ᴛɪɢᴀᴘᴜʟᴜʜ
• sᴇᴄʀᴇᴛᴀʟᴏᴠᴇ •
Siapa yang tidak kenal Bandeng Presto? Makanan khas Semarang yang satu ini memang sangat banyak peminatnya. Bahkan Kak Nara, kakakku yang berasal dari Lombok itu sudah mewanti-wanti agar aku tidak lupa dengan oleh-oleh ikan tanpa tulang tersebut.
Kemarin, setelah selesai pengambilan gambar dan memutuskan untuk langsung pulang seusai berpamitan dengan tetua kampung, Kak Dhyas dan Kak Rizal mengajak kami berkeliling Kota Semarang selama satu hari.
Meski awalnya sempat adu ide agar kami naik gunung, dua senior itu tidak setuju karena banyak dari anggota FOGAMA yang belum pernah mendaki dan Kak Dhyas mengatakan itu berbahaya dan destinasi yang kami tuju adalah Benteng Pandem yang terletak di Bugisari, Lodoyong, Kecamatan Ambarawa. Benteng dengan arsitektur Belanda itu menyajikan hasil foto yang instagramable bagi pegiat media sosial.
Setelahnya kami berhenti di pusat oleh-oleh Kampoeng Semarang. Tidak jauh dari Terminal Terboyo dan jalan pantura Semarang-Demak. Selain makanan, mereka juga menjual kerajinan tangan dari UMKM setempat.
Sejak mengenal dunia fotografi, aku suka melihat keluar. Jawa Tengah kota yang indah, penduduk mereka ramah meski aku tidak mengerti bahasa mereka. Akan tetapi, mereka tetap tersenyum padaku.
"Lo beli apa aja, Ra?" Sherly mendekat ketika keranjang belanjanya penuh dengan kotak Mochi juga Bakpia.
"Titipan Kak Nara Bandeng Presto doang." Aku menunjuk keranjang belanja yang berisikan dua pak Bandeng Presto tanpa tulang.
"Nggak beli buat Kak Ubay."
Refleks aku mencubitnya karena mengingatkanku pada Andres. Aku tidak ingin mengingat Andres untuk beberapa hari ini, aku ingin berdamai dengan hatiku dengan tidak lagi meratapi sikapnya padaku.
"Ya move on, sih, move on. Tapi nggak ada salahnya, 'kan, beli sesuatu buat dia. Sebagai tanda terima kasih udah ngasih pelajaran bahwa cinta sama orang tolol kayak dia itu nggak enak."
Ucapan Sherly menunjukkan bahwa ia sangat tidak suka pada Andres. Itu salahku, tanpa sadar aku membuat orang lain membenci Andres tanpa laki-laki itu tahu apa salahnya.
Mungkin aku bisa membelikan sesuatu untuk permintaan maaf? Tidak alasan lain selain mengucapkan terima kasih dan maaf ketika aku mengambil dua kotak bakpia rasa kacang hijau untuknya. Iya, hanya untuk minta maaf.
Perjalanan dari Semarang tidak begitu macet. Pukul dua belas malam kami sudah sampai kembali di Jakarta setelah melewati gerbang Tol Cikampek. Aku dijemput oleh Kak Nara, sementara Sherly dijemput ayahnya yang langsung pamit.
"Kamu mau pulang bareng nggak, Ndra?" tanya Kak Nara pada Andra ketika aku menyimpan ransel ke bangku belakang.
"Nggak perlu, Kak. Aku bawa motor, 'kok." Andra menunjuk ke arah parkiran yang gelap minim penerangan.
"Besok aja ambil motornya, kamu sekarang ikut kita aja. Udah malam. Emangnya nggak capek?" Aku ikut membujuk Kak Nara.
Sesaat Andra berpikir sebelum menganggukkan kepalanya.
Aku memilih duduk di belakang agar dapat berselonjor dan meminta Andra duduk di samping Kak Nara. Hanya terdengar pertanyaan basa basi dari Kak Nara ketika di perjalanan. Seperti biasa, dia menanyakan apa aku merepotkan Andra atau tidak? Seolah aku bayi yang tidak dapat ia tinggal barang sedetik saja. Menyebalkan!
