ᴛɪɢᴀ

• sᴇᴄʀᴇᴛᴀʟᴏᴠᴇ•


Tak pernah mengira bahwa aku akan berada di dalam situasi seperti ini. Jika aku boleh jujur, aku sempat takut membayangkan tidak akan pernah bertemu lagi dengan sosoknya di dalam hidupku. Suatu ketika pernah juga, terlintas di dalam otakku, mungkin saja dia tidak nyata, mungkin saja dia hanyalah halusinasi.

Namun, melihatnya kini duduk di sebelahku, menatapku, dan tersenyum seperti dua tahun lalu membuatku sadar akan sesuatu.

Dia tidak pernah menganggapku berarti.

"Kok rotinya nggak dimakan? Nggak enak, ya?"

"Eh? Nggak, 'kok. Enak." Aku mengambil sedotan putih pemberiannya dan menusukkan pada tutup kap plastik berisi kopi milikku.

Kak Ubay tersenyum sembari menggelengkan kepalanya pelan. Sementara aku masih mencoba tersenyum meski canggung rasanya.

"Rotinya belum kamu makan. Apa kamu manusia yang makan lewat tatapan mata? Kaya di film-film?"

Kak Ubay menunjuk kedua matanya dengan jari telunjuk dan tengah. Ia mencoba bercanda, tetapi yang aku rasakan justru jantungku akan keluar dari rongga. Haruskah aku menelpon ambulan? Aku tidak ingin mati muda, apalagi hanya karena senyumnya yang sejak dua tahun lalu menggangguku.

Aku memalingkan wajah darinya dan fokus pada es kopi seakan tidak peduli dengan candaan yang ia berikan. Aku paksakan telingaku agar tidak mendengarkan apa perkataannya.

"Makan dulu, Maura. Nanti kamu sakit."

Perkataan yang tiba-tiba saja keluar dari mulutnya membuatku kembali memfokuskan pandangan padanya. Peringatan itu sama persis dengan dua tahun lalu ketika pertama kali kami bertemu. Namun, kenapa laki-laki yang duduk di depanku ini seolah tidak mengingat kejadian itu? Seolah-olah itu semua bukan apa-apa untuknya.

"Kakak serius nggak ingat sama aku?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku. Tanpa menghiraukan yang lain, aku menatap sosok di depanku yang masih mengerutkan kening sesaat mendengar pertanyaan yang aku berikan.

"Ingat apa?"

Pertanyaan yang dilemparkan Kak Nara membuat Kak Ubay mengalihkan pandangannya. Seperti biasa, ia hanya tersenyum kemudian mengangkat bahunya cepat sebagai jawaban Kak Nara.

"Ingat apa, Ra?" Kak Ubay menoleh dan mengembalikan pertanyaan itu padaku.

Aku baru saja ingin menjawab jika tidak ada suara alarm mundur mobil box mengalihkan perhatiannya sebelum aku sempat menjawab. Aku dengar ia pamit untuk mengurus pengiriman bahan baku dari supplier dengan Kak Nara yang menyusul untuk membantunya.

Tatapanku masih terarah padanya meski dihalangi dinding kaca. Ia sibuk dengan kertas putih merah dan mengecek isi kardus yang aku tidak tahu apa isinya. Mungkin, itu bahan baku seperti biji kopi atau semacamnya.

"Kamu liat apa sih, Ra? Kok serius banget." Kakakku yang sejak tadi hanya diam akhirnya bersuara. Ia melihat ke arah mobil pengiriman barang kemudian tersenyum.

"Mereka udah biasa kaya gitu, Ra. Udah nggak kaget kalo Kak Nara ikut repot di sini."

"Ehh?" Aku menoleh mendengar ucapan kakakku. Ia tersenyum ketika memandang suaminya--Kak Nara--yang tengah mengangkat kardus dan memasukkannya melewati pintu bertuliskan 'khusus karyawan'. Ada empat kardus besar, sepertinya itu pekerjaan yang berat.

Sembari menunggu Kak Nara dan temannya selesai memindahkan barang, aku pergi ke toilet. Mencuci muka mungkin bisa membantuku menghilangkan kegugupan jika berpapasan kembali dengan Kak Ubay. Namun, ketika aku keluar dari toilet, tanpa sengaja aku kembali melihat sosoknya.

Tatapannya begitu serius membaca isi kertas yang ada di genggaman, garis wajah itu, masih sama persis dengan wajah yang kulihat saat hujan dua tahun lalu.

Suaranya kini kembali menggema dalam otakku, peringatan juga cerita tentang anak kecil di dalam foto saat itu kembali memutar dalam memori. Rasanya menyedihkan, ketika mengingat bahwa ia sama sekali tidak menganggap itu semua berarti.

"Maura?"

Lamunanku buyar ketika tiba-tiba ia menepuk pundakku. Tampaknya ia memperhatikan bahwa aku tengah mengamatinya dan sekarang aku bingung, harus menjawab apa jika dia menanyakan kenapa tiba-tiba aku bersedih.

Di jarak sedekat ini, aku baru sadar jika ia menggunakan seragam yang sama dengan seragam kerja Kak Nara. Kenapa aku baru sadar dia tidak menggunakan seragam coffeshop? Melainkan seragam stasiun TV.

"Andres Baihaqi?" Tanpa sengaja aku membaca nama yang tertera di seragam sebelah kirinya.

"Ada masalah?" tanyanya. "Andres Baihaqi. Ubay itu nama kecil. Lagi pula kata Nara nggak pantes dipanggil Andres, jadi Ubay aja."

Aku hanya mengangguk. Ahh ... jadi namanya Andres. Aku suka namanya, bukan berarti aku tidak suka nama Ubay, hanya saja, mengenal nama aslinya menjadi satu buah keistimewaan untukku. Sepertinya aku akan lebih suka menyebutnya dengan nama Andres tanpa sepengetahuan siapapun. 

