ᴛɪɢᴀᴘᴜʟᴜʜ ᴇɴᴀᴍ
• sᴇᴄʀᴇᴛᴀʟᴏᴠᴇ •
Setelah mendengar sedikit cerita Kak Aje, jangankan menjawab pertanyaan yang dilayangkan Arin tentang 'apa aku baik-baik saja?' Bahkan bernapas pun rasanya sulit sekali.
Siang menyapa kota Jakarta. Seperti sebelum-sebelumnya, coffeshop akan ramai dengan mahasiswa dan pekerja kantoran yang gedungnya mengepung bangunan ruko ini.
Ucapan Kak Dhyas tempi hari benar adanya. Ketika ia mengatakan, bahwa aku selama ini hanya fokus pada diriku sendiri, tanpa mau tahu apa yang ada di sekeliling. Selama ini, aku hanya meratapi nasib karen prasangka buruk tentang Andres. Tanpa laki-laki itu tahu, kesalahan apa yang ia lakukan hingga aku merasa tersakiti.
Arin mengecek jam tangan ketika aku menyeka air mata yang sempat membuatnya panik. Sudah waktunya Lil untuk makan siang, dan anak itu harus pulang. Aku meminta izin pada Kak Aje untuk ikut Arin, ada banyak hal yang mau aku sampaikan juga tanyakan pada laki-laki bodoh yang suka sekali menyimpan rahasia itu.
Siang itu aku benar-benar merasa buruk pada diri sendiri. Rasa bersalah, marah, sedih, amarah, sedih lagi, dan lebih banyak rasa bersalah berkumpul semua di dalam dadaku.
Setelah menaiki angkot selama sepuluh menit, kami berjalan ke sebuah gang kecil, ada anak-anak yang bermain di bawah pohon mangga besar. Arin menunjuk salah satu rumah dengan pagar putih dan dinding cokelat, di depannya ada sebuah ayunan besar untuk anak-anak bermain.
"Ini rumah aku, depannya aku fungsikan sebagai tempat ngaji anak-anak," ucapnya saat kami berhenti di depan rumah itu. Aku tersenyum, membayangkan betapa ramainya rumah Arin ketika sore nanti.
Arin sedikit maju, menunjuk sebuah rumah yang sedikit menjorok ke belakang. Bangunan model industrial dengan warna abu-abu dan hitam yang mendominasi, ada sebuah Fortuner hitam dan motor besar terparkir rapi. Jantungku tiba-tiba saja berdetak lebih kencang karena mengetahui pemilik rumah itu tanpa Arin menyebutkannya.
"Itu rumah Bang Ubay."
Saat Arin hendak melangkah menuju bangunan rumah itu, aku mencekalnya, meski sedikit ragu dengan apa yang terlintas dalam pikiranku. Namun, aku tetap harus melakukan ini.
"Tunggu, Arin."
Arin berhenti, menatapku dengan kerutan di dahinya. "Kenapa, Maura?"
"Ada hal yang mau aku bicarain sama Kak Ubay. Aku bisa minta tolong kamu untuk jaga Lil sebentar lagi aja?" Aku memilin jari.
Jujur saja, aku takut jika Arin berprasangka buruk tentangku saat ini. Bagaimanapun, Andres tinggal sendiri, dan tidak sepantasnya aku bertemu dengannya tanpa ada orang lain lagi.
"Ya sudah. Lil biar makan di rumah aku aja." Arin mengulas senyum manisnya. Menoleh pada Lil yang sibuk dengan permen di tangan kanannya. "Lil, kita lupa beli chicken nugget, kita beli chicken nugget dulu, ya?"
Mendengar kata chicken nugget, mata Lil berbinar cerah. Senyumnya terkembang dan antusias menjawab. "Lil mau yang bentuk dino, Tante!"
Setelah mereka pergi, aku langsung mendekat pada pagar hitam setinggi dada orang dewasa, membukanya pelan kemudian menaiki undakan tangga agar sampai pada pintu utama.
Telapak tanganku basah karena gugup. Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan sebelum mengetuk pintu berbahan kayu mahoni itu.
