ᴛɪɢᴀᴘᴜʟᴜʜ ᴅᴇʟᴀᴘᴀɴ

• sᴇᴄʀᴇᴛᴀʟᴏᴠᴇ •

"Kamu udah makan? Aku tadi bawa makanan, kita makan dulu, yuk. Biarin Ubay tidur dulu." Kak Imel yang masih menunggu di anak tangga paling bawah menyuarakan saran ketika aku berada selisih dua anak tangga padanya.

Kak Nara masih belum membuka suara, tempat duduknya juga belum bergeser sama sekali dari sejak aku mengambil air untuk mengompres Andres tadi. Aku duduk, bergerak mendekati Kak Nara yang membuang muka terhadapku.

"Kak."

Tidak ada jawaban dari Kak Nara.

"Mending kita makan dulu deh. Gue sama Imel tadi beli makan banyak, 'kok. Kalau kurang nanti tinggal order via online."

Kak Ervin mengusulkan. Laki-laki itu bergerak menepuk pundak Kak Nara dan mengajaknya mengambil peralatan makan. Tidak ada percakapan sama sekali yang Kak Nara mulai sampai kami selesai menghabiskan makanan yang Kak Imel bawa.

"Udah kenyang? Mendingan sekarang lo ngomong sama Ubay. Masalah nggak akan selesai kalau kalian saling diem gini." Tiba-tiba saja Kak Aksa mengeluarkan suara. Fokusnya masih pada gelas air hangat yang ia minum.

"Nggak usah sok tahu jadi orang." Kak Nara menyeloroh.

"Gue emang nggak tahu apa-apa. Tapi seharusnya lo yang udah lebih lama kenal temen lo sendiri bisa lebih mikir, Nar."

Kak Nara memejamkan matanya. Jujur saja, saat ini aku berada di posisi sulit. Apa benar Kak Nara tidak akan menerima hubunganku dengan Andres? Tapi kenapa? Bukankah sudah jelas jika Andres masih sendiri dan Kak Nara tahu itu.

"Semua orang bilang begitu. Tapi semakin ke sini gue makin ngerti, kalau gue nggak bener-bener kenal sama dia. Dia terlalu tertutup buat gue, Sa. Lima belas tahun dan gue jadi orang yang paling nggak tahu apa-apa tentang dia. Gimana caranya gue bisa percaya sama dia kalau dia aja nggak percaya sama gue?"

Kak Aksa menggaruk alis sebelah kirinya. "Lo bener. Lo bener kalau lo mikir begitu. Tapi gue tanya, pernyataan lo tadi, kenapa nggak dibalik? Kenapa harus dia dulu yang harus percaya lo baru lo bisa percaya dia? Kenapa nggak lo lebih dulu, sekarang, yang, percaya sama dia?"

Kak Nara hanya diam ketika Kak Aksa melemparkan pertanyaan.

"Semua orang selalu merasa benar saat di posisi mereka, Nar. Begitu juga Ubay. Gue nggak akan salahin siapa-siapa di sini. Tapi masalahnya udah kejadian, kita nggak bisa balik ke masa lalu untuk ubah semuanya. Jadi yang udah yaa ... udah. Sekarang pertanyaannya, lo mau nggak ubah itu untuk sekarang dan nanti?"

Kak Nara tidak mendebat lagi. Sepertinya, Kak Nara memikirkan ulang pertanyaan yang dilemparkan Kak Aksa.

"Tumben kamu bijak?" Aku lihat Kak Imel menyenggol bahu Kak Aksa.

"Aku dari dulu juga bijak, 'kok," jawab Kak Aksa terdengar memerotes ucapan Kak Imel. "Tapi, Mel. Sebenernya mereka ini ribut kenapa?"

"Kamu nggak perlu tahu."

Melihat interaksi Kak Imel dan Kak Aksa jujur saja aku mengulas senyum. Yang aku tahu, perbedaan usia mereka juga cukup jauh. Akan tetapi mereka bisa berhubungan dengan baik. Apa nantinya aku akan baik juga dengan Andres?

Aku menoleh saat Kak Nara berdiri dan menatapku. Jujur saja, aku yang masih takut dengan emosi Kak Nara dan mulai menerka-nerka apa yang akan ia lakukan padaku. Namun, Kak Nara justru mengajakku naik ke lantai dua dan bertemu dengan Andres.

Kak Ervin sempat memperingatkan jika ia tidak ingin ada keributan, tetapi Kak Nara abai dan melangkah tanpa menjawab peringatan itu.

*****

Ketika kami masuk, yang kami lihat pertama kali adalah ranjang dengan sprei hitam yang kosong. Kak Nara melangkah pada gorden besar dan mendapati Andres tengah duduk di depan air terjun dinding dengan kolam ikan di bawahnya. Ternyata mereka sama-sama penyuka ikan.

Kak Nara bergerak duduk di samping Andres.

"Gue minta maaf."

Suara itu terdengar keluar dari Kak Nara dan Andres secara bersamaan.

