pakai bahasa Indonesia. Pas kita sering ketemu, dia minta maaf sama gue sudah ngomong pakai bahasa yang nggak gue ngerti, terus minta gue panggil dia Eyang aja. Dia juga minta gue panggil Hokage kakak kalau di luar kerjaan. Yaudah deh, dari situ gue makin deket sama dia. Orangnya baik banget sumpah. Mana suka ada duit dua puluh ribuan di dalam blankonnya kalau dia mau jajan cilok atau gudeg yang lewat." Doni tertawa membayangkan Hery yang selalu menggunakan blankon dimana ada uang di dalamnya. Orang-orang luar akan melihat Hery adalah kepala keluarga Caridad yang hidup dengan kemewahan, bijaksana dan jenius. Doni menyetujui dua kata sifat bijaksana dan jeniusnya. Untuk hidup dengan kemehawan, Doni kurang yakin. Hery sangat menyukai berpakaian kaus putih dan celana batik. Rumahnya bermodel keraton dengan dua ART dan dua pengrajin batik yang selalu datang ke rumah setiap pagi. Laki-laki tua itu juga selalu membawa kipas sate di tangannya ketika duduk di pekarangan rumah melihat tanamannya. Hery sama seperti Eyang yang lainnya dimana menikmati masa tuanya dengan hal-hal yang biasa saja, pikir Doni.

"Berarti gue nggak harus kursus dong?" Ada raut senang di wajah Jeffrey ketika Doni meliriknya sebentar. "Buktinya, lo diajak ngobrol pakai bahasa Indonesia juga ujung-ujungnya."

"Nggak tahu deh gue soal itu. Lagian gue sama Ema temenan, Jeff. Beda kayak lo yang memang mau ada hubungan lain sama Hokage. Lihat aja Andrea sampai belajar bahasa Jawa biar bisa masuk ke keluarga mereka. Seniat itu dia. Masa lo nggak? Ya, tapi itu balik ke lo lagi sih." Doni lalu membuka dokumen yang dibahasnya bersama Jeffrey sebelumnya, lalu kembali membicarakannya.

*

Andrea yang baru saja merapikan bajunya dan melihat ponselnya yang bergetar. Sedikit tersenyum ketika Jeffrey membalas email-nya.

Rencana makan barengan itu, bisa diambil jam makan siang ini aja, nggak? Ngomong-ngomong, lo bisa hubungin gue di nomor ini aja, ribet pakai email.

+62xxxxxxxxxxx

"Gue mau reservasi tempat makan lain awalnya. Tapi berhubung lo sendiri yang nentuin tempatnya yaudahlah." Andrea datang setengah jam kemudian dan menghampiri Jeffrey yang duduk di depannya. Andrea tidak menyangka Jeffrey akan menerima tawarannya dan mengajaknya makan di warung soto lamongan di pinggir jalan. Warung ini menghadap dinding langsung. Dan posisi Jeffrey saat ini duduk membelakangi jalan raya. Tempatnya cukup ramai diisi oleh laki-laki dan wanita menggunakan kemeja yang bekerja di bank swasta tepat di sebelah warung ini.

"Lo udah mesen?"

Jeffrey menggeleng melepas kartu nama yang menggantung di lehernya dan menyimpannya di dalam saku. Agar orang-orang yang duduk di sebelahnya tidak memperhatikannya. "Yaudah gue pesenin dulu," kata Andrea lagi.

"Gue air dingin, ya," tambah Jeffrey. Andrea mengacungkan jempolnya. Ketika sudah memesan, Andrea kembali duduk dan bersuara, "Gimana, lo menang nggak lomba bawa kelerengnya?" Jeffrey menatap Andrea dengan dahi mengerut. Dia tahu kemana arah pembicaraan laki-laki itu. Andrea mengejek Jeffrey yang berjalan cepat di parkiran beberapa hari yang lalu ketika dia mengira Athena dan laki-laki itu akan melakukan, yah itulah.

"Lo mau ngomong apa sampai ngajak gue ketemuan?" Jeffrey membalas dengan pertanyaan lain dan memangku wajahnya sedikit malas.

"Banyak sih sebenernya, tapi karena jam makan siang lo mepet banget jadi gue ke intinya aja." Ketika minuman mereka datang, Andrea melanjutkan, "Lo ada rumah di daerah Giwangan, ya?"

