ᴛɪɢᴀᴘᴜʟᴜʜ ᴇᴍᴘᴀᴛ
• sᴇᴄʀᴇᴛᴀʟᴏᴠᴇ •
"Maura kamu mau berangkat bareng Kak Nara, nggak?" Kak Nara berteriak.
Aku memakai sepatu, mengenakan blazer, keluar kamar setelah sebelumnya aku menyemprotkan parfum pada pakaian dan menghampiri Kak Nara yang sudah rapi dengan setelan seragam serba hitam seperti biasanya.
"Berangkat duluan aja, Kak. Aku berangkat bareng Sherly. Kuliah paginya kosong hari ini." Aku mengambil selai cokelat dan mengoleskannya pada lembar roti.
"Serius? Bilang dong dari tadi! Kakak duluan, ya." Kak Nara buru-buru mengambil kunci mobil, mencium istrinya dan berpamitan sebelum berlari keluar rumah.
Aku tertawa melihat tingkah konyol Kak Nara. Padahal seminggu kemarin, aku sempat diceramahi karena bermasalah dengan Andres yang menyebabkan hubungan mereka memburuk. Sejujurnya, aku merasa bersalah pada Kak Nara, karena aku hubungannya dengan Andres renggang dan sampai sekarang ia tidak kunjung berbaikan dengan laki-laki yang menjadi temannya dari bangku kuliah itu.
Sekarang, Kak Nara lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dibandingkan bermain bersama teman-temannya. Seharusnya itu menjadi hal yang baik bagi Kak Maudy, tetapi ia justru tidak suka melihat Kak Nara terpaksa melakukan hal-hal yang tidak ia suka seperti; memberi makan ikan atau membaca buku.
"Maura kamu kenapa?" Seruan pelan Kak Maudy membuatku terlonjak.
Kak Maudy mengulas senyum dan memberikan dua potong roti isi saus cabai dengan isi telur dadar dan ayam panggang lengkap dengan selada.
"Titip buat Sherly, ya," kata Kak Maudy ketika menyerahkan kotak bekal itu padaku.
Aku mengangguk dan berdiri ketika klakson motor Sherly berbunyi di depan rumah, mencium tangan Kak Maudy dan menyampirkan tas sebelum bergerak keluar.
"Dari Kak Maudy." Aku menyodorkan kotak bekal berbahan plastik food grade pada Sherly.
"Asiiik ... rejeki anak cantik." Ia memberikan cengiran, menyimpan kotak bekal dan menstater motor ketika aku sudah naik.
"Ra, tadi di jalan gue ketemu sama anak FOGAMA trus diajakin barengan. Kita duluan aja kali, ya, ke kampusnya." Sherly berbicara ketika motornya keluar dari komplek perumahan.
"Ha?" Suara Sherly tidak begitu jelas.
"Anak FOGAMA ngajakin barengan ke kampus, mereka di coffeshop-nya Kak Ubay." Sherly mengulang ucapannya.
Mendengar nama itu kembali disebut, seharusnya aku dapat bersikap biasa. Meski sakit, aku harus menguatkan hati dan memperlihatkan bahwa aku baik-baik saja di depannya.
"Ayo, Sher. Barengan aja sama anak FOGAMA."
"Seriusan?" Sherly sempat menghentikan motornya dan menatap ke belakang. "Lo masih ngarepin dia?"
"Nggak. Tapi aku mau buktiin kalo aku baik-baik aja tanpa dia."
"Serius?"
"Iya! Udah ayo jalan."
Tidak butuh waktu lama motor Sherly untuk sampai ke coffeshop yang buka dua puluh empat itu. Beberapa motor yang aku kenali milik anggota FOGAMA berjejer rapi, bersebelahan dengan motor Andra dan kurir antar SUARA tanpa kehadiran sosok motor besar miliknya.
"Ihh ... Maura lo kenapa?" tanya Rafli dengan nada serius ketika aku melewati pintu kaca.
Jantungku berdegup kencang. Memangnya aku kenapa? Meski banyak masalah belakangan ini, tapi aku yakin itu tidak berpengaruh banyak terhadap penampilanku. Aku bercermin pada etalase yang memantulkan bayangan. Wajahku juga baik-baik saja.
"Kenapa, sih, Raf?" tanyaku. Aku menatap Sherly dan bertanya, gadis itu meneliti dan menggeleng pelan karena juga tidak menemukan jawaban maksud Rafli. Begitu juga dengan anggota lain yang tidak mengerti ucapan Rafli.
