17 | Mawar
Siapa bilang Jeffrey membiarkan begitu saja waku berduaannya hanya sebentar?
Kenyataannya setelah makan bakso bersama, Jeffrey tidak kehilangan akal untuk mengajak Athena bisa lebih lama lagi bersama dengannya.
Tapi sayang, Athena memang sulit ditaklukan.
"Saya habis ini mau pergi lagi, Jeff."
Jeffrey harus mengalah sekarang.
"Jeff?" Athena memanggilnya dan Jeffrey mengangkat pandangannya dari kendaraan-kendaraan yang begitu ramai di samping mereka. "Kamu nggak marah kan, saya tolak tawaran kamu ke Malioboro?"
Ya, enggaklah cintaku.
"Nggak, bu. Saya ngerti kok." Jeffrey tersenyum lalu memerhatikan jalan yang ada di depannya kembali karena dia tidak mau tersandung untuk kesekian kalinya.
Setelah tiba di parkiran, Jeffrey mengira Athena akan masuk begitu saja ke dalam mobil. Tapi ternyata Athena justru memutar badannya dan menatapnyaㅡlagi.
Jangan senyum please! Jangan senyum!
Jeffrey mengirimkan telepati kepada Athena untuk tidak tersenyum kepadanya. Tapi sepertinya telepati itu tidak sampai. Dan sekarang Athena justru tersenyum kepadanya. Membuat Jeffrey harus berkomunikasi dengan Tuhannya lagi.
Halo Tuhan, hambamu ingin meledak saja sekarang.
"Ibu kenapa senyum-senyum? Mau ngerjain saya lagi?" tanya Jeffrey menatap ke arah lain.
"Kok jadi kurang ajar kamu, Jeff?"
"Eh, enggak, bu. Ampunㅡmaksudnya maaf." Jeffrey mengulum bibirnya dan menundukkan sedikit kepalanya. Athena tertawa kecil.
"Terima kasih, buat waktunya." Athena lalu melanjutkan kembali pembicaraannya ketika Jeffrey menatapnya terkejut karena nada suaranya yang terdengar lebih ramah dari biasanya. "Saya selalu makan sendiri kalau malam. Tapi hari ini saya ada temennya. Makasih loh, ya."
Sama-sama cintaku.
"Sama-sama, bu."
Lalu Athena masuk ke dalam mobilnya sendiri. Jeffrey menunggu wanita itu untuk keluar dari sana dan Jeffrey menundukkan sedikit kepalanya ketika klakson mobil wanita itu berbunyi tanda pamit kepadanya.
Jeffrey kemudian melihat sekeliling dan ketika dia sudah memastikan hanya dirinya sekarang yang ada di sana, dia mengepalkan tangannya ke udara dan meloncat kegirangan seperti orang bodoh menuju mobilnya sendiri.
Nggak tahu aja dia ada saya mantau dari jauh, batin penjaga keamanan yang melihatnya dari cctv.
*
Athena keluar dari mobil dan berhenti di pinggir jalan mendekati penjual gudeg. Eyangnya mengirimnya pesan dan memintanya untuk membelikan gudeg terlebih dahulu sebelum tiba di rumah.
Athena mengambil kursi plastik berkaki pendek dan duduk mengantre di sana setelah dia mengatakan pesanannya. Athena menunggu selama lima menit, hingga dia tidak sadar, Jeffrey juga telah mengambil duduk di sampingnya.
"Ibu Athena?" Athena mengangkat pandangannya dan sedikit melebarkan matanya ketika melihat Jeffreyㅡtanpa dasi, tanpa jas, dan dengan kancing atas yang dibuka. Athena meneguk air liurnya sendiri secara samar.
"Ibu beli gudeg juga?" tanya Jeffrey dengan senyuman merekah tak percayanya.
"Iya, titipan Eyang. Makanya saya nggak bisa nerima ajakan kamu tadi." Athena menjawab dengan mudah sementara suhu tubuhnya tiba-tiba menjadi sedikit panas ketika dia mendengar laki-laki itu terkekeh dengan dimple di pipinya. Kayaknya ini terlalu dekat, deh. Jadi Athena menggeser sedikit posisi kursinya menjauh dari Jeffrey dan memastikan laki-laki itu tidak sadar dengan pergerakan tak nyamannya. "Kamu juga beli, Jeff?" tanyanya sebagai pengalihan.
