ᴇᴍᴘᴀᴛ ʙᴇʟᴀs
• sᴇᴄʀᴇᴛᴀʟᴏᴠᴇ •
Sesuai janjinya, Andres mengajakku makan malam.
Setelah menyelesaikan laporan penjualan satu minggu ke belakang ia menitipkan coffeshop pada Kak Aje, karyawan kepercayaannya yang sering tinggal di toko. Dia membawa dua helm dan jaket hitam di tangannya. "Pake ini. Awannya mendung, kayanya mau turun hujan."
Ternyata dia menyerahkan jaketnya untuk aku pakai. Aku menerimanya, sedikit tersipu ketika mengetahui Andres memiliki perhatian padaku.
Kami menaiki pergi dengan motor besar Andres menuju Taman Ayodya. Di sana banyak pedagang yang menjajakan makanan mulai dari makanan ringan sampai berat. Motor Andres memelan ketika sudah sampai di Taman Ayodya. Ia sempat bertanya apa yang aku inginkan, tetapi aku hanya mengangkat bahu karena tidak tahu harus makan apa.
"Bakso?" tanya Andres ketika kami berhenti di penjual bakso. Aku menggeleng, karena sudah dipastikan aku akan lapar kembali saat tengah malam.
"Mie ayam?" Aku kembali menggeleng.
"Trus mau makan apa?" Andres terlihat frustrasi.
"Terserah kakak aja," jawabku sembari melihat-lihat barangkali ada yang ingin kumakan.
"Mau korean barbeque?"
"Nggak suka."
"Sate?"
"Ihh males ahh ...."
"Ayam Mc Donald?"
"Aku bosen makan ayam."
"Yaa terus kamu mau makan apa, Mauraaa?" Andres menghentikan motornya. Memintaku turun dan menggandengku ke tempat roti bakar.
"Rame banget, Kak. Aku males antrinya."
Ia mengembuskan napasnya berat, mengacak-acak rambutnya kemudian menatapku sebal. "Tadi katanya terserah Kakak!"
Aku memberikan cengiran tidak berdosa padanya. Aku lihat Andres ikut mengulas senyum meski berusaha ia tutupi. Aku memberanikan diri menggandeng tangannya, mengajaknya duduk di dalam Taman Ayodya yang menghadap pada air mancur.
"Ini udah malam dan kamu belum makan, Maura." Andres mengeluh ketika kami duduk. Aku abai akan perkataannya dan malah sibuk dengan ponsel.
"Maura."
"Foto yuk, Kak."
Andres melotot. Ia menggeleng keras sebelum kemudian aku membidiknya dengan kamera depan yang kuarahkan pada kami berdua.
"Jelek banget itu!" Andres berseru. Mencoba merebut ponsel yang kugenggam.
"Biarin! Abis Kakak nyebelin!"
"Kakak nyebelin? Hee ... yang ada kamu yang nyebelin! Tadi bilang terserah Kakak, tapi pas diajak nolak terus. Kakak laper tahu!"
"Yaudah deh, gimana sekarang Kakak yang pilih mau makan apa? Aku ikut aja?"
Andres berdecak kemudian mencubit pipiku hingga aku mengaduh kesakitan. "Dari tadi kamu juga bilangnya kaya begitu! Tapi sudah satu jam kita cuma muter-muter doang!"
Aku kembali menampilkan cengiran.
"Sekarang kamu aja yang sebut. Mau makan apa?" Andres menyeringai ke arahku.
Aku berpikir sejenak. Terlintas cukup cepat, kemudian dengan mantap bertanya, "Kakak bisa masak?"
"Kamu serius nanya itu ke Kakak?"
Aku mengangguk mantap. Mencoba masakan Andres mungkin akan menjadi kebahagiaan langka untukku. Bisa saja, kesempatan ini tidak akan aku dapatkan lagi jika nanti Kak Maudy dan Kak Nara pulang. Karena itu, aku memanfaatkan situasi sekarang untuk mewujudkannya.
"Kamu mau Kakak masakin apa?"
