20 | Athena, saranghae

miss me? -jeffrey

****

"Kalau lo noleh ke arah jam tiga, lo akan melihat penampakan seorang bucin."

Wandi mengikuti perkataan Doni dan menemukan Jeffrey berdiri di mesin fotocopy tersenyum sendiri dengan telinga merahnya. Wandi menggeleng dengan decakan lidahnya.

"Biarin aja. Dia lagi kesenengan itu." Wandi kembali membaca laporannya dan meminum kopinya sendiri.

"Masih pagi dan dia sudah kayak orang sinting aja," komentar Doni.

"Ya, wajarlah dia kayak orang sinting. Lo nggak tahu aja kemarin apa yang Hokage lakuin ke dia." Kemarin Wandi ingat, ketika dia menemukan Jeffrey diam sendiri mematung di lift seperti orang bodoh dengan wajah peluh keringat. Wandi pikir, sekretaris itu sakit. Nyatanya tidak. Jeffrey menceritakan semuanya dengan suara gemetar dan Wandi menghela napas panjang memaklumi sikap Jeffrey dan tindakan Athena yang membuat laki-laki itu menjadi sinting pagi ini.

"Kenapa emang?" Doni memutar kursinya dan menggesernya kepada meja Wandi. Wandi mengangkat kedua bahunya.

"Selesain kerjaan lo aja." Wandi melirik ke arah lain ketika mendengar bunyi sepatu wanita mendekat. Ema di sana berjalan dengan langkah panjang mendekati meja Doni. Sesaat kemudian Wandi menghela napas lagi ketika mendengarkan Ema dan Doni beragumen di sampingnya. Sen, kapan lo balik? Gue kangen. Wandi menatap foto berukuran kecil dirinya dan Sena yang dia tempel di sudut komputernya. Sena adalah kekasihnya selama empat tahun dan sekarang wanita itu berada di Ohio mengejar karirnya. Wandi dan Sena sudah setengah bulan tidak berkomunikasi, itu membuat mood-nya sedikit jelek. Tapi Wandi berhasil mengontrol dirinya sendiri dengan baik.

"Cie, bucin lagi kangen." Jeffrey tiba-tiba datang mengejek dan menatap Wandi dengan senyuman miring. Alisnya dia gerakan ke atas dan ke bawah dengan menyebalkan.

"Heran gue, kok ada ya orang yang nggak ngaca kayak lo." Wandi mengabaikan Jeffrey mencari sumpalan yang bagus untuk menutup telinga kirinya yang berdengung karena suara Doni dan Ema cukup menyakiti telinganya.

"Ya ngapain gue ngaca kalau sama-sama bucin?"

"Oh, ngaku?"

"Ya nanti dia yang bucin sama gue."

"Siapa? Hogake?" Wandi melirik dengan senyuman remeh. "Makanya gue sering ngatain lo halu ya gara-gara ini. Suka mengkhayal yang nggak akan kejadian."

"Ya biarin aja sih. Ganggu kesenangan orang aja lo." Jeffrrey mendecak dan mendesis bukan karena perkataan Wandi, melainkan Doni dan Ema yang masih berteriak juga mengumpat satu sama lain.

"Lo tiap hari dengerin mereka kayak gitu, Wan?" tanya Jeffrey.

"Setiap jam, Jeff." Wandi tersenyum seperti sudah biasa menghadapi situasi yang ada. "Beruntung lo dapat ruangan di atas sama Hokage."

"Miris gue ngelihat lo." Jeffrey menyandarkan punggungnya di kursi dan melipat tangannya ke depan. "Tapi ya lebih baik kayak gini sih, daripada lo dapat ruangan sendiri."

"Kenapa memang?"

"Ya nanti lo makin galau mikirin Sena yang nggak balik-balik ke Indonesia." Kemudian Wandi menendang tulang kering Jeffrey dengan sepatu kulitnya. "Makan tuh," Wandi mengumpat membiarkan Jeffrey meringis mengusap kakinya sendiri.

"Tapi, Sena emang nggak ngabarin lo sama sekali? Lo kelihatan kurang asupan cinta sama dia."

Wandi melirik Jeffrey yang masih mengusap kakinya beberapa kali, lalu dia mengalihkan pembicaraan. "Lo jadi makan sama Hokage kemarin?"

"Jadi dong." Wandi tersenyum samar bukan karena jawaban Jeffrey yang penuh semangat, melainkan karena dia berhasil mengalihkan topik mereka. "Tebak, kita makan dimana coba?"