Hah? Jeffrey kembali mengerutkan dahiㅡkali ini lebih dalam. Kok dia bisa tahu. Jeffrey telah membeli perumahan bermodel town house di Giwanganㅡdengan tahap cicilan. Untuk tempat tinggalnya bersama keluarga kecilnya nanti. Saat ini, tempat itu baru selesai 40% tetapi sudah 15 dari 30 unit terjual. Pemilik unitnya adalah Gavin Fahesa, kenalan Jeffrey di Kyotoㅡorang Indonesia juga. Seingatnya, kenalannya tidak ada hubungan sama sekali dengan Andrea, jadi gimana dia bisa tahu? Nggak mungkin kan, dia nyari-nyari info pribadi gue pakai orang bayaran kayak di film-film.

"Lo tahu darimana?" tanya Jeffrey kemudian.

"Mereka mitra perusahaan gue untuk desain bangunan unitnya. Gue nggak sengaja lihat nama-nama yang sudah beli duluan unit itu. Eh, kaget gue lihat nama lo di sana." Andrea tersenyum sebentar ketika makanan mereka sudah tiba dan mengaduk isi mangkuknya. "Buat ditinggal bareng sama Athena nanti, ya?"

"Buat anak-anak sama istri gue pokoknya," jawab Jeffrey diplomatis. Karena dia tidak mungkin juga menjawab iya jika jodohnya bukan bersama Athena. "Inti pertayaan lo itu cuma mastiin gue yang beli satu dari town house di sana?"

Andrea menggeleng, "Athena dulu pernah bilang ke gue, kalau dia mau punya keluarga yang tinggal di perumahan kayak town house. Dia ngomong kayak gitu setelah hubungan kita jalan empat tahun. Makanya gue sempat kaget kok lo bisa beli rumah di sana, terus gue mikir apa Athena yang ngasih tahu ke lo. Tapi masa secepat itu?"

"Athena nggak pernah ngomong gitu ke gue." Jeffrey tersenyum samar ketika dia tahu ternyata Athena memiliki pilihan yang sama soalnya mengenai rumah. "Gue milih town house ya karena di Manado lingkungan gue juga begitu." Banyak alasan kenapa Jeffrey memilih itu sebenarnya, tapi dia tidak akan memberitahunya kepada Andrea. Jawabannya barusan sudah sangat cukup untuk laki-laki itu.

"Gue ngiranya lo bakal punya rumah mewah gitu buat keluarga lo nanti. Lo milih town house di luar ekspetasi gue."

"Capek istri gue nanti bersihin rumah mewah. Belum tagihan listrik, belum sekolah anak, belum pajak ini itu." Andrea tertawa ketika Jeffrey menjawab pertanyaannya begitu polos. Sedikit terkejut juga karena laki-laki itu sudah mempersiapkan kehidupannya sejauh itu.

"Kalau lo mau, gue bisa minta karyawan gue bagian konsultan properti buat rumah lo. Gue juga usahakan minta persetujuan dari Gavin kalau beneran jadi. Kasih tahu aja gue nanti."

Jeffrey tertawa, "Kalau jodoh gue Athena beneran, gue langsung hubungin lo, minta ubah desainnya sekalian yang wah. Takut Pak Hery nggak senang cucuknya tinggal di town house biasa."

"Biasa mata lo. Perusahaan gue ya yang desain. 30 unit itu punya Gavin Fahesa tahu. Susah dapat klien orang kayak dia. Enak aja lo bilang itu town house biasa." Andrea menyanggah dengan mulutnya berisi makanan. Gavin Fahesa adalah laki-laki keturunan Bali asli. Gavin adalah pengusaha besar dibidang properti. Fahesa Niron Town House adalah salah satu miliknya di Jakarta Selatan dan berhasil mendapatkan sorotan publik. Dan sekarang, Yogyakarta menjadi target berikutnya dengan menggaet dua arsitek dari perusahaan Andrea. "Lagian Eyang nggak melihat orang pertama kali dari finansial, kok. Orangnya merakyat malah, lo bakal lihat dia dengan blankon sama kipas satenya kalau di rumah." Jeffrey kembali teringat perkataan Doni tadi pagi tentang Hery. Dan dia sedikit iri bagaimana Andrea sangat mudah memanggil Hery dengan sebutan Eyang.

"Lo kayaknya deket banget ya sama keluarganya Athena."

Andrea mengangkat kepalanya, menemukan Jeffrey tersenyum memasukan makanan ke mulutnya. "Ya kalau nggak deket gimana gue bisa tunangan sama cucuknya?"

"Hubungan gue sama Athena sudah sampai ditahap yang serius, butuh perjuangan gue sampai ke tahap itu, Jeff. Dulu gue juga sama kayak lo yang sekarang. Banyak ragu, banyak pesimisnya. Tapi percaya deh, kalau lo bener-bener serius, keluarga Athena bakal dukung lo sepenuhnya. Kayak gue bilang diawal tadi, bukan finansial yang pertama dilihat."