"Iya, bu. Wandi ada di kos saya sekarang. Dia nitip dibelikan gudeg sama sate." Jeffrey mengusap tengkuknya sendiri menahan rasa senang bukan main. Di antara ramainya orang-orang mengantre, dia kembali bertemu dengan Athena dalam posisi sedekat ini adalah sebuah kejutan untuknya.
"Ibu langganan gudegnya di sini?" tanya Jeffrey lagi karena wanita itu tidak merespon perkataannya yang sebelumnya.
Athena mengangguk, "Kamu gimana?"
"Saya kurang suka gudeg, bu. Jadi waktu saya lihat ada gudeg di depan, yaudah saya berhenti."
Athena mengangguk lagi. Jadi dia nggak suka gudeg. Lalu Athena mengerutkan dahi samar. Kenapa aku jadi ambil kesimpulan yang itu?
"Ibu sering sendiri ke sini, atauㅡ" Jeffrey menggantungkan kalimatnya dan membiarkan Athena menjawabnya.
"Saya sering ke sini sama Andrea," jawab Athena. Membuat Jeffrey menyesali pertanyaannya sendiri. "Saya bisa sampai ke tahap bertunangan sama dia juga karena di tempat ini." Athena sengaja membicarakan hal itu hanya untuk memastikan bagaimana reaksi sekretarisnya. Dan Athena tersenyum samar. Laki-laki itu mulai terlihat kesal.
Sekarang Jeffrey yang mengangguk sebagai respon, dan Athena tertawa. "Mukanya biasa aja, Jeff."
"Muka saya biasa aja kok, bu." Jeffrey berdehem sebentar. Dia tahu Athena menyadari bahwa dirinya sedikit kesal sekarang. Tapi Jeffrey mengalihkan pembicaraan mereka dengan cepat hingga Athena menatapnya dengan mata yang sedikit melebar.
"Kalau akhir pekan Ibu nggak sibuk, saya boleh ajak Ibu jalan-jalan?"
"Saya nggak yakin bisa atau nggak." Athena menjawab dengan nada suara naik turun karena masih terkejut. "Biasanya akhir pekan saya ada kegiatan membatik."
"Membatik?" Jeffrey tidak yakin dengan telinganya sekarang. Akhir pekan yang biasa orang pakai buat jalan-jalan atau molor seharian, dan dia membatik? Yang bener aja.
"Iya," Athena menjawab dengan nada semangat. Jeffrey menatap bagaimana wanita itu begitu antusias ketika berbicara tentang membatik. "Kamu bisa datang ke rumah saya akhir pekan. Nggak usah jalan-jalan, mending membatik. Di sana banyak orang-orang dari kalangan usia yang membatik, ada juga beberapa turis."
Jeffrey sebenarnya sudah merasa sedikit malas ketika membayangkan kegiatan itu hanya duduk seharian dan melukis di atas kain. Tapi ini demi Athena, Jeff! Lo bisa dapat informasi lebih banyak kalau di rumahnya seharian. Jadi Jeffrey mengangguk dengan senyuman ragu. "Nanti saya kabari Ibu kalau jadi."
*
"Jangan harap lo bisa jalan-jalan sama Hokage kayak orang-orang, Jeff." Wandi menatap Jeffrey yang sudah tiba di kos dan membuka sepatu juga kaos kakinya sendiri dengan helaan napas kesal. "Orangnya kaku gitu. Yang ada ujung-ujungnya lo cuma bisa main ke rumah dia aja."
"Gue jadi penasaran, Andrea dulu gimana ya mojok sama Athena."
"Di kamar kali." Wandi menjawab asal dan membuka plastik berisi gudeg dan sate kesukaannya. "Heh, ambilin piring, dong."
"Ambil sendiri gue mau mandi." Wandi mendecak ketika Jeffrey melewatinya. Wandi lalu mengambil dua piring yang ada di rak kecil bersama sendok. Kemudian, matanya tiba-tiba terpaku kepada ponsel Jeffrey.
Kerjain, jangan? Ketika Wandi mendengarkan bunyi air di kamar mandi, Wandi segera mengambil ponsel Jeffrey yang sudah dia hafal mati passwordnya itu dengan mudah. Mencari nama Athena di aplikasi chatting dan segera mengetik sesuatu di sana. Lalu dengan cepat meletakkan kembali ponselnya di atas meja persis seperti posisi sebelumnya.