"Burjo? Angkringan?" Wandi menebak asal.

"Gila aja Ibu Athena gue bawa ke sana." Jeffrey membalas dengan nada menyolot. "Tapi gue pernah makan sama dia di tempat bakso, sih."

"Coba lo bawa dia makan di burjo atau angkringan. Dijamin mengenyangkan dan hemat." Wandi membalas lagi sesekali mengernyitkan dahinya karena Ema berteriak untuk kesekian kalinya.

"Lo aja dulu coba sama Sena. Palingan putus lo berdua."

"Burjo sama angkringan udah kayak markas buat gue sama Sena. Nggak masalah makan dimana asal itu berdua."

Jeffrey menatap wajah Wandi yang tersenyum sendiri dengan pandangan sangsi. "Gila bucinnya parah banget."

"Ya gue kan bucin sama pacar sendiri. Nah, lo? Pacar aja bukan, masih digantungin iya."

Jeffrey ingin membalas, tapi tiba-tiba dia mengurungkannya. "Anjirlah, lo kalau ngomong suka bener." Kemudian dia meletakkan kepalanya di atas meja dimana wajahnya menghadap wajah Wandi yang terlihat serius menatap pekerjaannya sendiri. "Gue diajak bicara pakai kamu-aku aja udah baper. Dia kayak biasa aja gitu ngomongnya."

"Tipe cewek kayak dia memang harus bener-bener ngejarnya, Jeff. Yah, semua cewek sih pada dasarnya lebih senang sama cowok yang nunjukkin tindakan, daripada omongan doang. Tapi untuk tipe kayak Hokage lo harus lebih ekstra lagi."

"Kok lo kayak tahu banget?"

"Sena persis kayak dia. Dan lagi gue kan mantan sekretarisnya. Jelaslah, gue tahu." Pada saat itu Jeffrey begitu kesal karena pandangan Wandi kepadanya begitu meremehkan.

"Halah. Sombong banget, udah mantan juga."

"Biarinlah." Wandi mengencangkan dasinya percaya diri. "Ngomong-ngomong lo kemarin makan dimana sama Hokage?"

"Yamie Panda." Jeffrey mengangkat kepalanya dan memangkunya. Sementara matanya menerawang ke luar jendela melihat petugas pembersih kaca gedung ada di luar sana bersiul dengan burung gereja. "Gue pikir, gue bisa ambil langkah lebih jauh lagi kalau sudah ngubah bicara non-formal. Nyatanya, nggak. Gue terlalu banyak bertanya, dia jawab seadanya. Kelihatan banget guenya sendiri yang punya rasa ke dia."

"Lah? Memang kenyataannya gitu, kan?" Jeffrey reflek menoleh dengan alis mengerut. "Untuk sekarang maksudnya." Wandi menambahkan kalimatnya secepat kilat.

"Makanya kata gue tadi, harus lebih ekstra," lanjut Wandi.

Jeffrey mendecak, "Lebih ekstra tuh, gimana? Jelasin lah. Gue mana paham maksudnya."

Wandi mengetukkan penanya di atas meja dengan irama acak. Sementara telinga kirinya masih berdengung karena dua manusia di sebelah sana berseteru, dia berpikir saran apa yang bagus untuk membantu sekretaris yang duduk berselonjor putus asa di sampingnya itu.

"Pertama, lo harus ganteng duluㅡmaksimal kayak Andrea, kalau bisa lebih, sih. Nah, kalau syarat pertama sudah terlaksana sisanya gampang."

"Wan, lo mau gue tinju lagi kayak kemarin?" Wandi tertawa terbahak-bahak karena raut wajah Jeffrey sangat jelek di matanya. "Muka lo jelek banget sumpah. Nggak heran gue Hokage cuek ke lo," kata Wandi lagi.

Jeffrey menatap wajahnya sendiri di layar komputer yang mati. "Gue ganteng, kok," katanya dengan nada suara ragu. Lalu Jeffrey memegang dagunya dengan pandanganㅡyang menurutnya keren. Mengangkat satu aslinya mengagumi wajahnya sendiri, kemudian berakhir mencubit kedua pipinya sendiri dengan helaan napas. "Apa, Ibu Athena nggak suka cowok pipinya kayak gini, ya? Oh, Andrea kan, pipinya tirus, mana ada janggut juga. Gue kalau numbuhin janggut dikira udah tua bangka ntar."