"Ehh?" Aku mengerjap. Sedikit tidak percaya jika Andres memberikan respons dengan begitu mudah. Aku pikir dia akan menolak.
"Apa aja. Sebisa Kakak."
"Oke! Di rumah ada bahan apa aja?"
"Banyak, 'kok. Ada telur, ayam, bakso. Banyak deh." Aku mengabsen isi kulkas yang masih tersedia di rumah.
"Yaudah. Ayo pulang!"
Andres bangun dari duduknya dan mengulurkan tangan padaku. Menyambut tangan Andres, kemudian berjalan mengikutinya.
****
Aku tidak heran kenapa chef yang terkenal di televisi banyak yang laki-laki. Andres terlihat hebat ketika ia berada di dapur. Andres memintaku melarutkan tepung bumbu dengan air sementara ia memotong bagian ayam dengan tipis untuk membuat ayam crispy.
Aku memperhatikan. Wajah Andres terlihat serius ketika menumis bawang putih juga bombay dengan lada bubuk juga saus teriyaki dan kecap asin.
"Dari wanginya enak nih!" Aku mencium aroma dari wajan saus yang teriyaki yang dibuat Andres. Ia tersenyum, kemudian memberikan menyendok sedikit sausnya dan menyodorkannya padaku.
Aku mencobanya. Mataku melebar antusias ketika rasa manis, asin dan pedas lada menyatu pas di lidahku. "Enak!"
Andres tersenyum. Matanya sedikit menyipit ketika suara tawa keluar dari bibirnya. Aku mengangkat ayam ketika Andres memintanya. Dia mengecek rice cooker melihat apa nasi yang kami masak sudah tanak atau belum.
"Ini, Kak. Ayamnya." Aku menaruh ayam fillet crispy tersebut pada piring dan memberikannya pada Andres. Laki-laki itu menyiram saus teriyaki yang ia buat dan aromanya memenuhi area dapur.
"Kakak bakat jadi koki loh!" Aku berkomentar. Mencolek sisa saus yang menempel pada wajan.
"Nasinya udah mateng tuh. Ayok makan. Kakak udah laper dari tadi," keluh Andres seraya mengusap perutnya.
Aku hanya tertawa.
"Kak, makan di depan aja gimana? Sambil nonton film," usulku yang segera mendapat anggukan sebagai persetujuan.
Kami memilih film komedi romantis karena aku tidak suka film horor. Sepanjang makan kami disela tawa. Andres sesekali mengatakan bahwa lawakan seperti itu sudah ada di jaman ia sekolah dan tentu saja jaman kami berbeda. Meski tidak begitu paham, tetapi aku menyukainya. Andres terlihat lebih terbuka jika dengan keadaan seperti ini.
Hingga selesai makan. Kami masih melanjutkan menonton film lainnya. Aku duduk di sebelah Andres, tertawa bersamanya kemudian sedikit membahas tentang kebodohan si pemeran utama.
Ponselku berbunyi menampilkan nama Andra. Aku bergeser menjauh dari Andres untuk menerima telpon dari Andra.
"Ra, hari minggu kamu ada acara?" Begitu pertanyaan Andra ketika aku menanyakan perihal alasannya menelponku.
"Nggak. Kenapa?" tanyaku.
Aku mengangkat bahu ketika Andres mengode, seolah bertanya apa yang kubicarakan.
"Rencananya aku mau ngajak kamu pemotretan lagi bareng sama anak FOGAMA. Mereka minta aku ajak kamu. Itu kalo kamu nggak keberatan."
Dari nada bicaranya, Andra terdengar ragu. Mungkin karena dia masih sungkan dengan kejadian tempo hari di coffeshop Andres.
"Liat nanti, ya. Soalnya belum ngerjain tugas dari komunikasi dasar." Aku sedikit tertawa ketika mengungkapkan kemalasanku pada Andra.
Sebelum menutup telepon. Andra meminta aku mengabarinya jika aku jadi atau tidak jadi ikut pemotretan bersama anak FOGAMA. Aku beringsut, kembali duduk mendekat pada Andres yang masih sibuk dengan keripik jagung sejak tadi.