Sepuluh menit kemudian Jeffrey keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang telah diganti. Jeffrey mengambil laptopnya dan mendekati Wandi. "Nggak makan lo?" tanya Wandi. Jeffrey menggeleng. "Udah makan gue tadi sama Ibu Athena."
Wandi berhenti mengunyah makanan di dalam mulutnya dan menatap Jeffrey tidak percaya. "Halu lo jangan berlebihan, Jeff."
"Nggak anjir, emang beneran gue udah makan sama dia tadi."
"Gimana ceritanya lo berdua bisa makan barengan?"
"Kasih tahu jangan?" Pada saat itu Wandi memukul punggung Jeffrey karena jawaban menyebalkannya. Yang dipukul hanya tertawa sambil meringis.
"Gue udah dikasih tanda lampu hijau dari dia, Wan." Jeffrey membuka laptopnya dan mulai tersenyum sendiri. "Tadi gue iseng ngajak dia makan, eh, nggak tahunya dia terima beneran."
"Jeff, lo lagi nggak cerita tetang kehaluan lo, kan?"
"Serah lo aja udah. Kesel gue lama-lama sama lo. Dikatain halu mulu." Wandi mencoba untuk tidak tertawa ketika Jeffrey bernada kesal pada saat dia mengunyah makanannya.
"Ya habis nggak masuk akal banget." Wandi membela diri. "Terus lo berdua pada bahas apa aja?"
Nggak ada bahas apa-apa. Yang ada gue yang digombalin sama dia.
"Makan doang sih, obrolan kami nggak ada yang menarik. Ya tahu lah ya, atasan kita gimana." Jeffrey sedikit menutupi kenyataannya karena dia akan malu ketika harus mengatakan yang sebenarnya bahwa jati diri sebagai prianya terancam karena Athena.
"Lo nggak ada niat mau pendekatan yang lebih gitu?" tanya Wandi lagi karena dia masih penasaran.
"Ada sih, tapi ya kayak lo bilang tadi. Susah mau ngajak dia jalan. Masa mojok di rumah?"
"Ya emang kenapa kalau mojok di rumah? Nggak bisa lo apa-apain dianya, gitu?"
"Ya nggak gitu, kampret. Maksudnya gue jadi nggak leluasa ngomong lebih intens gitu ke dia."
"Apanya yang intens, Jeff?" Wandi meniru pertanyaan legendaris Athena kepada Jeffrey. Dan laki-laki itu menendang bokong Wandi dari belakang. "Lo kalau nggak ada urusan ke sini mending pulang, deh. Gue mau ngetik laporan."
"Eits! Gue ke sini justru mau kasih lo informasi."
Jeffrey melirik sekilas. "Soal apa?"
"Hokage lah. Emang ada lagi yang buat lo tertarik selain dia?"
"Kenapa sama dia?"
Wandi menelan makanannya lalu berkata, "Lo nggak penasaran kenapa Hokage nggak pernah nunjukkin mukanya di muka publik?"
Jeffrey terdiam sebentar, bohong kalau dia tidak ingin tahu soal itu. Tapi Jeffrey masih mengerti batasan privasi seseorang, jadi dia mengangkat kedua bahunya. "Itu urusan dia, Wan. Jangan dibahas, mulut lo jangan kayak cewek deh tukang gibah."
Wandi hampir mengumpat tapi tidak jadi. Lalu dia mengeluarkan majalah wanita yang ada di dalam tas kantornya dan melemparkannya kepada Jeffrey. "Baca tuh."
Jeffrey membuka majalah itu dan menemukan dua halaman penuh berisi artikel Athena. Bagian awal membahas tentang pertunangan wanita itu dengan Andrea telah berakhir, kemudian dilanjutkan dengan latar belakang tentang keduanya dan berujung dengan nama Farhan Halim Faikh sebagai faktor utama kenapa Athena tidak pernah menunjukkan wajahnya di depan publik.
"Ya terus kenapa kalau Farhan jadi alasan utamanya?" Jeffrey masih tidak mau peduli dengan urusan orang lain dan menutup kembali majalah itu. "Wan, gue bingung sama lo. Ngapain lo nyimpan majalah cewek di dalam tas kantor? Udah cukup si Doni aja yang sedeng nyimpan mascara di dalam saku jasnya kemana-mana. Jangan lo lagi. Gue yang malu nanti."