Hanya berselang sepuluh menit mobil Kak Nara berhenti di parkiran coffeshop milik Andres. Awalnya, aku tidak ingin turun dari mobil, aku tidak ingin bertemu dengannya. Akan tetapi posisiku yang di belakang mengharuskan aku turun untuk pindah ke kursi depan.
"Aku pamit, ya. Makasih buat tumpangannya." Andra mengacak rambutku. Sejak perjalanan ke Semarang, aku dan Andra menjadi teman baik.
"Apaan, sih? Nanti kusut! Nyebelin banget." Aku balas memukul lengan Andra. Bukannya marah, ia justru tertawa ketika melihatku cemberut padanya.
Namun, tertawaan Andra terhenti ketika pintu kaca coffeshop 24 jam itu terbuka. Itu Andres yang menatap kami dengan pandangan yang sukit diartikan.
"Kalian udah pulang?" tanyanya dengan nada riang. Air mukanya berubah ceria ketika menghampiri kami.
"Ehh? Iya, Kak." Aku menjawab, sementara Andra hanya mengangguk memberi jawaban.
"Ya udah aku pulang, ya." Aku melambaikan tangan. Mencoba tersenyum senatural mungkin di hadapan Andres juga Andra.
Aku harus tahan. Aku harus tahan. Aku harus tahan.
Itulah rapalan yang aku ucapkan dalam hati ketika kembali melihat wajah Andres. Akan tetapi ketika aku menatap wajah Kak Nara tiba-tiba aku teringat akan oleh-oleh yang aku beli untuk Andres.
"Tunggu, Kak!" Andres yang sedang berpamitan dengan Kak Nara berbalik ketika aku berteriak.
Ia tidak mengatakan apa pun, tetapi bahasa tubuhnya mengatakan bahwa ia mendengarkan apa yang aku minta. Cepat-cepat aku mengeluarkan papper bag berisi kotak bakpia dan mochi padanya.
"Buat Kak Ubay. Dimakan, ya, Kak."
Ia menatap sekilas papper bag yang aku berikan sebelum menerimanya.
"Terima kasih." Hanya itu yang jadi jawaban Andres sebelum aku dan Kak Nara benar-benar pamit pulang.
****
Meski perjalanan ke Semarang melelahkan. Setidaknya ada pelajaran yang dapat kuambil dari perjalanan itu. Tentang semua nasihat Kak Dhyas juga petuah kepala dusun yang mengatakan 'Bahasa sayang bukanlah hanya sedakar ucapan, tetapi juga tindakan' meski itu ditujukan untuk kampung mereka. Aku tetap dapat mengartikan itu dengan perasaanku saat ini.
Semalam, setelah aku dapat bersikap biasa pada Andres kini aku menjadi lebih lega. Pagiku seolah lebih cerah dari biasanya dan aku lebih siap untuk mengembalikan barang yang pernah Andres berikan untukku.
Aku memasukkan kamera hitam juga bingkai foto anak kecil yang pernah Andres berikan ke dalam papper bag baru. Setelahnya memasang jaket dan memakai sepatu kets seusai mengikat rambut menjadi satu ikatan simpul dan berjalan keluar kamar.
"Mau ke mana, Ra?" tanya Kak Maudy ketika melihatku memutar kenop pintu.
Aku hanya cengar-cengir dan mengatakan akan pergi bersama Sherly juga Andra. Kak Maudy hanya mengangguk dan mengingatkan agar aku tidak lupa dengan sarapanku.
Rasa gugup ketika memikirkan akan bertemu dengan Andres aku kalahkan dengan rapalan bahwa aku akan berubah. Namun, langkahku seketika ragu kala melihat Andres duduk termangu di meja paling depan sembari menatap sebuah papper bag. Itu papper bag pemberianku semalam.
"Kak Ubay lihat apa?" Aku menyentuh pundak Andres ketika ia tidak menyadari keberadaanku.
"Maura?" Andres memasang wajah terkejut.
Ehh? Aku mengerutkan kening. Ada apa dengannya? Seperti melihat hantu saja.