"Lo yang sekarang aja jelek. Apalagi pakai janggut." Tawa Wandi semakin keras hingga Ema dan Doni berhenti beragumen di sana. "Gue nggak serius ngomongin lo harus ganteng kayak Andrea. Cuma bercanda, eh nggak tahunya lo anggap serius."

"Ya, habisnya Andrea kan, mantan tunangannya. Tunangan loh. Hubungan yang sedikit lagi ke jenjang yang lebih serius. Secara kasarnya, gue nangkap selera Ibu Athena dari segi fisik memang kayak Andrea, gue mah apa."

"Lo mah ketombe doang, Jeff. Putih, kecil, gampang terbang lagi kalau ditiup Andrea." Doni tiba-tiba masuk ke dalam pembicaraan mereka bersama Ema yang duduk di belakangnya. Wandi semakin tertawa hingga menyeka sedikit air matanya yang keluar.

"Iya, gue ketombe iya." Jeffrey memutar matanya jengah. Dan ketika Wandi pada akhirnya telah berhenti tertawaㅡmeski masih tersenyum menyebalkan, laki-laki bermata sipit itu berkata, "Kalau sudah cinta, fisik itu udah kayak kota besar yang ketutupan kabut, Jeff."

"Maksudnya?" tanya Jeffrey.

"Ya, ada tapi burem. Lihat lo, lo memang sering ngatain Hokage dada rata, tapi kenyataannya lo cinta sama dia, kan? Nah, gitu juga Athena ke Andreaㅡdulu. Mungkin, kalau lo dekatin dia pelan-pelan dia pasti bisa ngebalas perasaan lo. Bahkan bisa bucinㅡkayak kata lo tadi." Wandi sedikit menyindir perkataan Jeffrey sebelumnya dengan cengirannya.

"Deketinnya jangan agresif kayak banteng." Doni menambahkan dengan Wandi yang menahan tawa menyetujuinya.

"Tunjukkin perasaan lo ke dia pelan-pelan. Nggak harus lo chat dia tiap hari atau datangin ruangannya setiap jam, cukup jadi diri lo sendiri, dan selalu ada pas dia butuh atau nggak. Kalau sudah kayak gitu, selamat lo udah dapat kepercayaannya." Wandi sekali lagi mengangguk menyetujui perkataan Ema "Setuju banget gue sama kata Ema. Tapi dari itu semua, poin utamanya adalah, lo selalu jujur, jangan terlalu over nunjukkin kelebihan lo di depan diaㅡitu malah kesannya kayak lo mau nyaingin dia, padahal niat lo nggak begitu. Dan terakhir, usahakan setiap kalian bicara selalu nyambung. Karena tipe Hokage itu kalau ada orang yang nggak sesuai sama dia, yaudah dehㅡbilang dadah aja lagi."

Jeffrey semakin merosot dari kursinya dengan wajah putus asa. Dia memejamkan mata dan menyemangati dirinya sendiri. "Ada lagi sarannya?" katanya lagi dengan mata yang sudah terbuka.

"Menurut gue loㅡ"

"Ada satu lagi." Tiba-tiba Doni menyela perkataan Wandi dengan senyuman miringnya. Dan pada saat itu, Wandi memiliki firasat yang buruk. "Dulu, Andrea suka banget bilang kata-kata cinta ke Hokage pakai bahasa Inggris. Lo coba pakai bahasa Korea, deh."

Ema mengerutkan alis samar karena perkataan Doni. Sejak kapan Andrea jadi cringe gitu anjir?

Sementara Wandi menghela napas dari hidungnya, otaknya sudah memprediksi hal buruk apa lagi yang terjadi nanti atau besoknya. Biarin aja, Wan. Lo jadi penonton aja nanti, batinnya.

"Saranghae, gitu?" Jeffrey bertanya dengan serius dan Doni mengangguk dengan semangat karena Jeffrey masuk jebakannya. "Jangan lupa, ngomongnya pakai gaya love ala Korea. Kayak gini, nih." Doni menyatukan jari telunjuk dan ibu jarinya membentuk lambang hati kecil. "Dijamin, Hokage malu kejer dapat lo."

Wandi sebenarnya bingung kenapa Jeffrey menjadi sekretaris Athena kalau hal seperti ini saja, laki-laki itu percaya dengan polosnya. Lebih ke bego deh kayakanya.