Sekali tidak ada jawaban. Aku mencoba mengetuknya lebih keras sampai terdengar suara seseorang yang begitu aku kenali dari dalam. Aku gemetar memegang tali tas yang menyilang di bahu sebelum pintu itu terbuka.
Awalnya, ia tersenyum ramah karena menganggap putranya yang mengetuk pintu. Namun, senyum itu seketika luntur saat kami berhadapan.
"Maura?"
Aku menatapnya, meneliti setiap inchi wajah yang selama dua tahun ini mengusik mimpiku. Memar hasil pukulan Kak Nara masih membekas di sana, aku semakin merasa bersalah.
"Maura kamu kenapa?" Andres bertanya panik ketika tiba-tiba aku berjongkok dan menangis.
Tidak, aku tidak bisa melakukannya. Rasa bersalahku terlalu besar untuk sekadar bertanya dan meminta maafnya.
Ketika tangisku semakin keras, Andres tiba-tiba menyejajarkan tubuhnya, memeluk dan mengusap punggungku, berusaha menenangkan. Ini aneh, kenapa aku merasa mengenali pelukannya? Rasanya seperti aku menemukan sebuah tempat untuk pulang ke rumah.
Andres menarikku, mengajakku duduk di sebuah sofa berwarna hitam. "Kakak ambilin kamu minum, ya?"
Aku mencekal tangannya ketika ia hendak beranjak. Andres menatapku, kemudian kembali duduk di sampingku dengan banyak tanda tanya di kepalanya.
"Aku minta maaf karena udah salah sangka sama Kakak." Aku menunduk, kembali menangis saat melihat wajah penuh bercak biru itu. "Aku tahu aku nggak berhak dapat maaf Kakak, tapi aku benar-benar minta maaf, Kak."
Andres mengelus kepalaku, menghapus jejak air mata yang sejak tadi membasahi wajahku. "Kamu nggak perlu minta maaf. Kakak yang salah di sini. Jangan nangis, ya?"
Andres tersenyum. Kali ini, senyumnya tidak menunjukkan sebuah rasa hangat. Senyum itu terasa begitu pahit, seolah ada hal yang ia coba sembunyikan dari dunia.
"Kak."
"I-iya?" Andres tiba-tiba berkeringat, aku mencoba menggenggam tangannya yang hangat. Mungkin Andres demam?
"Aku cinta sama Kakak."
Setelah aku mengucapkan itu, Andres dengan cepat menarik tangannya. Ia berdiri, menjauhiku dan menghindar ketika aku mencoba menatap wajahnya.
"Kak!"
"Ini salah, Maura!"
"Apa yang salah, Kak? Apa salah kalau aku cinta sama Kakak? Kalau salah, tolong bantu aku perbaikinya, Kak." Aku kembali menangis.
Aku tahu aku egois. Akan tetapi, seseorang berhak meraih cintanya, bukan?
"Kamu nggak salah, Maura. Kakak yang salah di sini." Ia melangkah menjauh.
"Ya jelasin sama Maura apa yang salah, Kak? Kita perbaiki sama-sama. Aku, Kakak. Kita bisa kalau Kakak mau usaha."
Aku terduduk lemas. Bahkan, sampai pada akhirnya tetap hanya aku yang mengharapkan akan ada sesuatu yang indah pada kami berdua. Aku tidak cukup kuat untuk menjadi alasan Andres melawan ketakutannya. Ternyata, sesakit ini ketika tidak mendapat balasan akan perasaan.
Mendengarku menangis, Andres berbalik. Tangannya bergetar saat menyentuh pundakku. "Kakak minta maaf, Ra," ucapnya dengan suara serak yang begitu kentara.
Aku berdiri, mencoba mengais rasa percaya diriku ketika menatap Andres, menyeka air mata kemudian melebarkan senyum padanya.
"Nggak apa, Kak. Dari awal, aku yang salah."
"Nggak, Maura. Kamu nggak salah." Andres mencoba memberi pengertian.
Aku kembali menundukkan kepala. Kenapa sulit sekali menahan tangis ini ketika menatap wajahnya? Akan tetapi, ia sudah menolakku, 'kan? Tidak mungkin aku memaksakan kehendakku pada Andres.