"Aneh banget. Masa bidadari nggak ada sayapnya."
Celetukan Rafli jelas saja hanya kubalas dengan putaran bola mata, sementara yang lain menyoraki gombalan kelewat garing itu.
Ketika kami tertawa, Kak Aje keluar dari ruang karyawan dan menyapaku. "Ehh, Maura. Udah lama nggak keliatan."
"Lagi banyak tugas Kak Aje." Aku beralasan.
"Kopi, Ra?" tawarnya padaku.
"Boleh deh, caff ...."
"Palm sugar latte, less ice, no sugar, sirup gula arennya dikit aja?"
Aku mengangguk pada Kak Aje. Dengan cepat ia menyalakan mesin giling biji kopi pesananku.
"Rotinya nggak, Ra?" tanyanya ketika menekan tamper pada portafilter.
"Nggak. Usah sarapan, Kak." Aku masih memperhatikan kerja Kak Aje. Jujur saja, aku ingin sekali bisa meracik kopi seperti yang Kak Aje dan barista lain lakukan. "Kapan-kapan ajarin Maura buat kopi, Kak Aje."
"Dateng aja ke toko, Ra. Kalau malem sepi, kamu bisa minta ajarin Bang Ubay nanti. Kita semua diajarin dia, 'kok."
Senyum yang sejak tadi kutampilkan luntur. Nama itu masih terasa seperti virus untukku, di mana aku akan merasakan sakit yang tidak dapat kujelaskan ketika mendengarnya. Namun, aku harus tetap berusaha baik-baik saja.
"Kayaknya Kak Ubay sibuk. Aku udah lama nggak lihat dia." Aku berusaha berbasa-basi.
"Nggak sibuk-sibuk amat, 'kok. Kayak biasa aja. Kerja, kontrol kafe, kadang tidur di sini kalo kemaleman, kadang pulang." Kak Aje masih sibuk menuangkan sirup gula aren ke dalam kap plastik.
Aku tersenyum kecut. Memang apa yang aku harapkan? Aku berharap jika laki-laki itu akan kehilangan kehadiranku atau setidaknya bersedih untuk sedikit saja, begitu? Aku rasa aku terlalu banyak berharap.
Bahkan dari cerita Kak Aje, ia terdengar seperti tidak punya masalah atau kehilangan sama sekali di saat Kak Maudy khawatir dengan Kak Nara yang merasa kehilangan sosoknya.
"Kalo sekarang dia lagi cuti. Lagi ada project video gitu, Ra. Makanya nggak pernah ke kafe. Paling minggu depan udah balik ke sini, 'kok." Kak Aje memberikan kap berisi kopi pesananku. "Kenapa? Kangen, ya?"
"Apaan, sih, Kak Aje." Aku menerima kopi pemberiannya dan memberikan uang pecahan lima puluh ribu. "Nanti istrinya dengar aku bisa kena cap pelakor lagi."
"Istri? Kamu ngeledek apa gimana?" Kak Aje menderai tawa. "Udah ambil aja. Gratis buat kamu."
"Nggak ah! Masa gratis mulu." Aku memerotes. "Besok-besok aku nggak dateng lagi kalo dikasih gratis mulu."
"Iyaaa ... oke, aku terima, ya?" Kak Aje menerima uang pemberianku dan memasukkannya pada cashregister.
"Ya udah, aku berangkat kuliah Kak Aje." Aku melambaikan tangan dan menyusul Sherly juga anak FOGAMA yang sudah lebih dulu berada di parkiran.
"Siap!" Kak Aje mengacungkan jempolnya ketika tengah melayani pembeli lain.
Di parkiran Sherly dibonceng oleh Rafli yang tidak membawa motor, meninggalkan aku, bersama Andra juga Joni. Andra tidak banyak bicara.
Aku masih ingat betul ketika Andra menyalahkanku atas apa yang sudah terjadi. Oleh karena itu, aku memilih menumpang pada Joni dibandingkan dengan Andra.
"Lo ada masalah sama Andra, Ra?" bisik Joni sembari memasang helm.
Motor Andra dan Sherly sudah lebih dulu keluar dari parkiran ketika Joni menyalakan mesin.
"Nggak ada, 'kok, Jon," jawabku pelan.
Joni tidak banyak bicara lagi. Saat hendak keluar dari parkiran, Joni kaget karena secara tiba-tiba ada anak kecil berlari ke depan motornya. Ia mengerem mendadak, untung saja tidak sampai menabrak anak kecil yang sekarang sudah menangis itu.