"Kakak melamun? Jangan kebanyakan melamun, Kak." Aku duduk bersebrangan dengannya. Ia menoleh ke arah jalan yang terlihat dari dinding kaca, menghindari tatapanku.
"Selama ini Kakak selalu bilang begitu. Tapi ternyata melamun bikin Kakak leluasa berkhayal."
Jujur saja, aku tidak mengerti perkataan Andres. Di saat ia memiliki banyak pekerjaan, kenapa ia memilih berkhayal?
"Pagi-pagi Kakak khayalin apa?" Karena penasaran aku akhirnya bertanya.
Ia hanya diam. Tanpa menoleh atau pun bersuara lagi padaku. Itu aku artikan bahwa ia tidak ingin menjawab pertanyaanku. Aku menunggunya, menunggu ia menatap ke arahku agar dapat mengembalikan kamera miliknya.
Aku memperhatikan garis wajahnya. Jika aku hitung, sudah lebih dari dua minggu aku tidak melihatnya sejak kejadian di control room. Wajahnya terlihat lelah, dan lebih kurus dibanding biasanya. Ia memejamkan mata untuk sesaat kemudian tersenyum seperti biasa ke arahku.
"Kakak baik-baik aja? Kakak sakit, ya?"
Aku bertanya ketika aku merasakan perubahan ekspresinya yang begitu cepat. Aneh, baru semenit lalu Andres terlihat seperti tengah menanggung beban. Akan tetapi, semenit kemudian wajahnya seperti tidak punya beban sama sekali.
"Kamu ke sini ngapain? Mau kopi?" tanya Andres.
Aku menggeleng pelan sebagai jawaban.
"Aku mau kembaliin ini ke Kakak." Aku menyodorkan papper bag berisi kamera hitam dan bingkai foto anak kecil.
Aku lihat ia memaku sebentar kemudian mengulas senyum tipis saat meletakkan papper bag di samping kursi yang ia duduki.
"Aku juga mau minta maaf atas semua sikap aku ke Kakak selama ini. Aku harap, besok-besok kita bisa kayak dulu lagi, ya, Kak. Bersikap kayak biasa aja."
Sekuat tenaga aku menahan rasa sesak ketika Andres sama sekali tidak menjawab apa yang aku katakan.
"Aku pamit, ya, Kak." Aku berdiri dan melangkah menjauhi kursi meja yang kami tempati tadi. Pagi ini, coffeshop Andres masih sepi pengunjung.
"Apa karena Andra?"
Meski pelan, aku masih dapat mendengar dengan jelas pertanyaan yang keluar dari mulut Andres. Aku mengerutkan kening, kenapa Andra?
"Maksud Kakak?" Aku berbalik.
Ia menghirup napas dalam dan mengembuskannya perlahan lalu menatapku dengan sorot mata yang tajam. "Kamu ada hubungan sama Andra?"
Aku tidak menjawab pertanyaannya. Jujur saja, aku bingung harus menjawab apa.
"Dari sekian banyak laki-laki yang suka sama kamu. Kenapa harus Andra? Kenapa kamu nggak pilih laki-laki lain yang jauh dari hidup Kakak? Kenapa harus Andra?"
"Memang kenapa kalau aku pacaran sama Andra? Salah buat Kakak?"
"Salah!" Andres menjawab cepat.
Aku tidak mendebat lagi. Andres itu aneh! Harusnya aku sadar itu ketika melihat ia selalu bersikap seolah tidak ada apa-apa di antara kami. Iya! Andres kini seperti memiliki dua wajah yang berbeda. Ke mana Andres yang biasanya bersikap baik dan hangat?
ʙᴇɴᴇʀᴀɴᴋᴀɴ ᴀᴋᴜ ᴜᴘᴅᴀᴛᴇ ʟᴀɢɪ :)
ᴋᴀʟᴀᴜ ʏᴀɴɢ sᴇᴋᴀʀᴀɴɢ ʀᴀᴍᴇ ɴᴀɴᴛɪ ᴍᴀʟᴀᴍ ᴀᴛᴀᴜ ᴘᴀɢɪ ʙᴇsᴏᴋ ᴀᴋᴜ ᴜᴘᴅᴀᴛᴇ ʟᴀɢɪ ✌️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top