"Heh, gue nggak sengaja lihat majalah itu. Tulisan depannya ada nama Hokage kita, gue pengen baca di situ tapi Masnya bilang nggak boleh dibuka plastiknya kecuali dibeli. Yaudah, mau nggak mau gue beli."
"Dan lo ngeluarin uang enam puluh ribu cuma baca dua halaman yang bahkan belum tentu benar?" Jeffrey bertanya lalu menggelengkan kepala. "Lo kumpul sama cewek aja gih, sana. Cocok udah. Gue anggap ini cuma rahasia kita berdua. Kalem, gue nggak bocoran kok orangnya."
"Ini loh tangan gue gatal banget pengen nonjok gigi lo, Jeff."
"Ini loh gue pegang raket listrik di tangan gue, Wan. Siap menyapa muka lo."
Lalu keduanya diam sebentar dan saling berpandangan.
"Serius mau gulat sama gue lo?" tantang Wandi.
"Boleh. Kebetulan gue jarang olahraga sekarang."
Dan pada saat itu ponsel Jeffrey berbunyi menampilkan nama Athena di sana. Jeffrey beranjak dari duduknya dan Wandi memilih untuk membungkus kembali makanannya dan bergegas keluar dari kos laki-laki itu. Karena Wandi tahu, Athena pasti terkejut dengan pesan yang baru saja dia kirim beberapa menit yang lalu.
"Iya, bu?" Jeffrey mengangkat telpon itu dan menatap bingung kepada Wandi yang lari terbirit-birit menuju ke lantai bawah.
"Maksud pesan kamu apa, Jeff?"
"Pesan yangㅡsebentar bu." Jeffrey melihat aplikasi chattingnya dan matanya melebar sempurna ketika menemukan foto dirinya dengan bunga mawar di atas mulutnya pada saat ulang tahun keponakanannya itu terkirim kepada kontak Athena. Itu diperparah dengan kata-kata menjijikan yang membuat Jeffrey semakin malu.
Pilih saya, atau mawarnya, bu?
Jeffrey segera keluar dari kamarnya karena dia tahu sekarang siapa dalangnya, lalu Jeffrey mengangkat jari tengahnya kepada Wandi yang sudah membawa motornya keluar dengan tawa mengolok. Si bangsat sialan! Jeffrey tidak bisa mengumpat denga keras karena ini di lingkungan kos. Jadi Jeffrey hanya menatap laki-laki sipit itu dengan pelototan amarah.
"Jeff, kamu masih di sana?"
"Ehㅡiya, bu." Jeffrey masuk kembali ke dalam kamarnya dan mengusak rambut belakangnya bingung. "Itu salah kirim, bu. Saya niatnya mau kasih Mama saya, tapi malah kekirim ke Ibu."
"Salah kirim, kok tulisannya kayak gitu?" Athena mendengarkan suara Jeffrey gugup dari earphonenya dan memerhatikan foto konyol sekretarisnya itu dengan tawa tertahan. "Jeff, saya memang kasih kamu kesempatan tapi tolong jangan kirim pesan ke saya malam-malam lagi."
"Maaf, bu."
"Jangan salah paham. Maksud saya di sini baik. Kita ketemu tiap hari, kita bisa bicara hampir setiap jam. Setidaknya kalau malam hari gunakan waktu untuk istirahat. Kamu ngerti maksud saya kan, Jeff?"
"Ngerti, bu. Sekali lagi saya minta maaf."
"Yasudah, saya tutup dulu."
Athena menyandarkan punggungnya di sofa dan menghela napas panjang ketika sudah mengakhiri telponnya. Lalu membuka kembali foto Jeffrey dan tertawa lagi. Ini kenapa dia jadi lucu begini. Athena tidak pernah membayangkan wajah sekretarisnya akan menjadi sangat konyol, tapi itu hiburan untuknya sendiri. Lalu Athena secara reflek menyimpan itu di dalam galeri ponselnya.
Sementara Jeffrey menutup wajahnya dengan kedua tangan membayangkan betapa malunya dia besok akan bertemu dengan atasannya kembali.
Si Wandi sialan!
*
"pilih saya atau mawarnya, bu?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top