"Ya udah, aku pamit, ya, Kak. Maaf kalau aku ganggu Kakak." Aku memaksakan senyum.
Merapikan rambut sebelum melangkah ke arah bibir pintu, tetapi tiba-tiba saja Andres mencegah, laki-laki itu kembali memerangkapku ke dalam pelukannya.
"Apa yang harus Kakak lakuin, Ra?"
Pertanyaan itu sukses membuatku mengeraskan kembali tangisan. Kenapa? Kenapa aku harus jatuh mencintai laki-laki dengan penuh keraguan sepertinya?
Aku melepaskan pelukan, menghapus jejak air mata di wajahnya. Inikah wajah asli seorang Andres Baihaqi? Wajah sendu yang diliputi oleh takut itu ternyata selama ini sempurna dibalut wajah ceria dan jenaka.
"Buang rasa takut yang ada di sini." Aku menunjuk dadanya. "Percaya, perasaan apa pun nggak baik kalau dipendam sendiri. Bagikan ke orang lain, siapapun itu."
"Itu bisa bekerja?" tanyanya ragu-ragu.
"Kita harus coba, baru tahu hasilnya."
Andres mengangguk, menggenggam tanganku dan membawanya pada bibir. Rasa hangat menjalar ke seluruh tubuh ketika ia mencium tanganku. Pipiku bersemu merah mendapat perlakuannya. Namun, agaknya itu belum cukup membuatku terkejut. Ketika tiba-tiba bibirnya menyapa pipiku. Begitu lembut.
"Kakak suka pipi kamu yang merah," ucapnya ketika menatap mataku dari jarak paling dekat.
Setelahnya tidak ada lagi percakapan di antara kami. Aku menoleh ke arahnya ketika laki-laki di depanku ini mengikis jarak hingga bibir kami bertemu. Aku memejamkan mata, mencoba membalas apa yang ia lakukan.
Untuk yang satu ini, bukan satu hal yang tidak disengaja seperti kali pertama, bukan pula penuh keraguan seperti sebelumnya. Kali ini aku tahu, bahwa kami memang menginginkan ini terjadi.
Meski, setelahnya gangguan panik tiba-tiba menyerang laki-laki di depanku ini. Seperti sebelumnya, Andres tidak akan baik-baik saja ketika itu terjadi. Terlebih, suara deham Kak Nara terdengar dari pintu yang sudah terbuka.
Aku tahu kami berdua akan berada dalam masalah sekarang.
ʜᴀᴀᴀᴀᴀᴀᴀ ....
ᴀᴋʜɪʀɴʏᴀ sᴇʟᴇsᴀɪ ᴊᴜɢᴀ!!
ᴘᴀs ᴅɪ ᴛᴀɴɢɢᴀʟ 31 ᴀɢᴜsᴛᴜs ᴍᴀsᴀʟᴀʜ ᴅɪ ᴀɴᴛᴀʀᴀ ᴍᴇʀᴇᴋᴀ ᴋᴇʟᴀʀ, ʏᴀɴɢ ᴀᴋʜɪʀɴʏᴀ sᴇʟᴇsᴀɪ ᴊᴜɢᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ ᴀɴᴅʀᴇs ᴅᴀɴ ᴍᴀᴜʀᴀ :)
ᴋᴏᴋ ᴀᴋᴜ sᴇᴅɪᴋɪᴛ ɴɢɢᴀᴋ ʀᴇʟᴀ ʏᴀ?
ᴀᴘᴀ ʜᴀʀᴜs ᴀᴅᴀ ᴀғᴛᴇʀ ᴋᴇᴊᴀᴅɪᴀɴ ɪɴɪ? sɪᴅᴀɴɢ ᴅᴀʀɪ ɴᴀʀᴀ ᴍɪsᴀʟɴʏᴀ? ᴡᴋᴡᴋᴡᴋ
ᴋᴀsɪᴀɴ ᴀᴍᴀᴛ ᴀɴᴅʀᴇs :(
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top