"Ayo, udah ditungguin tuh sama yang lain."

Ia mempersilakan aku berjalan di depan. Aku sempat menoleh ke belakang ketika Andres--boleh aku sebut dia seperti ini sekarang?--dipanggil oleh salah seorang karyawan perempuan dan entah dorongan dari mana, tetapi aku menghentikan langkah, menunggunya selesai memberi pesan kemudian kembali mengajaknya ke meja depan.

"Gue pake motor aja, Nar. Biar gampang baliknya," katanya sembari duduk di samping kak Nara.

"Yaudah, tapi awas bohong lo, ya!" Kak Nara mengancam, telunjuknya mengacung tepat di wajah Andres yang langsung ditepis olehnya.

"Iya elah!"

****

"Perasaan gue aja, atau emang lo hari ini keliatan beda, Ra." Itu adalah perkataan yang diucapkan Sherly ketika kami berada di dalam kamar baruku.

"Beda gimana? Biasa aja," jawabku sembari menyusun buku pada rak putih yang masih kosong. Aku baru sadar jika tidak ada warna lain selain biru dan putih di ruangan ini. Ternyata kakakku memikirkan hal penting seperti ini untukku.

"Udah jangan bohong, deh. Lo ngeliatin muka Kak Ubay sampe mata mau keluar gitu. Ada apa?" Sherly yang tadi merapikan sprei baru untuk kasurku duduk mendekat. Tatapannya seolah mencari sesuatu di dalam mataku. Entah apa yang dia cari.

"Jangan-jangan lo udah lupa sama cowok aneh yang ghosting itu dan malah suka sama Kak Ubay, ya?" Sherly menuduhku asal-asalan.

Mendengar tuduhan itu, aku hanya bisa memutar bola mataku malas sebelum kembali menyusun buku-buku kuliahku.

"Ra!"

"Apa?"

"Jawab dulu!"

Aku hanya menghela napas pelan sebelum mundur kemudian bersandar pada spring bed yang masih acak-acakan hasil kerja Sherly.

Aku menggeleng lemah, kemudian mengambil satu lembar foto bergambar anak kecil yang kuselipkan di salah satu buku hingga aku dengar Sherly mengembuskan napasnya kasar.

"Gue rasa lo udah diguna-guna sama cowok aneh itu."

Sherly berkomentar ketus kemudian kembali pada sprei biru yang sempat ia tinggalkan. Mulutnya tidak berhenti mengomel ketika memasukkan bantal pada sarung yang berwarna senada dengan kasurku kini.

"Aku nggak akan lupa sama dia, Sher. Karena memang dia orangnya."

"Ohh ...." Hanya itu respons yang diberikan Sherly sebelum ia menyentak dan melempar bantal dan berlari menghampiriku. "Mak-maksud lo? Laki-laki itu. Yang sering lo ceritain. Dia? Kak Ubay? Serius?"

Sherly mengguncangkan tubuhku beberapa kali dan bergantian menepuk pipinya--memastikan ia tidak bermimpi. Berlebihan memang, tetapi aku sudah tidak aneh jika Sherly bersikap seperti itu.

"Seriusan?" tanyanya sekali lagi memastikan.

Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Sherly saat ini. Yang jelas, ia hanya berguling-guling di lantai seraya memegang kepalanya dengan sesekali menjambak rambutnya yang panjang. Mungkin, dia tidak habis pikir bagaimana laki-laki yang selama ini ia minta aku lupakan ada di hadapanku sekarang.

"Tapi, Ra. Kok, kayaknya dia tadi biasa aja ke lo? Nggak ada sapaan kaya yang lo bilang waktu itu." Sherly memasang wajah bingung.

Untuk yang satu itu, aku hanya bisa mengedikan bahu seraya membuang napas lemah.

"Apa jangan-jangan dia udah lupa sama lo? Lo nggak tanya Kak Nara aja dia udah punya pasangan apa belum? Dia temen Kak Nara, seharusnya mereka seumuran, 'kan?"

Sejenak aku melupakan hal penting yang satu itu. Saking begitu senang, aku lupa bahwa semua teman Kak Nara sudah memiliki pasangan. Dadaku terasa sesak, mataku memanas secara tiba-tiba hingga air mata keluar tanpa meminta persetujuan.

"Aku nggak tau aku harus gimana, Sher." Sherly memerangkap tubuhku erat.

"Gue juga nggak tau harus kasih saran apa, Ra. Tapi yang jelas, lo jangan sampe berbuat hal-hal yang bakal bikin lo nyesel nantinya, ya."

Sherly melepaskan pelukannya dan menghapus jejak air mata dari wajahku. "Yaudah keluar, yuk! Bantu-bantu kak Maudy sekalian cari tau dia udah punya pasangan apa belum."

Aku mengangguk kemudian tersenyum. Ini yang aku suka dari Sherly, dia bukan tipikal yang akan langsung men-judge orang dan memberikan saran yang menurut dirinya benar, dia memilih untuk melihat berbagai situasi dan memintaku mengambil keputusan sendiri.

Ketika hendak memasuki dapur, kami kembali bertemu dengan sosok Andres. Ya, dia masih di sini untuk membantu kak Nara merampungkan perbaikan motornya yang rusak. Mata kami bertemu pandang dan hanya dengan senyumnya, ia sudah mampu kembali menghipnotisku agar semakin jatuh padanya.

Tuhan! Harus aku apakan perasaanku padanya?

Menurut kalian, Andres bakal inget nggak sama Maura?
Mending nggak usahlah, inget sama aku aja, Andres :)

Makasih yang sudah sempat mampir, see you!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top