Kami buru-buru turun dan memeriksa apa ada bagian motor Joni yang menyenggol.
"Adek nggak apa-apa?"
Ia menangis semakin keras, sebelum perempuan dengan balutan kemeja dinas menghampiri, kepalanya dibalut kerudung cokelat muda dengan suara yang keluar begitu lembut. Cantik sekali.
"Kamu nggak apa-apa? Makanya Lil jangan jalan cepat-cepat."
Anak itu menggeleng meski dengan bibir yang mengerucut. Ia mengusap air matanya yang membasahi pipi gembul berwarna merah saat sang ibu memeriksa penyanggah kakinya.
"Maaf, ya, Mbak, Mas." Perempuan itu menunduk beberapa kali, meminta maaf akan kecerobohannya menjaga anak.
"Iya nggak apa. Kita justru yang minta maaf karena udah bikin dia takut sampe nangis gitu." Aku memegang pipi gembul anak laki-laki itu. "Namanya siapa?"
"Khalil, Tante." Ia menatapku dengan mata bulat dan memberikan permen yang ia genggam.
"Nggak usah. Buat Khalil aja."
"Mbak, maaf. Itu anaknya kenapa pake penyanggah kaki?" Tiba-tiba saja Joni berceletuk.
Aku bisa lihat sang ibu menahan kesedihan ketika menatap kaki putranya. Ia tersenyum, tetapi wajahnya seketika berubah mendengar pertanyaan Joni.
"Aku minta maaf, ya. Soal pertanyaan temen saya ini. Dia emang suka nggak sopan." Aku berinisiatif meminta maaf kemudian memukul pelan pundak Joni agar ia meminta maaf juga.
"Nggak apa, 'kok. Ini waktu itu kecelakaan. Ketimpa balok kayu waktu kebakaran, pas Lil masih kecil. Tapi sekarang sudah lebih baik." Ia menunduk.
Aku terhenyak mendengar apa yang pernah anak ini alami. Karena kepergian orang tua ditambah masalah dengan Andres, aku selalu menganggap masalahku ini sangat besar, akulah yang paling menderita, tanpa mau tahu banyak orang yang mengalami peristiwa lebih pahit dari yang aku alami.
Ketika perempuan itu pamit undur diri, aku menatapnya seraya berdoa agar dia selalu diberi ketabahan dalam merawat puteranya. Namun, aku mengerutkan kening ketika perempuan itu menuju coffeshop Andres. Dari dalam, Kak Aje keluar dan menggendong anak laki-laki itu.
"Ra, ayo."
Ternyata Joni sudah siap dengan motornya kembali. Saat hendak naik ke motor aku teringat akan satu nama yang pernah Kak Imel ucapkan.
"Bokapnya Lil bukan cuma Ubay."
"Ada Ervin sama Afriandar juga yang urus Lil nanti."
Lil? Apa jangan-jangan Lil yang dimaksud Kak Imel adalah Khalil? Anak Andres tidak dapat berjalan? Apa Andres setega itu akan meninggalkan anak sekecil Khalil jika aku mau menerimanya dulu?
Dia tidak sejahat itu, 'kan?
ɢʟᴏsᴀʀɪᴜᴍ :
Tamper dan portafilter : alat yang digunakan untuk meletakan dan menekan bubuk kopi setelah proses penggilingan untuk selanjutnya dibawa ke mesin espresso.
ᴘᴏʀᴛᴀғɪʟᴛᴇʀ ʏᴀɴɢ ᴀᴅᴀ ᴅɪ ʙᴀɢɪᴀɴ ʙᴀᴡᴀʜ sᴇᴍᴇɴᴛᴀʀᴀ ᴛᴀᴍᴘᴇʀ ʏᴀɴɢ ʙᴀɢɪᴀɴ ᴀᴛᴀs ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇɴᴇᴋᴀɴ ʙᴜʙᴜᴋ ᴋᴏᴘɪ.
ᴅɪ sɪɴɪ ᴀᴅᴀ ʏᴀɴɢ ᴍᴀᴜ ᴊᴀᴅɪ ʙᴀʀɪsᴛᴀ ᴛʀᴜs ᴋᴇʀᴊᴀ ᴅɪ ᴄᴏғғᴇsʜᴏᴘ ᴀɴᴅʀᴇs ʜᴇʜᴇʜᴇʜᴇ
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top