"Lo masih inget alasan gue dateng ke Jakarta? Karena lo nelpon gue dan bilang butuh partner kerja, Men. Gue tinggalin usaha gue dan kerja bareng lo di sini. Lo mikir nggak? Sakit hati gue ketika tahu lo nyembunyiin itu semua dari gue?"

Suara Kak Nara terdengar sumbang. Aku menatapnya yang kini sudah terkekeh ringan.

"Gue sekarang jadi bingung. Sebetulnya apa sih gue ini di mata lo? Temen? Atau cuma sekadar rekan kerja? Gue ngerasa tolol waktu Ervin cerita semuanya. Gue cerita semuanya sama lo tentang hidup gue dengan harapan lo bisa ngelakuin itu juga sama gue, tapi apa? Lo malah pilih orang lain untuk berbagi."

"Gue nggak pernah mikir begitu, Nar. Ervin tahu semuanya nggak sengaja. Gue takut, gue takut lo bakal bilang gue aneh kalo lo tahu gue yang sebenarnya." Andres akhirnya bersuara.

"Kalo gue bilang gue udah biasa dengan keanehan lo, lo masih takut juga?" Nada suara Kak Nara meninggi.

Andres menggeleng. Saat ini, aku tidak tahu harus merespons bagaimana. Kak Nara punya alasan kuat mengapa ia marah.

"Gue takut semua orang pergi dari gue, Nar. Kayak Bapak, Ibu, Nenek, Kakek. Saat mereka nggak ada. Gue cuma punya lo. Gue takut kalo lo pergi juga kayak mereka."

Andres menutup mulutnya. Sepertinya, rasa mual yang ia rasakan tadi akan kembali jika emosinya tidak stabil. Andres memuntahkan kembali isi perutnya di wastafel samping kolam. Wajahnya memucat dengan buliran keringat yang merembes dari pori-pori pelipis.

Aku bergerak mengambil air di atas nakas kamar Andres sementara Kak Nara membantunya membersihkan wajah. Guratan khawatir tercetak jelas di wajah Kak Nara saat melihat kondisi Andres.

"Ini yang lo bilang aneh?" tanya Kak Nara.

"Kadang kalau ketakutan bisa lebih parah."

"Apa yang bikin lo takut?"

"Nggak tahu."

Andres menggeleng. "Kehilangan orang-orang yang gue sayang dan percaya mungkin?"

"Siapa orang yang lo sayang dan percaya."

"Untuk saat ini. Lo sama Maura."

Kak Nara tidak lagi mendebat. Sementara aku susah payah menyembunyikan senyum ketika Andres menyebut namaku atas jawaban yang ia berikan di pertanyaan Kak Nara yang terakhir.

Kami kembali masuk ke dalam kamar Andres menempati ranjang yang sempat Andres tinggalkan.

"Gue paham sekarang. Gue minta maaf kalau selama ini gue nggak pernah ada buat lo. Tapi gue pastiin, gue akan ada kalau lo butuh gue. Dan soal Maura, gue rasa dia udah gede, dia berhak mutusin siapa yang akan dia pilih."

"Kakak serius?" Segera aku menyambar Kak Nara ketika ia selesai dengan perkataannya. Aku lihat ia menyorot tajam seperti mengancam 'awas kamu kalau macam-macam.'

Aku menampilkan cengiran pada Kak Nara kemudian bergerak mendekati Andres dan memeluknya. Akan tetapi, buru-buru Kak Nara melepaskan pelukanku pada Andres yang kini tertawa.

"Awas kamu macem-macem!" ancamnya padaku.

"Cuma satu macam, 'kok."

"Nggak. Keluar. Kamu baru boleh dekat-dekat Ubay kalau udah lulus kuliah. Titik!"

"Dih! Masih lama itu!"

Kak Nara melotot mendengar protesku. Aku lihat Andres mengulas senyum tipis kemudian menatap lantai yang ia pijak. Kenapa lagi sekarang?

"Kenapa lagi?" Kak Nara menyuarakan rasa penasarannya.

"Gue nggak yakin sama diri gue sendiri, Nar. Apa gue bisa ngejalanin semuanya kayak lo sama Maudy? Lo tahu kan, gue ...."

"Bisa. Gue bakal pastiin lo bisa. Karena kalau lo gagal bikin dia bahagia, gue orang pertama yang bakal mastiin lo nggak selamat. Lo inget, dia adek gue." Kak Nara menepuk pundak Andres. "Gue bakal bantu lo untuk mewujudkan itu semua."

Dan seulas senyum tulus Andres tampilkan ketika Kak Nara selesai berbicara. Matanya menyipit ketika tawa keluar dari bibirnya.

Kini, aku tahu maksud Andres ketika ia mengatakan bahwa di dunia bukan hanya tentang aku dan dia, melainkan orang-orang yang ada di sekitar kita.


Duh, gimana yaa Nara ...
Tapi kalau kalian jadi Nara pasti kalian ngerti, gimana sih, kalau kita merasa kita ini orang paling dekat sama temen, tapi ternyata kita paling nggak tahu apa-apa. Nyesek nggak sih? Kalau aku sih iya :(

Jadi, ya sudah kita akhiri saja bab ini dengan ucapan terima kasih sudah mampir ke sini :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top