"Siapa?" Andres bertanya.
"Temen kuliah doang." Tidak terlintas sama sekali untuk menyebut nama Andra di depan Andres. Bagiku, nama laki-laki lain tidak penting ketika aku berada di dekatnya.
Aku membuka galeri ponsel kemudian tertawa ketika melihat foto Andres yang tanpa sengaja tadi kuambil. "Kak Ubay jelek banget di sini."
"Iyalah jelek. Seorang fotografer itu pantang untuk difoto tau!" Dia tidak peduli. Fokusnya hanya pada bungkus keripik jagung yang isinya tinggal setengah.
Karena iseng, aku memotretnya tanpa seizin Andres terlebih dahulu. Namun, ia segera mengetahui karena lampu flash pada ponsel lupa aku matikan. Ia menatapku, kemudian bergerak cepat merebut ponsel yang ada ditanganku.
Aku menjauhi ponsel dari tangan Andres yang mencoba menggapai. Namun, Andres berhasil merebut karena tangannya lebih panjang. Aku memberengut ketika Andres mengapus hasil jepretanku.
"Fotografer, 'kok. Nggak mau difoto," kelakarku ketika ia menyodorkan ponsel. Aku mengambil ponsel dan melihat berkas sampah yang ternyata sudah dihapus juga oleh Andres.
"Gantengnya Kak Ubay nggak buat dibagi-bagi." Begitu jawabannya ketika kembali pada posisinya semula.
Aku masih cemberut. Sesekali mengoceh pelan, menyindir perkataan Andres yang kelewat percaya diri. Mendengar itu, dia tertawa geli kemudian menggelitikku yang berada di sebelahnya.
"Marah, ya?"
"Bodo!"
Aku menjauh, tetapi ketika aku menjauh Andres justru menarik tanganku hingga lebih dekat dengannya. Berasa di jarak sedekat ini, aku memperhatikan manik mata Andres. Ternyata matanya tidak berwarna hitam, melainkan ada sedikit cahaya kecokelatan yang samar. Pelipisnya ada bekas luka kecil. Sepertinya Andres nakal ketika kecil. Alisnya tebal, sedikit kecokelatan, tetapi terlalu gelap hingga dinilai hitam.
Karena terlalu asik memperhatikan detail wajah Andres, aku tidak sadar jika jarakku dengannya semakin dekat. Entah siapa yang memulai, tetapi kini bibirku mendarat tepat di bibir Andres dengan sangat lembut.
Andres memperdalam ciuman itu, cukup lama hingga suara notifikasi dari ponsel di saku Andres memutuskan kontak kami. Dengan cepat aku menjauhi Andres, membuang muka ke mana saja. Sementara Andres, ia segera menyambar jaketnya.
"Kakak harus pulang, Ra." Hanya itu yang diucapkan Andres sebelum terburu-buru pergi dari rumah.
Aku menutup wajah. Mencoba mengontrol deguban jantung yang kian menggila. Wajahku memanas mengingat lembutnya bibir Andres ketika menyapaku. Namun, bagaimana besok aku harus bertemu dengannya?
ᴜɴᴛᴜᴋ ᴋᴀʟɪᴀɴ ᴄᴇᴡᴇᴋ-ᴄᴇᴡᴇᴋ ʏᴀɴɢ ᴅɪᴛᴀɴʏᴀ ᴍᴀᴜ ᴍᴀᴋᴀɴ ᴀᴘᴀ? ᴘʟᴇᴀsᴇᴇ ᴊᴀɴɢᴀɴ ʙɪʟᴀɴɢ ᴛᴇʀsᴇʀᴀʜ ᴡᴋᴡᴋᴡᴋ
sᴇʟᴀᴍᴀᴛ ᴍᴇᴍʙᴀᴄᴀ ᴅᴀɴ ᴍᴀᴋᴀsɪʜ sᴜᴅᴀʜ ᴍᴀᴍᴘɪʀ ᴋᴇ sɪɴɪ!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top