ᴛɪɢᴀᴘᴜʟᴜʜ ʟɪᴍᴀ
• sᴇᴄʀᴇᴛᴀʟᴏᴠᴇ •
"Maura ayo!" Joni berseru.
Aku sedikit ragu dengan apa yang aku pikirkan saat ini. Namun, entah kenapa ada sebuah pertanyaan yang segera ingin disuarakan.
Oleh karena itu, aku menatap Joni dan memintanya pergi lebih dulu dengan alasan ada sesuatu yang mau aku urus, tetapi tentu saja permintaan itu ditolak oleh Joni. Ia memaksaku untuk tetap berangkat ke kampus atau ia ikut pergi denganku.
Masa aku ajak Joni untuk mencari tahu tentang Lil? Tidak mungkin, 'kan? Joni memang menyebalkan. Di perjalanan menuju kampus, Joni menggerutu sesekali menceramahiku.
Aku tidak begitu mendengarkan, pikiranku melayang tentang kondisi Khalil. Aku lihat, perempuan tadi sepertinya baik, dia juga penyayang, apa mungkin Andres tega meninggalkannya begitu saja? Atau, dia memang hanya ingin main-main denganku?
Pertanyaan-pertanyaan itu semakin mencuat karena tidak kunjung menemukan jawab. Apa sebaiknya aku tanya Andra? Atau mungkin tanya Kak Aje ketika pulang kuliah nanti.
"Ra, udah sampe." Joni menepuk lututku dari depan. Ternyata, sudah sejak tadi kami sampai dan aku masih duduk tenang di jok belakang.
"Ngelamunin apaan, sih? Cakep-cakep hobi banget ngelamun. Heran," gerutu Joni saat melepas helm dan menggantungkannya di spion motor.
"Nggak, 'kok." Aku mengelak. "Jon, Andra di mana?"
"Kalian, 'kan, sekelas. Katanya nggak ada kuliah pagi. Paling dia di ruang UKM FOGAMA." Joni mengeratkan tasnya. "Gue ke kelas duluan, ya? Ada tugas tadi kata temen sekelas."
Aku mengangguk ketika Joni meminta izin. Laki-laki itu segera berlari menuju gedung fakultasnya, meninggalkan aku seorang diri.
Awalnya, aku berniat mencari informasi dari Andra tentang siapa Khalil sebenarnya. Akan tetapi, tiba-tiba saja hatiku diliput oleh ragu. Aku sudah mengatakan bahwa aku akan melupakan Andres, bukan? Jadi untuk apa lagi aku mencari informasi tentangnya?
Aku memukul pelan kepalaku ketika pertanyaan itu menggema. Kenapa sulit sekali menghilangkan laki-laki yang jelas sekali tidak mengharapkan aku? Oke! Aku aku berjanji ini untuk yang terakhir kalinya aku mencari tahu tentangnya.
Aku mengembuskan napas kelewat kencang sebelum berjalan melewati gerbang utama. Menoleh ke sana kemari, memastikan tidak ada satu orang pun yang melihatku keluar dan memberhentikan angkutan umum.
Sebetulnya aku tidak tahu angkot yang kunaiki ini menuju ke mana. Yang terpenting untukku sekarang menjauhi kampus lebih dahulu kemudian turun di sembarang tempat agar bisa kembali ke coffeshop dengan ojek online agar lebih cepat sampai.
Tidak sampai lima menit aku memberhentikan angkot, setelah membayar, aku buru-buru memesan ojek online dengan tujuan coffeshop milik Andres. Sepanjang perjalanan jujur saja hatiku buruk, aku tidak dapat mendefinisikan apa yang aku harapkan ketika bertemu perempuan yang kemungkinan adalah istri Andres.
Apakah aku akan menanyakan tentang masalah rumah tangga mereka? Atau aku menceritakan perasaanku pada Andres? Kenapa aku jadi terdengar seperti perempuan perebut suami orang?