Benar juga. Kalau dipikir-pikir lagi, Caridad bukan keluarga antagonis yang kaya raya, gila harta dan status sosial seperti di novel atau di film. Malahan lebih tertutup. Jika tahu bagaimana mereka sebenarnya itu bonus besar. Melihat Andrea yang mungkin segi finansialnya sedikit lebih rendah dari Athena, sudah membuktikan bahwa Hery dan keluarga Caridad yang lain sama sekali tidak melihat Andrea demikian. Pasti ada faktor besar yang membuat Andrea diterima di sana. Benar-benar serius, kata itu pasti menyiratkan perjuangan Andrea dengan hubungannya bersama Athena.

"Kalau boleh tahu, gimana cara lo dekat sama pak Hery? Karena gue dengar dia susah dekat sama orang lain."

"Bukan susah dideketin, sih. Tapi Eyang lebih kayak ke pemilih aja. Ya lo tahu sendiri kan, orang penting atau artis pasti banyak yang mau deketin biar dapat jaringan banyak, terus bisa masuk sana, masuk sini. Kalau dapat jaringan bagus sih, nggak apa-apa. Kalau nggak? Eyang meminimalisir orang-orang kayak gitu dari keluarganya. Makanya sampai ada kalimat susah dideketin buat deskripsiin dia."

Jeffrey mengangguk beberapa kali. Masuk akal sih, kalau dapat jaringan jelek, pasti keseret nama keluarga mereka.

"Nah bicarain soal finansial tadi, gue kasih tahu ya, semua orangtua pasti mau anaknya hidup enak, Jeff. Untuk kasus anak perempuan, orangtua sudah susah payah ngebesarin mereka, masa hidup mereka susah sama kita? Wanita yang mau diajak hidup susah memang baik. Tapi, bukannya laki-laki yang baik itu nggak akan ngajak wanitanya hidup susah juga?"

"..."

"Terlepas dari berapa pun pendapatan laki-laki, selama dia sudah berusaha memenuhi kebutuhan keluarganya, menurut gue dia kepala keluarga yang berhasil melakukan peran utamanya."

"Eyang nggak pernah bahas soal ini ke gue sih, tapi gue cukup tahu diri untuk bertanggung jawab buat cucuknya bahagia sama gue. Itu yang gue pikirin dulu. Makanya, gue mau lo berpikir rasional soal ini. Kita hidup bukan makan cinta aja, tapi uang juga kan sebagai faktor kebahagiaan yang lain. Menurut gue, seharusnya lo jangan merasa tertekan dengan itu, karena hal itu memang sudah seharusnya kita yang laki-laki lakukan. Malahan harusnya lo buktiin kalau lo setara dengan Athena di level yang lain. Otak misalnya. Lo berdua kan, sama-sama pintar. Lagian lo yang sekarang sudah mapan banget, kok. Siap jadi papa muda pula." Jeffrey terbatuk di kalimat terakhir Andrea dan laki-laki itu tertawa melihatnya.

"Minum, minum." Andrea memberikan gelas berisi air dingin kepada Jeffrey dan laki-laki itu menerimanya. Setelahnya, Jeffrey dan Andrea kembali melanjutkan makannya. Andrea sepertinya selesai dengan obrolannya dan Jeffrey terus mencerna kalimat-kalimat Andrea tadi. Tidak ada kata-kata yang bisa dia temukan di kepalanya ketika dia memikirkan perkataan laki-laki itu. Jeffrey mengurungkan niatnya untuk berguru dengan Andrea demi mendapatkan hubungan yang baik dengan Hery. Sepertinya Jeffrey harus melakukan dengan caranya sendiri.

"Makasih wejangannya." Andrea berhenti mengunyah dan melihat Jeffrey asik mengaduk isi mangkuknya. "Kayaknya gue tahu sekarang kenapa Athena nerima lo."

"Iyalah, secara gue ganteng." Jeffrey memutar kedua matanya ketika Andrea kembali bersikap sedikit menyebalkan. "Nama gue masuk di deretan Pria Mapan dan Menarik dari Hiros, loh. Nomor dua puluh lima kalau nggak salah. Lo harus lihat, wajah gue sangat...." Selanjutnya, Jeffrey tidak mendengarkan Andrea berbicara dan menyelesaikan makan siangnya. Lalu kembali mereka berbicara mengenai pekerjaan dan topik-topik ringan lainnya.

Hari ini, Jeffrey sedikit bersemangat lagi untuk mengambil langkah lebih jauh dengan Athena.

*

Yang begini makan di warung pinggir jalan, habis dikerumunin kali ya? XD

Btw, ini 3000 words lebih loh. Semoga kalian nggak mabok ya. Sampai ketemu di chapter selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top