Jeffrey meniru gerakan tangan Doni, dan laki-laki bermata kelinci itu menambahkan, "Nanti ngomongnya harus gentle. Penuh wibawa, pandangan mata harus mendominasi." Jeffrey mengangguk yakin. Semangatnya pagi itu tiba-tiba kembali membara. Ema dan Wandi hanya menghela napas kasihan untuk kesekian kalinya.

"Nanti gue coba," kata Jeffrey pada akhirnya dengan senyuman percaya diri.

*

"Jeff, kamu kenapa?"

Itu adalah perkataan pertama yang diucapkan Athena kepada Jeffrey ketika dia melihat sekretarisnya masuk membawakan kopi kemudian tiba-tiba saja menunjukkan lambang hati kepadanya dengan wajah tegas seperti paskibraka.

"Saranghae." Jeffrey masih menunjukkan ekspresi tegas dengan tangan yang ia acukan ke depan. "Athena, saranghae."

Hah, Athena menyipitkan kedua matanya, mulutnya setengah terbuka sementara tangannya berada di atas keyboard laptop berhenti mengetik. Mendadak otaknya tidak bisa berpikir untuk mengeluarkan kata-kata apapun.

Lima detik kemudian, Athena berdiri mendekati Jeffrey karena sekretarisnya masih diam di sana. Athena menghela napas, menurunkan tangan Jeffrey lalu menepuk bahu laki-laki itu dua kali.

"Kamu saya izinkan makan siang lebih awal. Pilih makanan 4 sehat 5 sempurna, yaㅡatau kalau mau, kamu bisa pulang dan istirahat. Minum obat jangan lupa, dan saya harap kamu bisa bekerja dengan baik besoknya."

"Kamuㅡ" Jeffrey segera sadar bahwa sekarang ini masih dalam jam kerja. Belum waktunya menggunaka kalimat non-formal. "Ibu, nggak tahu artinya saranghae?"

"Saya tahu. Yang saya nggak tahu, kenapa kamu tiba-tiba kayak gitu." Athena mengangkat satu alisnya dengan senyuman heran ketika dia melihat telinga Jeffrey mulai memerah karena malu. "Ada yang nyaranin kamu kayak gitu?" tanya Athena.

Jeffrey tiba-tiba bisa mendengarkan tawa puas Doni di dalam kepalanya. Awas aja itu si kerempeng! Jeffrey menggertakkan gigi-giginya di dalam sana penuh emosi. Tapi Athena kembali mengalihkan isi pikiran dendamnya.

"Terlepas dari itu, terima kasih sudah mau terus terang. Saya belum bisa balas itu untuk sekarang, tapi saya menghargainya."

Jeffrey mengangguk kaku. "Iya, bu. Yang tadi, anggap aja nggak pernah ada, ya bu."

"Loh? Kenapa? Kamu marah?" Athena mengerjapkan matanya dan Jeffrey harus membuang pandangan ke arah lainㅡtidak kuat menatap wajah penasaran atasannya terlihat lucu.

"Nggak, bu." Jeffrey menggeleng. "Cuma, ya malu aja."

Athena tertawa ringan kemudian, lalu mengangguk. "Iya, saya anggap itu nggak pernah kejadian. Terima kasih kopinya, kamu bisa kembali ke ruangan kamuㅡatau ambilㅡ" Athena menggantungkan kalimatnya dan Jeffrey mengerti lalu membalas, "Saya nggak apa-apa, bu. Saya nggak sakit, dan belum lapar juga."

"Kalau gitu, silakan kembali ke ruangan kamu." Athena mengulang dengan menyilangkan kedua tangannya ke depan. Jeffrey mengangguk.

Ketika Jeffrey akan menutup pintu ruangan Athena, wanita itu tiba-tiba memanggilnya lagi.

"Jeff," Jeffrey membuka setengah pintunya menunggu Athena melanjutkan perkataannya. Dan Athena melakukan sesuatu yang membuat Jeffrey hampir menjatuhkan nampannya.

"Love yang kamu buat tadi kurang pas." Athena membuat dua lambang hati di tangannya lalu tersenyum menunjukkannya kepada Jeffrey. "Begini yang benar, Jeff."

"..."

Gue mau pingsan ajalah.

*

"Begini yang benar, Jeff."

Buat yang sekarang lagi ujian, semangat ya!
Semoga ujiannya dilancarkan dan keterima di univ pilihan kalian!💚

Sampai ketemu di chapter selanjutnya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top