Aku ini kenapa, sih?
Tentu saja pertanyaan yang aku tuju untuk diri sendiri itu tidak mendapat jawaban. Seketika aku ragu, rasa takut menghampiriku ketika melihat perempuan itu masih ada di coffeshop. Seingatku dulu aku tidak pernah bertemu dengannya di coffeshop, kenapa sekarang ia lebih sering ke sini? Apa jangan-jangan ia sudah curiga dengan hubunganku dan Andres?
"Maura?" Kak Aje kembali menyapaku ketika melihatku masuk ke coffeshop itu. "Kamu ngapain? Kok masih di sini?"
Jelas saja pertanyaan Kak Aje itu tidak dapat aku jawab. Alasannya sederhana, aku juga tidak tahu kenapa aku berada di sini. Aku hanya mengikuti keingintahuanku tentang Khalil. Itu saja.
"Ehh? Itu, Kak. Aku diminta Kak Nara anter barang untuk Kak Ubay. Katanya handphone Kak Ubay mati." Aku memejamkan mata, merasa bersalah karena sudah berbohong pada Kak Aje dengan membawa-bawa Kak Nara.
"Ini siapa, Bang?"
Perempuan dengan kerudung cokelat muda itu menghampiri dan bertanya tentangku pada Kak Aje. Jantungku berdegup kencang, tiba-tiba saja ruangan di sekitar menjadi lebih dingin dari sebelumnya.
"Maura. Adiknya Bang Nara." Kak Aje memperkenalkan aku padanya.
Perempuan itu tersenyum, sedikit kaget ketika tahu aku adik Kak Nara. "Ohh! Ya ampun, kamu adiknya Bang Nara. Salam kenal, aku Arin."
"Maura," jawabku seraya menyambut jabat tangannya.
"Tangan kamu dingin banget. Sakit?"
"Ehh? Nggak, 'kok." Aku hanya takut karena berhadapan dengan kamu.
"Aku mau banget ngobrol sama kamu lama-lama, tapi Lil belum makan," ucap Arin dengan raut penuh sesal. "Bang Aje aku pulang, ya? Lil belum makan."
"Pulang? Nih bareng Maura aja. Kan dia mau ke tempat Bang Ubay, ya, 'kan?" Kak Aje mengusulkan.
"Ehh? Nggak usah, Kak. Aku titip barangnya sama Kak Aje aja." Aku gelagapan sendiri. Aku tidak tahu bagaimana nantinya jika harus berhadapan dengan Andres dan juga Arin sekaligus. "Nanti aku malah ganggu Kak Ubay lagi. Kapan-kapan aja nggak apa, 'kok."
Aku lihat Kak Aje mengerutkan keningnya, begitu pula Arin yang menatapku dengan pandangan aneh.
"Ngomong-ngomong. Khalil itu anak kamu, Arin?" Aku sebenarnya ragu untuk bertanya. Ada hal yang sepertinya berbisik bahwa aku jahat pada perempuan sebaik Arin.
"Lil? Bukan. Aku nikah aja baru beberapa bulan. Masa udah punya anak? Dia anak Bang Ubay."
Aku terhenyak. Seharusnya aku sudah terbiasa dengan pernyataan itu. Akan tetapi, tetap saja menerima kenyataan laki-laki yang mau tidak mau aku akui masih sangat aku cintai itu tengah memiliki seorang anak.
Satu fakta yang membuatku sedikit berani adalah ketika tahu, bukan Arin-lah perempuan yang menjadi istri Andres. Jadi, siapa perempuan itu? Dan bagaimana kehidupan rumah tangga mereka?
"Kok aku nggak pernah lihat istri Kak Ubay, ya?"
Tiba-tiba saja Kak Aje dan Arin tertawa mendengar apa yang baru saja aku utarakan. Aku mengerutkan kening, merasa bingung dengan respons mereka.
"Kamu emang nggak pernah diceritain tentang Bang Ubay sama Bang Nara, Ra?" tanya Kak Aje. Ia sedikit lebih santai karena coffeshop sepi. Di jam segini, kampus dan perkantoran sudah memulai aktivitas.
"Diceritain apa, Kak?"
"Ubay? Nikah? Emang doyan perempuan dia?" Kak Aje tertawa, seolah hal yang aku tanyakan adalah sesuatu yang sangat lucu baginya.
"Lah terus Khalil?" Aku kembali bertanya.
"Ceritanya panjang, sih. Jadi Khalil itu anak yang diambil Bang Ubay waktu liputan di daerah Jakarta Timur. Orang tuanya meninggal waktu kebakaran. Kayaknya dua setengah tahun lalu deh, kejadiannya. Bang Ubay sama Imel hampir dipecat dulu karena kasus sama pihak kepolisian." Kak Aje menjelaskan.
"Apa? Jadi. Lil itu bukan anak Kak Ubay?"
"Anak Ubay. Gimana, ya, jelasinnya? Soalnya meski Lil itu anak angkat, Bang Ubay nggak pernah ngomong itu dari bibirnya sendiri, Ra. Dia pasti marah kalau ungkit soal angkat atau kandung. Maklumlah, dia punya masalah yang hampir sama kayak Lil waktu kecil."
Entah dari mana datangnya, tetapi kini aku merasakan hantaman berat menyerang kepalaku. Udara di sekitar pun tiba-tiba lenyap, aku kehilangan kekuatan untuk bernapas. Jadi selama ini aku salah mengira? Andres yang aku kira sudah membohongiku ternyata menyimpan rahasia yang lebih besar lagi?
Andres, sebenarnya seberapa banyak rahasia yang laki-laki itu sembunyikan?
"Maura? Kamu nangis? Kamu nangis kenapa, Ra?"
Arin dan Kak Aje panik ketika melihat air mata keluar dari mataku. Aku tidak dapat berbicara, rasa sesak karena perasaan bersalah pada Andres menghimpit dadaku. Aku kesulitan bernapas.
Seandainya aku dapat mengenali wajah Lil pada saat itu, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Aku yang bodoh di sini. Andres pernah memberikan foto Lil padaku dua tahun lalu, kenapa aku tidak pernah memperhatikan wajahnya?
sɪᴀᴘᴀ ʏᴀɴɢ ɴᴇʙᴀᴋ ᴋᴀʟᴀᴜ ʟɪʟ ɪᴛᴜ ᴀɴᴀᴋ ʏᴀɴɢ ᴅᴜʟᴜ ᴘᴇʀɴᴀʜ ᴀɴᴅʀᴇs ᴋᴀsɪʜ ғᴏᴛᴏɴʏᴀ? ɴɢɢᴀᴋ ᴀᴅᴀ ʏᴀ? ʏᴀᴜᴅᴀʜʟᴀʜ :(
ᴀᴅᴇɢᴀɴɴʏᴀ ᴅɪᴘᴏᴛᴏɴɢ ᴅᴜʟᴜ, ʙᴇʀᴀᴘᴀ ʙᴀʙ ᴀɴᴅʀᴇs ɴɢɢᴀᴋ ᴋᴇʟɪᴀᴛᴀɴ, ʙᴇsᴏᴋ ᴋᴇᴛᴇᴍᴜ ʟᴀɢɪ sᴀᴍᴀ ᴀɴᴅʀᴇs ʏᴀᴡᴡ :)
ʙᴛᴡ ᴀᴋᴜ ɴɢɢᴀᴋ sᴇᴍᴘᴀᴛ ᴇᴅɪᴛ-ᴇᴅɪᴛ, ᴋᴀʟᴀᴜ ᴀᴅᴀ ᴛʏᴘᴏ ᴍᴀᴀᴘᴋᴀɴ ʏᴀᴀ :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top